Setelah perjalanan panjang Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyahn (IMM), eksistensi perempuan IMM tidak bisa dikesampingkan. Keberadaan perempuan di IMM merupakan mitra sejajar yang akan terus bersama-sama mewujudkan cita-cita ikatan kapanpun organisasi ini masih berdiri. Akan tetapi dalam perjalanan panjang itu ternyata banyak kerikil yang melukai kaki para perempuan IMM. Kerikil ini beraneka ragam, mulai dari kelemahan diri dari IMMawati itu sendiri hingga persoalan kultur yang sering memberikan stigma lemah, tidak mampu memimpin, dan stigma lainya yang terkadang mengantar immawati tidak mendapat ruang cukup untuk mengembangkan potensi. (Baca; buku pedoman IMMawati)
Berbagai upaya dilakukan, mulai dari kajian rutin dengan tema-tema yang ke Fiqih-Fiqian, seperti Tata cara berpakaian, tata cara berkomunikasi, tata cara berjalan, dan berbagai macam tata cara - tata cara lainnya yang cenderung normatif implementatif. Upaya ini dilakukan sebagai upaya membentengi IMMawati, pun agar tidak mencoreng nama lembaga di ruang publik. Tapi ternyata dibalik semua upaya itu, masih ada saja IMMawati yang melenceng dari nilai dan norma-norma yang berlaku di IMM, mulai dari IMMawati pacaran, IMMawati berboncengan dengan IMMawan, IMMawati tanpa kos kaki, IMMawati yang sering membantah dan emosian, IMMawati mulut besar, dan berbagai macam pelanggaran-pelanggaran sosial yang di anggap tabu oleh elite(Kakanda IMMawati) yang memiliki pendalaman spiritualitas di atas rata-rata katanya dan sangat senang menghakimi adik adiknya itu. Tapi disisi lain ada juga elite(kakanda IMMawati) yang sebelumnya mendoktrin dan mendikte adik-adik IMMawati yang lain agar jangan melanggar, tapi justru ia sendiri yang melanggar aturan yang ia berlakukan, memang agak aneh dan mengherankan.
Ketika ditanya mengapa begini, lantas mereka menjawab " kita semua hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan-kesalahan "(ucap sang Kakanda IMMawati saat terciduk adik-adiknya telah melanggar aturannya sendiri)
Berbicara tentang IMMawati memang tidak ada habisnya, keragaman karakter dan sifat alamiah yang masing masing mempengaruhi cara berpikir dan berperilakunya justru memberikan tugas tambahan bagi setiap pemain yang bertanggungjawab atas citra lembaga di ruang publik.
" Fenomena pencitraan di ruang publik ternyata tidak hanya dilakukan oleh segelintir politisi pada saat mengkampanyekan dirinya untuk dipilih oleh rakyat, tapi juga secara subyektif sebagian kecil IMMawati dagelan ini pun melakukan hal yang serupa. " (asumsi ini hanya sekedar praduga semata dalam pandangan pribadi penulis).
Pencitraan dalam hal ini adalah ketika individu seseorang berperilaku tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau sederhananya adalah sebuah perilaku yang dimanipulasi demi kepentingan untuk memperoleh citra baik di ruang publik.
Fenomena itu sejalan dengan Gagasan Erving Goffman tentang Teori Dramaturgi yang dicetuskannya.
TEORI DRAMATURGI ERVING GOFFMAN
Menurut Erving Goffman, dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Dengan kata lain, dramaturgi merupakan situasi dimana manusia bertindak sesuai dengan waktu, ruang, dan khalayaknya. Yang tentunya hal ini disertai dengan feedback yang diharapkan pula.
Menurut Erving Goofman, individu akan selalu bermain peran. Artinya, setiap individu bertindak sesuai dengan perannya dalam bersosialisasi dengan individu lainnya.(Baca; Kompasiana "Dramaturgi")
Konsep dramaturgi Goffman memusatkan perhatian atas kehidupan sosial layaknya serangkaian pertunjukan drama di panggung. Aktor dan penonton merupakan komponen dalam dramaturgi. Tugas aktor dalam hal ini hanyalah mempersiapkan dirinya dengan berbagai artibut pendukung dalam berperan di kehidupan sosial. Sedangkan interpretasinya diserahkan sepenuhnya kepada penonton, yaitu masyarakat. Sehingga individu tidak lagi memiliki kebebasan dalam menentukan makna.
Back Stage dan Front Stage
Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dibagi menjadi dua yaitu back stage dan front stage.
Back stage atau panggung belakang adalah tempat dimana individu menyiapkan segala sesuatu untuk ditunjukan pada front stage. Artinya, karakter asli seorang individu dapat ditunjukan di back stage.
Kemudian dalam front stage atau panggung depan-lah, seorang individu memainkan perannya. Dalam front stage terdapat pertunjukan (appearance) atas penampilan dan gaya (manner). Pada panggung ini, individu akan berusaha untuk memainkan perannya sebaik mungkin untuk membangun dan menunjukkan sosok ideal dari identitas yang akan ia tonjolkan dalam interaksi sosialnya. Hal ini bertujuan agar penonton atau masyarakat dapat memahami tujuan-tujuan yang hendak ia sampaikan.
IMMawati Dagelan dalam pusaran Dramaturgi
Fenomena IMMawati dagelan ini ternyata masuk Dalam kategori Dramaturgi yang dimaksud Erving Goffman dengan menggunakan penjelasan sederhana terkait Dramaturgi dan variabel Back stage dan Front stage.
Back stage, adalah ketika oknum IMMawati dagelan ini berada di belakang layar atau lepas dari pantauan kelompoknya kemudian melakukan sesuatu hal yang melenceng dari nilai nilai yang sepantasnya. IMMawati jenis ini merupakan IMMawati yang hanya menjadikan label keIMMawatiannya sebagai peran sekejap saja, dan bukan identitas otentik yang secara alamiah dan konsisten tertanam dalam dirinya. sehingga ia cenderung melenceng dari apa yang pantas dan seharusnya dilakukan.
Front stage, adalah ketika individu seseorang hanya menjadikan symbol IMMawati hanya sebatas peran yang dimainkan namun tidak dihidupkan, dan hanya menjadikan peran ke IMMawatian sebagai upaya untuk memperoleh reward, popularitas atau nama baik pada saat berekspresi di lingkungan IMM namun diluar justru ia tidak mencerminkan bagaimana kepribadian IMMawati yang seharusnya.
BillahiFisabililhaq Fastabiqul Khairat
Istiqomah Menebar Manfaat.
Oleh: IMMawan Agus Maulana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar