Selasa, 24 Desember 2019

Kisah perjuangan dan romantisme sekawan pemuda dalam berjuang mengubah jalan sejarah bangsa

Sekarang aku mau menceritakan padamu satu episode yang begitu membekas. Episode yang makin meneguhkanku bahwa perjuangan itu harus dinyatakan dengan indah, dalam lirik dan nada. Pada suatu malam di bulan November tahun 1991, di tengah-tengah aksi mogok makan kawan kami menutut demokratisasi lembaga pemerintahan mahasiswa di UGM, aku dan beberapa kawan berkumpul di sekretariat organisasi. Di antara mereka terdapat Johnsony Tobing, mahasiswa Filsafat yang sering menjadi komandan lapangan dalam setiap demonstrasi; juga Dadang Juliantara (seorang mahasiswa Geofisika) yang banyak menyusun konsep pergerakan mahasiswa. Di tengah suasana lelah, pada suatu senja yang temaram (ketika batas malam dan siang menaungi kami), John memainkan sebuah nada dan meminta kami yang saat itu berkumpul di situ untuk membuatkan liriknya. Kami pun berkumpul di sekitar John yang memainkan nada lagunya dan Dadang berinisiatif menuliskan idenya di papan tulis. Dia tuliskan syair, kemudian menghapusnya, dan menuliskannya lagi sampai kemudian pada satu jeda, kuusulkan untuk menambahkan kata “Bunda” pada syair lagu itu (ah, betapa saat itu aku sedang merindukan Ibu yang sudah lama tak kute­mui). Pada jelang tengah malam, terciptalah lagu baru yang oleh John diberi judul ”Darah Juang”. Pada tengah malam itu juga kami beramai-ramai menyanyikannya, sebuah lagu yang untuk beberapa tahun kemudian menjelma sebagai kredo kami yang lain. Lagu itu kelak sering mengiringi kami dalam perjuangan demokrasi di Indonesia, menurunkan rezim korup dan otoriter, maupun dalam perjuangan-perjuangan rakyat lainnya. “Darah Juang” adalah kredo untuk mengorbankan apa yang kami punya, untuk mimpi-mimpi besar kami sebagai seorang individu maupun sebuah generasi.

...Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah,
 Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas hak-nya
Tergusur dan lapar
Bunda, relakan Darah Juang kami
Membebaskan rakyat
Mereka dirampas hak-nya
Tergusur dan lapar
Bunda, relakan Darah Juang kami
Padamu kami berjanji

Lagu tersebut dicipta untuk merayakan anak-anak muda dari berbagai pelosok tanah air. Kami tahu mereka mulai terlibat dalam perjuangan demokrasi. Mereka adalah kaum muda yang sedang bergulat di kampus melawan birokrat-birokrat kampus yang merepresi hak demokrasi mahasiswa; kaum muda yang sedang menyebarkan pamflet-pamflet atau mencoretkan grafitti perlawanan di dinding-dinding kota; anak-anak muda yang keluar masuk pabrik, pematang sawah, perkampungan kumuh tengah kota dan tepi laut, perkebunan maupun lereng gunung yang sedang membangun gerakan rakyat; anak-anak muda yang sedang mogok makan atau sedang berada dalam genggaman penyiksa-penyiksa mereka di ruang interogasi. Tak kalah pentingnya juga, lagu tersebut adalah untuk menyemangati diri kami sendiri, yang malam itu kelelahan karena habis berdemonstrasi pada siang harinya.

(Budiman Sudjatmiko)
—Dinukil dari buku Anak-Anak Revolusi Vol.1 karya Budiman Sudjatmiko—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...