Oleh: Muh. Nur Fikran (Sekretaris Bidang HIKMAH PIKOM IMM FISIP Unismuh Makassar)
Hingga hari ini, polemik penembakan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 ruas jalan tol Jakarta-Cikampek masih abu-abu. Berbagai pihak terkait saling klaim kebenaran atas versinya masing-masing terkait peristiwa ini.
Terlepas dari versi mana yang paling benar, tak dapat dipungkiri, tewasnya sejumlah masyarakat sipil yang diduga dilakukan aparat kepolisian memberikan implikasi yang cukup serius bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sejumlah pihak menilai aparat telah melakukan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pembunuhan di luar proses hukum atau extra judicial killing.
Sontak insiden ini pun tak luput jadi bahan komentar para elite politik. Di media massa, komentar-komentar politisi mengenai insiden ini bertengger di halaman-halaman utama pemberitaan. Menariknya, diskursus yang berkembang di tengah masyarakat justru terkesan lebih menaruh perhatian pada aspek politik, seperti sepak terjang ormas FPI ketimbang menyoal adanya potensi pelanggaran HAM berat dalam kasus ini.
Lantas Mengapa Hal ini Bisa Terjadi?
Stephen Hilgartner dan Charles L. Bosk dalam tulisan mereka yang berjudul The Rise and Fall of Social Problems memaparkan sejumlah syarat di mana suatu fenomena dapat digolongkan sebagai permasalahan sosial. Mereka menyebut bahwa suatu fenomena dapat menjadi masalah sosial jika dapat didefinisikan dan dipahami dalam masyarakat.
Kemunculan permasalahan sosial dalam agenda-agenda publik tidak hanya ditentukan oleh sifat objektif dari permasalahan itu sendiri, melainkan melalui proses yang sangat selektif di mana permasalahan-permasalahan potensial ini saling bersaing satu sama lain untuk mendapatkan perhatian publik.
Penjelasan dari Hilgartner dan Bosk akan membantu kita lebih memahami mengapa fenomena dugaan penembakan Laskar FPI ini tak mampu menjadi agenda sosial publik meski mendapat sorotan masif media.
Menurut mereka persaingan di antara masalah-masalah sosial secara bersamaan terjadi pada dua tingkat. Pertama, bagaimana membingkai situasi atau fenomena agar dapat bersaing dan diterima sebagai versi realitas yang sebenarnya.
Kedua, sekumpulan besar masalah tersebut bersaing satu sama lain untuk mendapatkan perhatian publik melalui proses seleksi yang kompleks untuk menetapkan prioritas tentang apa yang harus dianggap penting.
Terdorong arus konservatisme yang mengalami pasang naik sejak Reformasi, simbolisme agama kian deras memasuki arena politik. Formalisme agama pun kian kencang membanjiri ruang publik. Sepak terjang FPI, Gerakan 212 dan ide NKRI bersyari’ah adalah contoh manifestasinya. Relasi agama dan negara dalam bingkai Pancasila kembali dipersoalkan. Bagaimana seharusnya kita mendudukkan prinsip negara yang berketuhanan?
Titik Keseimbangan
Ketika Sukarno berpidato pada 1 Juni 1945 tentang dasar negara, ia menawarkan lima prinsip fundamental yang bisa diterima semua pihak sebagai alat pemersatu. Itulah dasar statis sekaligus leitstar dinamis, bintang pemimpin bagi bangsa Indonesia. Para pembicara terdahulu dalam sidang BPUPKI cenderung tak menjawab langsung pertanyaan tentang dasar negara.
Mereka khawatir pembicaraan begitu akan menyeret perdebatan berlarut-larut, khususnya di antara kaum Islam dan nasionalis. Pancasila akhirnya diterima semua pihak karena ia menjadi titik temu, dasar yang menopang keseimbangan dimana berbagai elemen bisa berdiri bersama sebagai suatu bangsa. Tanpa Pancasila, tanpa titik keseimbangan, tak ada Indonesia.
Sebagai titik temu, Pancasila berisi prinsip-prinsip yang memang hidup dalam jiwa bangsa Indonesia, bukan barang asing. Ia menjadi pemersatu karena sifatnya yang terbuka, merangkul semua unsur. Ketika Pancasila tak lagi terbuka, ketika ia dipakai sebagai alat eksklusi baik oleh mayoritas maupun oleh rezim penguasa, keseimbangan akan terganggu. Indonesia terancam.
Sila Ketuhanan dan Piagam Jakarta
Meski tak berarti setiap orang Indonesia pasti merasa berketuhanan, menurut Sukarno (1960: 47), secara historis dan sosiologis pada umumnya masyarakat Indonesia menempatkan ketuhanan sebagai prinsip fundamental. Karenanya, prinsip ketuhanan mutlak diperlukan untuk menyatukan bangsa Indonesia. Begitu juga keempat sila lainnya. Sebagai pemersatu, sila pertama itu merangkum bermacam kaidah dan praktek agama. Maka, definisi dan implementasinya tak boleh dimonopoli, tak boleh mengeksklusi yang berbeda.
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar yang memberikan keleluasaan bagi setiap kelompok agama untuk meyakini dan mempraktekkan ajaran masing-masing. Itulah prinsip ketuhanan yang saling menghormati, ketuhanan yang berkebudayaan.Penghapusan “tujuh kata” yang sempat ditambahkan pada sila pertama dalam Piagam Jakarta adalah kesepakatan konstitusional. Tanpa “tujuh kata” itu sila pertama justru tetap inklusif. Setiap kelompok agama merasa terakomodasi.
Secara historis, setiap upaya monopoli sila pertama telah menggiring Pancasila menjadi alat eksklusi, bukan pemersatu. Itulah yang terjadi sepanjang 1950an dan turut menyeret ke jalan buntu yang berakhir dengan pembubaran Konstituante pada 1959. Situasi serupa kembali terjadi pada awal Orde Baru ketika kelompok Islam berusaha menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Ketika Sukarno menyindir bahwa ada kelompok yang sibuk mengurus sila pertama saja, Hamka menulis buku Urat Tunggang Pantja Sila. Inti sila pertama adalah tauhid, katanya. Hanya dengan berpegang teguh pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu sajalah, menurut Hamka (1952: 32), keselamatan Indonesia akan terjamin. Itulah urat tunggang Pancasila.
JWM Bakker (Katolik), WB Sidjabat (Kristen) dan beberapa pemikir non-Muslim lain pun menulis buku, menyanggah monopoli tafsir versi Islam itu. Walhasil, monopoli tafsir hanya mengakibatkan polarisasi dan sikap saling memusuhi.
Tentu umat Islam berhak meyakini bahwa tauhid adalah inti sila pertama. Tapi jangan lupa, umat lain pun berhak untuk menafsirkannya menurut agama masing-masing. “Yang Maha Esa” di situ bukanlah pengganti “tujuh kata” yang dihapus dari Piagam Jakarta.
Negara Religius
Ketika menerima anugerah doktor honoris causa dari UIN Jakarta pada 1964, Sukarno menyatakan bahwa negara harus bertuhan. Indonesia adalah negara berketuhanan. Ini apa artinya? Definisi “bukan sekuler, bukan teokrasi” tak menjernihkan persoalan. Menurut saya, negara berketuhanan adalah negara yang religius. Bukan berarti negara berdasarkan agama, apalagi agama tertentu. Dalam negara berketuhanan, esensi agama menjadi dasar dan penuntun kehidupan bernegara.
Agama dihadirkan dalam kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk, panji-panji yang mengibarkan sektarianisme, tapi sebagai prinsip moral, pondasi dan visi bagi kehidupan bersama yang adil, damai, lapang dan memanusiakan.Sayangnya, di tengah masyarakat yang sedang dilanda pasang naik konservatisme, justru bentuk-bentuk agama itulah yang kini melimpah, rawan disalahgunakan.
Aparat, pengambil kebijakan, pemimpin dan masyarakat secara umum kerap gamang, terkecoh atau malah sengaja memanfaatkan hiruk-pikuk simbolisme agama itu. Tak sedikit yang bingung, malah salah bersikap, bahkan ketika simbolisme agama jelas-jelas dipakai untuk merampas hak orang lain dan melanggar hukum. Kasus Rizieq Shihab hari-hari ini adalah contohnya.
Selain berderet kekerasan dan kesulitan pendirian rumah ibadah yang dialami kelompok minoritas, kasus seperti pembubaran kegiatan tradisi yang dianggap musyrik, “pengafiran” kandidat non-Muslim, pelarangan oleh pejabat daerah terhadap aplikasi online Injil Minang dan pembangunan makam leluhur Sunda Wiwitan terus bermunculan.
Jika serius, komitmen Presiden Jokowi pada peringatan Hari HAM 10 Desember 2020 untuk membenahi masalah ini harus segera diterjemahkan menjadi kebijakan dan tindakan kongkrit. Di negara yang berketuhanan setiap umat berhak mempraktekkan agamanya menurut bentuk dan cara masing-masing dalam menyembah Tuhan. Negara tidak boleh pilih kasih. Pancasila harus tetap menjadi titik keseimbangan yang merangkul semua.
Sila pertama harus menyediakan ruang yang sederajat dan bermartabat bagi setiap agama. Kedewasaan umat Islam sebagai mayoritas seperti ditunjukkan para pendiri bangsa yang merelakan agamanya tak menjadi dasar negara dan mau menghapus “tujuh kata” dari Piagam Jakarta adalah sikap bijaksana yang mendudukkan agama sebagai esensi, bukan bentuk.
Prinsip Gus Dur yang haulnya diperingati setiap Desember patut kita teladani. Menurutnya perjuangan umat Islam harus sejalan dengan perjuangan bangsa dan keduanya harus sejalan dengan perjuangan kemanusiaan. “Ada yang lebih penting dari politik yaitu kemanusiaan.”
Billahi Fii Sabilil Haq Fastabiqul Khairat!
Membaca, Bergerak, Melawan
*Jika ada kesamaan narasi, kutipan kalimat atau tokoh maka sejatinya kita se-frekuensi dan satu tarikan nafas perjuangan.