Indonesia menganut system Demokrasi, telah menginjakkan usia 25 tahun Indonesia masuk dalam tatanan Reformasi tapi nihilnya kita masih merasakan bagaimana sistematika keotoriteran yang terimplementasikan pada era Ore Baru di bawah kepemimpinan Seorharto. Jika kita melihat secara umum keotoriteran ini memang tidak dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia, namun di sebagian wilayah yang ada di Indonesia masyarakat meraskan apa yang terjadi di zaman Soeharto kini kembali terjadi di rezim Jokowi.
Melihat kasus-kasus yang kemudian terjadi di beberapa wilayah di Indonesia merupakan sebuah ancaman bagi masyarakat, sebab kini kita tidak lagi menjadi sebuah hal yang harus dilindungi oleh para pengayom kita (dalam hal ini POLISI dan PEMERINTAH). Mereka tidak lagi menganggap masyarakat sebagai prioritas utama, kebijakan-kebijakan yang kini telah disahkan memberikan kecondongan keberpihakan kepada mereka yang mempunyai kekuasaan dan keuangan yang mampu membungkam mulut seseorang dan juga lembaga yang di anggap oleh masyarakat sebagai penegak keadilan dengan segenggam kertas berwarna merah yang bertuliskan angka 100000.
Apa yang kemudian terjadi di Rempang, Kalimantan dan juga beberapa wilayah yang ingin dijadikan sebagai ladang penampungan uang bagi pemerintah menjadi sebuah kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi dianggap sebagai orang yang betul-betul harus di prioritaskan dalam sebuah negara. Padahal ketika kita melihat dari segi aspek teoritis masyarakat merupakan hal yang harus dan menjadi kewajiban bagi negara memberikan kedaulatan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Kasus penembakan yang terjadi di Kalimantan menjadi sebuah bukti nyata bahwa pihak yang dipercayai oleh masyarakat tidak lagi menjalankan TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi)-nya sebagaimana mestinya, mereka kini memberikan keamanan bagi oligarki dan para investor yang mencoba merebut lahan masyarakat. Begitu pula yang terjadi di rempang, kecaman dan tindakan represif yang dilakukan oleh pihak Ke-POLISI-an merupakan bentuk keberpalingan mereka kepada masyarakat. Mereka tidak lagi memperdulikan masyarakat sebagai tujuan utama mereka di bentuk. Dan juga aksi demonstrasi yang terjadi di tahun 2019 yang mengusungkan tuntutan “DEMOKRASI DIKORUPSI” di pertontonkan dengan senjata laras dan juga tembakkan peluru gas air mata, padahal mahasiswa dan para demonstran berupaya memberikan aspirasi dan menyuarakan apa yang menjadi keresahan yang selama beberapa tahun ini kerap kali diabaikan oleh para pemangku kebijakan dan juga para oligarki kekuasaan, seperti yang termaktub dalam Pasal 1 angka 3 tahun 1998 yang berbunyi “Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum”.
Rekayasa sosial kerap kali menjadi sebuah hal yang terjadi dalam sebuah momentum pemilihan kepala negara, masyarakat seolah-olah diiming-imingkan dengan berbagai macam dalih yang membuat masyarakat terlena akan hal itu. Sembako gratis, penggantian lahan masyarakat dengan uang yang nilainya beberapa angka, dan lahan tempat bergantungnya masyarakat untuk mencari selembar rupiah dan sesuap makan untuk istri, anak dan juga keluarga mereka digantikan dengan bangunan yang ramah lingkungan dan lebih layak untuk digunakan oleh masyarkat. Namun, pada realitasnya sampai pada saat ini masyarakat tidak juga mendapatkan apa yang menjadi janji dari apa yang disampaikan kepada masyarakat. Seperti halnya dengan pembangunan MEIKARTA yang sampai sekaran tidak juga kunjung usai dan mempuni untuk bisa digunakan oleh masyarakat, dan juga bagaimana kasus pembangunan stadion GBK yang lahan masyarakat digunakan untuk pembangunan tersebut, tapi masyarakat yang awalnya menempati lahan tersebut justru dipinggirkan dan diabaikan begitu saja. Sungguh miris negara ini.
Dalih bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat hanya menjadi sebuah tekstual belaka dan tidak menjadi sebuah implementasi nyata, kesejahteraan, keadilan dan juga kemaslahatan bagi masyarakat hanya ditujukan kepada masyarakat yang memberikan keuntungan bagi pemerintah (dalam hal ini masyarakat menengah ke atas). Sedangkan masyarakat menengah kebawah hanya dikesampingkan dan tidak diperdulikan oleh mereka disana. Kebijakan yang dikeluarkan juga memberikan isyarat bahwa kebijakan tersebut meruncing kepada masyarakat yang lemah dan tumpul terhadap oligarki yang selalu melakukan tindakan kriminalitas, korupsi, kolusi dan juga nepotisme.
Dalam momentum Refleksi Hari Sumpah Pemuda sekarang ini, para pemuda dan pemudi Indonesia lebih bergairah lagi dalam memberikan sumbangsi pikiran dan juga aspirasi yang kemudian kerap kali didapatkan ataupun didengarkan langsung dari masyarakat. Pemuda dan juga pemudi harus menjadi tonggak perubahan yang juga menjadi pengharapan dari para orang tua dan juga masyarakat ramai, tidak menjadi orang-orang yang kemudian apatis terhadap kasus-kasus yang kemudian terjadi di sekeliling kita.
Ruang-ruang diskusi harus menjadi sebuah makanan sehari-hari bagi pemuda dan pemudi, sebab ketika pemuda dan pemudi telah bersatu maka mereka akan menciptakan hal-hal baru untuk dilakukan. Pemuda dan juga pemudi harus lebih dekat dengan buku dan digital book, sebab dengan hal itu kita dapat mengetahui isi dunia tanpa harus menginjakkan kaki di tempat yang memiliki sejarah tersebut. Mengutip dari apa yang di nyatakan oleh David Harvey – Ruang Belajar hanya memberikan 10% pengetahuan kepadamu, 90%-nya dapat kau temukan dan dapatkan di luar, yaitu BUKU, diskusi, Organisasi atau terjun ke masyarakat.
KASINO WARKOP – Indonesia tidak kekurangan orang pintar, hanya saja Kekurangan orang yang JUJUR
Refleksi Hari Sumpah Pemuda, Kebenaran akan terus hidup dan orang-orang yang menyuarakannya akan terus ada – fajar merah (putra Wiji Thukul)
Oleh :
Aldy Nurdiansyah B (Jendral SKB IX)