Sabtu, 17 Agustus 2019

Narasi Kemerdekaan Pengantar Tidur

Bung Karno hari ini saya mendapatkan kesempatan menggantikan posisi anda membacakan teks proklamasi setelah 74 tahun kemudian.

Sesak dadaku, membacakan teks yang kau buat ini dengan suasana yang begitu genting setelah masa penculikan ke Rengasdengklok. Bukan karena dramatis, tapi berat rasanya menanggung warisan tanggung jawab untuk bangsa sendiri.


Saya tak ingin terlalu membahas sejarah, tapi yang ingin saya tahu adalah makna dari kata Kemerdekaan yang kau tulis dalam teks itu.


Banyak literatur yang membahas tentang kata merdeka. Namun yang populer adalah kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta dalam kitab kepemimpinan Kekawin Nitisastra, Mahardhikeka yang artinya orang yang bijaksana atau sadar.


Jika benar demikian maksud anda, maka secara umum pada saati itu Indonesia memang sudah harus sadar bahwa dirinya dijajah dengan penuh ketidak prikemanusiaan dan prikeadilan.


Hari ini, dirgahayu ke 74 telah usai lagi kami laksanakan. Namun, percayalah ini hanya sebatas seremoni. Kita belum merdeka sepenuhnya. Masih banyak diantara kita yang tidak sadar dirinya terjajah. Melalui produk-produk fun, food and fashion adalah bentuk penjajahan kaum kapitalis secara implisit yang membuat kita menghamba kepadanya. Jangankan kapitalis, bahkan ideologi-ideologi lain pun ikut menjajah secara pemikiran, neoliberalisme, komunisme serta sekulerisme. Bahkan tak jarang dari kita yang tidak sadar, terutama diri saya sendiri terjajah nafsu duniawi.


Elite, yah elite. Banyak kaum elite yang sejatinya tidak sadar menyakiti hati rakyatnya sendiri. Mereka tidak sadar bahwa anggaran-anggaran yang sejatinya diperuntukkan untuk rakyat tapi disalahgunakan. Korupsi demi korupsi masih saja dipertontonkan. Bisa jadi mungkin malah sudah menjadi hal yang lumrah bagi kalangan elite. Tapi maaf, saya tak mau terlalu mengkritik. Saya takut jangan sampai tulisan saya ini dikenakan pasal ujaran kebencian terhadap rezim.


Namun belakangan saya menemukan kutipan pidatomu bahwa merdeka adalah ketika kita menemukan kepribadian diri kita sendiri. Artinya ketika kita sudah sadar akan kepribadian diri kita sendiri disitulah kita merdeka.


Dengan kesimpulan, kita bangsa Indonesia punya kepribadian sendiri yang pada saat itu para The Founding Father salah satunya Tokoh dari Muhamadiyah Ki Bagus Hadikusumo telah merumuskan ke dalam Piagam Jakarta.


Kepribadian Indonesia secara garis besar telah ada pada Piagam Jakarta tersebut yang kini kami kenal dengan Pembukaan UUD 1945. Negara yang berke-Tuhanan, prikemanusiaan, nasionalisme, permusyawaratan serta keadilan sosial. Demikianlah kepribadian bangsa Indonesia yang kini kami kenal dengan sebutan Pancasila.


Banyak yang ingin saya tuliskan wahai Presiden Pertama. Tapi, mata rasanya sudah tak bersahabat lagi. Saya harus adil dengan tubuhku sendiri, karena tubuhku merdeka, tubuhka sadar bahwa dia sudah sampai pada batas kelelahannya untuk hari ini. Kata Minke kita harus adil, bahkan semenjak dalam pikiran.


Terakhir, merdeka sejatinya hanyalah jembatan untuk bisa memanifestasikan kesadaran kita sebagai bangsa Indonesia yang telah tertuang dalam Muqaddimah UUD 1945.


Saifullah Bonto, 17 Agustus 2019.


















Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...