Kamis, 12 Desember 2019


Budaya Literasi sebagai Rahim Generasi dan Tangan Peradaban
Oleh
Immawati Asrini

“ Penguatan budaya literasi adalah kunci memajukan negeri ini ” kata Lenang Manggala, salah satu penulis dan Penggagas gerakan menulis Indonesia.
Berangkat dari kutipan itu, Urgensi daripada budaya Literasi memiliki peran penting dalam memajukan sebuah bangsa dan negara. Untuk menggalakkan gerakan dan budaya Literasi tentunya yang menjadi pelaku utama adalah para tunas bangsa atau generasi muda sebagai pemegang tonggak peradaban. Generasi muda punya tanggung jawab besar untuk membumikan kembali budaya literasi. Budaya literasi harus senantiasa digaungkan oleh mereka yang sadar akan pentingnya literasi di semua lini kehidupan.
Sebelum terlalu jauh membahas tentang seberapan pentingnya generasi muda dalam membangun peradaban melalui budaya literasi, perlu kiranya menelisik kembali seperti apa itu literasi.
Kata Literasi berasal dari Bahasa latin “ Littera ” ( huruf ) yang mempunyai defenisi arti, sesuatu yang melibatkan penguasaan terhadap sistem-sistem tulisan serta konvensi yang menyertainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Literasi sangat erat kaitannya dengan dunia Keberaksaraan, Membaca dan Menulis. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Graff ( 2006 ) bahwa “ Literasi adalah suatu kemampuan untuk menulis dan membaca ”.
Berbicara dalam konteks literasi, sebenarmya bukan hal yang asing lagi untuk diperdengarkan dan diperbincangkan, karena melihat dari sudut pandang sejarahnya, jauh sebelum kita lahir dan mengenal literasi itu sendiri di Era Milennial ini, ternyata Literasi sudah menjadi bagian dari kehidupan dan perkembangan manusia dari Zaman pra sejarah sampai Zaman Modern. Namun pada zaman pra sejarah manusia kala itu hanya mampu membaca tanda-tanda alam untuk berburu, dan mempertahankan diri. Mereka menulis symbol-simbol dan gambar buruannya pada dinding gua. Ini membuktikan bahwa jauh sebelum dicetuskannya nama “ Literasi ” praktik-praktik daripada kegiatan literasi sudah tercerminkan dalam tindakan atau kegiatan manusia pada zaman itu. Akan tetapi seiring perkembangan Zaman, memasuki era sekarang atau biasa dikenal dengan Era Milennial dimana masyarakat terjebak dalam lingkar “ masyarakat multimedia (cyber society) ” mengalami degradasi dalam berliterasi karena mengakarnya budaya instan yang disediakan oleh teknologi yang semakin canggih. Contoh kecil nya saja, generasi muda yang dulu nya gemar membaca dan menulis kini lebih tertarik dengan bermain game dan aktif di dunia medsos yang ada di smartphone nya. Ini membuktikan bahwa di era digital dengan segala  tawaran fitur-fitur nya yang dapat mempermudah dan mengakses berbagai informasi malah menjadi boomerang bagi generasi muda. Hasil penelitian Programme for international  student Assessment ( PISA ) tahun 2016 menyebutkan bahwa minat membaca siswa di Indonesia menduduki urutan ke 69 dari 76 negara yang di survei. Dari indeks membaca, rata-rata penduduk Indonesia hanya membaca 4 judul buku setahun dan masih jauh dari standar UNESCO yaitu 7 judul buku dalam setahun. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih jauh ketinggalan dari negara lain. Masihkah kita sebagai generasi muda, diam melihat hal ini ? tidak bergetar kah jiwa kita untuk bergerak dan memberikan sebuah perubahan melalui literasi ? Memilih menjadi pelaku atau penikmat dari sebuah perubahan ? Sekiranya kita sebagai generasi muda harus sadar akan posisi sebagai agent of change atau pemberi perubahan, semoga saja masih senantiasa terpatri dalam diri. 
Tentunya banyak hal yang harus dilakukan dalam membudayakan dan membumikan gerakan literasi itu sendiri diantaranya ialah menumbuhkan kembali minat baca, menulis, berdiskusi, dsb. Hal yang paling utama ialah berbekal kesadaran, bahwa literasi itu adalah sebuah kebutuhan setiap manusia dan merupakan tangan peradaban.
 “ Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi dan kesejahteraan hidup seseorang adalah dengan menanamkan budaya literasi. Dan cara terbaik untuk menanamkan budaya literasi yang kuat pada seseorang adalah dengan menjadikannya sebagai seorang penulis, karena setiap penulis, secara otomatis akan melewati tahapan membaca, berpikir dan tentu saja menulis serta berkreasi ”. –Lenang Manggala

Sendiri membaca, Berdua berdiskusi dan Bertiga bergerak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...