Minggu, 28 Desember 2025

Pemimpin Cerdas atau Pemimpin Loyal? Refleksi Kepemimpinan dalam IMM

Dalam ruang-ruang kaderisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kita sering diajarkan untuk berpikir kritis, berani bersuara, dan tidak takut berbeda. Di saat yang sama, kita juga ditanamkan nilai kesetiaan pada cita-cita perjuangan, ideologi Muhammadiyah, dan garis gerak organisasi. Dari sini kemudian muncul pertanyaan yang kerap terasa nyata dalam praktik: IMM lebih membutuhkan pemimpin yang cerdas atau pemimpin yang loyal?

Pemimpin yang cerdas di IMM adalah mereka yang mampu membaca zaman. Ia peka terhadap isu sosial, mampu mengaitkan realitas masyarakat dengan nilai keislaman dan ke-Muhammadiyahan, serta tidak gagap menghadapi perubahan. Kecerdasan ini penting, sebab IMM bukan organisasi yang hidup di ruang hampa. IMM hadir di tengah krisis moral, ketimpangan sosial, dan tantangan intelektual mahasiswa. Tanpa kecerdasan berpikir, kepemimpinan IMM berisiko terjebak pada rutinitas seremonial tanpa makna.

Namun, kecerdasan saja tidak cukup. IMM bukan sekadar ruang adu argumen atau pamer intelektualitas. IMM adalah organisasi perjuangan. Di sinilah loyalitas menjadi nilai yang tidak bisa ditawar. Loyalitas dalam IMM bukan berarti tunduk tanpa berpikir, melainkan kesetiaan pada nilai dasar perjuangan: keislaman, keilmuan, dan kemanusiaan. Pemimpin yang loyal tidak akan menjadikan IMM sebagai batu loncatan pribadi, apalagi alat pragmatis untuk kepentingan di luar cita-cita organisasi.

Kita sering menjumpai kader yang cerdas berbicara, kritis di forum, bahkan progresif dalam gagasan, tetapi perlahan menjauh dari IMM ketika kepentingannya telah tercapai. Ini bukan soal salah atau benar secara personal, melainkan soal krisis loyalitas. Sebaliknya, ada juga kader yang sangat setia hadir dalam setiap agenda, namun enggan berpikir kritis dan takut berbeda pendapat. Loyal, tetapi kehilangan ruh intelektual. Dua kondisi ini sama-sama problematis bagi IMM.

IMM sejak awal berdiri menempatkan kader sebagai intelektual yang berakhlak dan berkomitmen. Artinya, kecerdasan harus berpijak pada loyalitas, dan loyalitas harus dibimbing oleh kecerdasan. Pemimpin IMM yang ideal adalah mereka yang berani mengkritik kebijakan internal organisasi demi perbaikan, tetapi tetap menjaga marwah dan arah perjuangan. Ia tidak meninggalkan IMM ketika lelah, tidak pula membungkam akal sehat demi kenyamanan.

Dalam konteks ini, loyalitas justru diuji ketika kader berani bersikap kritis namun tetap bertahan. Bertahan dalam proses, dalam konflik, dan dalam dinamika organisasi. Sebab menjadi kader IMM bukan soal seberapa lama mengenakan jas merah, tetapi sejauh mana nilai IMM hidup dalam sikap dan keputusan.

Maka, IMM tidak membutuhkan pemimpin yang hanya cerdas secara retoris, juga tidak cukup dengan pemimpin yang sekadar loyal secara administratif. IMM membutuhkan pemimpin yang menjadikan kecerdasan sebagai alat perjuangan dan loyalitas sebagai kompas moral. Pemimpin yang berpikir tajam, tetapi tetap pulang pada IMM sebagai rumah ideologis dan ruang pengabdian.

Pada akhirnya, kepemimpinan dalam IMM bukan tentang siapa yang paling menonjol, tetapi siapa yang paling bertanggung jawab pada nilai dan masa depan. Sebab pemimpin IMM sejati bukan hanya membesarkan namanya sendiri, melainkan membesarkan gagasan dan perjuangan organisasi.



Andi Muhammad Dzaky

Sekretaris Jendral SKB XI

Sekretaris Bidang Seni Budaya & Olahraga PK IMM FISIP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemimpin Cerdas atau Pemimpin Loyal? Refleksi Kepemimpinan dalam IMM

Dalam ruang-ruang kaderisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kita sering diajarkan untuk berpikir kritis, berani bersuara, dan tidak ta...