Senin, 26 April 2021

Menempa Diri dengan Terlibat dalam Perjuangan

Oleh: Muh. Nur Fikran (Sekretaris Bidang HIKMAH PIKOM IMM FISIP)

Sebagai warga negara, kita punya berbagai jumput hak yang dijamin oleh hukum. Tugas negara adalah untuk memenuhi hak tersebut. Tapi ada kalanya negara tidak memenuhi hak warga negaranya, karena berbagai sebab. Bahkan negara malah melucuti, merampas hak, sampai mengekang kebebasan seseorang. Kalau sudah begini, adalah hal yang wajar kalau kemudian muncul berbagai gerakan sosial maupun individu yang berjuang memenuhi hak-haknya.

Tetapi tidak semua orang punya kemampuan untuk memperjuangkan haknya sendiri. Bahkan tidak semua orang mengerti akan hak-haknya. Karena tidak semua orang mempelajari hukum, semisal, yang memuat hak-hak warga negara. Tidak semua orang tahu bagaimana caranya memperjuangkan hak.

Tapi di sisi lain, ada orang-orang yang tahu apa saja hak warga negara. Tahu bahwa sedang terjadi perampasan hak pada masyarakat. Nah, tapi gawatnya, dia tidak melakukan apapun dengan dalih, “gue belum merasa tertindas kok”.

Semisal, sedang terjadi masalah di kampus. Ada kenaikan biaya kuliah yang terjadi pada mahasiswa baru angkatan 2016. Ternyata peraturan yang memuat kenaikan biaya kuliah itu cacat hukum, dan melanggar beberapa hak mahasiswa 2016. 

Tapi namanya juga mahasiswa baru, pola pikirnya masih anak sekolahan. Mereka ikut saja dengan sistem yang ada. Kalaupun ada yang merasa dilanggar hak-haknya, dia tidak tahu bagaimana caranya untuk berjuang.

Kalau kita biarkan terus menerus, tentu kita menjadi orang yang sama jahatnya dengan para pejabat yang melanggar hak warganya. Kita melanggengkan adanya pelanggaran hak. Kalau kata Edmund Burke, kejahatan itu terjadi karena orang baik tidak melakukan apapun.

Tapi untungnya masih ada orang-orang yang peduli. Di dunia ini entah kenapa masih saja ada orang yang mau menukar waktu luang mereka untuk kerja-kerja advokasi kebijakan, pengorganisiran, sampai ikut turun ke jalan. Orang macam ini kerap dijuluki aktivis, anak gerakan, maupun community organizer. Mereka memiliki pengetahuan yang cukup mumpuni perihal hak-hak warga negara dan bagaimana cara memperjuangkannya.

Sialnya, orang-orang seperti ini jumlahnya makin ke sini makin sedikit. Sebabnya macam-macam. Tapi saya hanya akan mengemukakan satu sebab yang barangkali mulai terlupakan di benak orang-orang, yaitu motivasi berjuang.

Ada banyak macam motivasi seseorang ikut dalam perjuangan. Yang paling pokok tentu saja, untuk memperjuangkan hak dirinya sendiri. Hal demikian adalah tujuan bagi orang yang sedang dirampas haknya. Sedangkan seorang aktivis, mereka berjuang dengan alasan bermacam-macam. 

Ada yang berjuang karena kepedulian, kemanusiaan, sekedar mencari eksistensi dan sensasi, maupun menjadikan perjuangan sebagai hobi. Alasan mereka bisa bermacam-macam karena asal muasal mereka pun juga bermacam-macam.

Untuk mencapai kemenangan, tentu kita butuh gerakan yang besar. Kalau kita butuh gerakan yang besar, tentu membutuhkan aktivis dengan jumlah yang banyak dengan beragam kemampuannya. 

Semakin banyak aktivisnya, maka makin banyak tenaga untuk mengedukasi tentang hak, mengorganisir, dan menyebarluaskan isu perjuangan dengan cara yang beraneka ragam. Singkatnya, makin banyak aktivisnya maka makin banyak yang bisa tersadar akan haknya dan mau memperjuangkan dirinya sendiri, sehingga gerakan menjadi semakin besar, kuat, dan mudah mencapai kemenangan. Terjadinya perubahan sosial pun menjadi mungkin.

Tapi, tapi, dan tapi. Tidak semua orang punya rasa kemanusiaan dan kepedulian untuk tergerak ikut dalam perjuangan. Tidak semua orang ingin mencari eksistensi dan sensasi dengan cara ikut gerakan. Juga tidak semua orang hobinya demonstrasi ataupun turun langsung ke basis massa. 

Barangkali pernah seseorang dari kita ikut aksi massa, lalu keesokan harinya ketika bertemu teman-teman di kelas, kita malah dijauhi, disoraki, bahkan disindir oleh dosen. Belum lagi jika orangtua kita tahu, maka kita akan dinasehati berjam-jam. Bahkan sampai-sampai kita dijauhi gebetan. Akhirnya kita merasa enggan untuk ikut gerakan lagi, enggan untuk aksi massa lagi. Ini bukan salah mereka yang menjauhi kita. 

Ini hanya karena mereka belum menyadari pentingnya terlibat dalam perjuangan.

Rela berkorban, rasa kemanusiaan, kepedulian, memang diperlukan, tapi bagaimanapun, seseorang butuh sesuatu bagi dirinya sendiri. Setiap orang butuh mendapatkan manfaat dari suatu aktivitas. Inilah barangkali yang tidak diperoleh atau disadari banyak orang, sehingga enggan untuk ikut dalam gerakan. Tapi apa sih sebenarnya yang kita dapat dari ikut sebuah gerakan? Pada dasarnya, manfaatnya adalah untuk melatih atau menempa kapasitas diri kita sendiri.

Barangkali kita saat ini belum merasakan bagaimana rasanya dikekang haknya, belum paham rasanya ditindas. Tapi bisa jadi ketika suatu saat nanti kita merasakannya. Ketika bekerja di perusahaan, lalu si bos bertindak semena-mena. Ataupun ketika pulang ke desa, ternyata tanah kita terancam perampasan oleh perusahaan besar. Atau juga ketika sudah punya anak, ternyata biaya pendidikan makin melambung tinggi. Kalau semasa muda, kita tidak pernah melatih diri kita dalam perjuangan, maka kita akan kalah. Hak kita akan terus dilanggar, dan tidak ada kesempatan melawan. Hanya bisa pasrah, jatuh miskin, sakit, dan kemudian mati terlupakan.

Beda jadinya kalau semasa muda sudah terlatih ikut berbagai gerakan dan terlibat dalam perjuangan. Sudah tidak ada kecanggungan lagi dalam menganalisis masalah, menentukan pihak-pihak, dan menetapkan langkah ke depan. Tidak ada ketakutan untuk menghadapi kebijakan-kebijakan dan perlakuan negara yang melanggar hak-hak kita. Kalau sudah terlatih, maka kita menjadi berani untuk berkata lantang tentang hak kita kepada siapapun, bahkan kepada atasan kita, maupun pejabat negara. Karena kita tahu cara mengatasinya, tahu siapa yang bisa membantu kita, dan tahu siapa yang kita lawan.

Kalau sudah begini, tentunya setiap orang memiliki potensi yang sama untuk ikut gerakan, untuk terlibat dalam perjuangan. Gerakan pun tidak lagi diisi oleh orang-orang yang itu lagi itu lagi. Makin banyak yang terlibat, makin beragam pula kontribusinya. Bahkan makin variatif pula isu yang bisa dikembangkan. Pada akhirnya setiap orang dapat saling mendukung dan bersolidaritas memperjuangkan haknya, dan tentu saja membangun adanya perubahan sosial. Jadi, siapkah kamu untuk berjuang?

Rabu, 21 April 2021

Upaya optimalisasi nilai-nilai spiritual, PIKOM IMM FISIP Unismuh Makassar Menggelar Training Dakwah Ikatan

Pimpinan Komisariat IMM FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar mengadakan Training Dakwah Ikatan  dengan mengusung tema “Mewujudkan Kader PIKOM IMM FISIP yang Cakap dalam Berdakwah Ditengah Masyarakat”. Pada Selasa, (20/4/2021)

Tema dari training ini diambil dengan tujuan melatih para kader serta memperdalam ilmu spiritual seputar ceramah, khutbah, imam sholat dan tata cara penyelenggaraan jenazah, Sehingga materi-materi yang sajikan diisi oleh pemateri yang kompeten di dalamnya.

Farhan Nur Suud, Ketua Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman mengatakan bahwa training tersebut adalah salah satu bentuk upaya internalisasi Surah Al-Imran ayat 104

“sebagaimana telah dijelaskan dalam surah Al-Imran ayat 104 bahwa hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan dan menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, sehingga kegiatan ini untuk membuktikan bahwa bukan berarti mahasiswa FISIP tidak mampu berdakwah ditengah masyarakat karena menyampaikan kebaikan adalah tugas bersama bukan individu,” ujarnya.

Training ini berlangsung selama satu hari di Yayasan SMP Unismuh Makassar, dihadiri oleh pimpinan dan kader PIKOM IMM FISIP serta dirangkaikan dengan buka puasa bersama.

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...