Lagi-lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) membikin heboh dengan keputusan yang tampaknya lebih mirip langkah politik daripada bentuk keadilan konstitusional. Kali ini, MK memutuskan untuk membolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD mengajukan calon kepala daerah. Dari kacamata luar, ini mungkin terlihat seperti upaya untuk memperkuat demokrasi, tapi bagi sebagian orang yang melihat lebih dalam, langkah ini tampaknya tidak lebih dari sekadar menambah lapisan drama politik di panggung yang sudah penuh intrik.
Drama Cepat ala DPR: Revisi UU Kilat
Belum hilang kejut dari putusan MK, DPR dengan gesit langsung menyiapkan revisi UU Pilkada. Rapat maraton diadakan, tapi siapa yang diajak bicara? Tentu saja bukan publik. Bagaimana bisa publik diajak berpikir jika urusan negara diputuskan secepat kilat? Kritik keras pun datang, menyebut langkah DPR ini sebagai pembegalan konstitusi, seperti menambah garam pada luka. Seolah mereka ingin menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum rakyat benar-benar sadar apa yang sedang terjadi.
Dalam rapat yang dilakukan seperti terburu-buru, tidak ada yang tahu siapa yang sebenarnya diuntungkan dari revisi ini. Apakah ini benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau hanya permainan para elite politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka? Yang jelas, proses kilat ini jauh dari apa yang disebut demokrasi deliberatif.
Panggung Pertarungan yang Semakin Ramai
Tidak dapat dipungkiri, ini menjadi medan pertempuran yang semakin sengit setelah putusan MK ini. PDIP, yang sebelumnya harus bergulat untuk mendapatkan calon yang kuat, kini tersenyum lebar. Dengan perubahan ini, mereka bisa bebas menentukan siapa yang akan maju tanpa harus memikirkan syarat kursi di DPRD. Apakah ini artinya demokrasi lebih hidup? Atau ini hanya memberikan kesempatan bagi para politisi lama untuk kembali bersaing dalam arena yang sudah mereka kenal baik? Nama-nama seperti Anies Baswedan dan Ahok kini kembali mengisi headline, seolah ini semua tidak pernah bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu.
Politik Tanpa Kursi: Inovasi atau Sekadar Gimmick?
Dengan membuka pintu bagi partai tanpa kursi di DPRD untuk mencalonkan kepala daerah, MK tampaknya ingin menciptakan ilusi bahwa demokrasi kita lebih inklusif. Namun, banyak yang melihat ini sebagai gimmick politik belaka. Bagaimana tidak, partai-partai kecil yang tidak memiliki basis kuat di daerah kini bisa masuk bursa pencalonan, memicu fragmentasi politik yang malah bisa memperparah ketidakstabilan.
Para pengamat politik pun bertanya-tanya, apakah keputusan ini justru akan memperkuat praktik politik transaksional? Dengan semakin banyaknya calon dari berbagai partai kecil, apakah ini tidak membuka peluang untuk transaksi politik di bawah meja yang justru menjauhkan rakyat dari hakikat demokrasi? Tidak jarang, keputusan semacam ini malah menciptakan lebih banyak masalah daripada solusi.
Panggung yang Sama, Aktor yang Sama
Keputusan MK kali ini menambah satu lagi bab dalam kisah panjang politik Indonesia, di mana setiap langkah tampaknya tidak lebih dari pengulangan sejarah dengan aktor yang sama, hanya sedikit berbeda kostum. Meski dikemas sebagai langkah untuk memperkuat demokrasi, putusan ini terlihat lebih sebagai taktik untuk merombak peta kekuasaan, menambah lapisan sandiwara politik yang seakan tak pernah usai.
Apakah ini akan membawa perubahan berarti, atau sekadar memberi kesempatan bagi aktor-aktor lama untuk kembali tampil di panggung yang sama? Sejarah akan menjadi hakimnya. Yang jelas, rakyat tetap harus waspada dan kritis, karena dalam politik, yang tampak di permukaan sering kali hanyalah puncak gunung es.
Nur Ilham
(Jendral SKB XI PIKOM IMM FISIP UNISMUH MAKASSAR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar