Selasa, 04 Juni 2024

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran: Upaya Pembaruan atau Pembungkaman Suara Rakyat?

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tahun 2024 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang signifikan. Latar belakang dari percepatan pembahasan RUU ini disebabkan oleh semakin mendesaknya kebutuhan akan sebuah regulasi penyiaran yang baru, yang mampu mengakomodasi perkembangan pesat dalam teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan pola konsumsi media oleh masyarakat. UU baru ini diyakini akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan lembaga penyiaran, sekaligus menciptakan iklim penyiaran yang lebih sehat dan berintegritas di tanah air.

Komisi I DPR RI, yang bertanggung jawab atas urusan penyiaran, berkomitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU Penyiaran dalam waktu yang singkat. Hal ini dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul dari regulasi yang ada, yang dianggap sudah tidak lagi memadai dalam menghadapi tantangan zaman. Percepatan pembahasan ini juga didorong oleh kebutuhan untuk melindungi masyarakat dari konten-konten penyiaran yang tidak sesuai dengan norma dan nilai budaya Indonesia, serta untuk memperkuat sanksi terhadap pelanggaran regulasi penyiaran.

Namun, beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran 2024 memicu penolakan dari berbagai kalangan, termasuk Dewan Pers dan konstituennya. Mereka menilai bahwa beberapa ketentuan dalam RUU ini akan tumpang tindih dengan undang-undang lain yang mengatur pers dan penyiaran, serta berpotensi mengekang kebebasan pers. Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah pilar dasar dalam negara demokrasi, dan adanya regulasi yang dianggap membatasi hal tersebut menimbulkan kekhawatiran serius.

Beberapa pasal yang kontroversi dari RUU Penyiaran ini antara lain:

• Pasal 42 ayat 2 menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Pasal ini tumpang tindih dengan UU Pers 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers.

Berikut bunyi pasal 42 ayat 2: "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

• Pasal 50 B ayat 2 huruf (c)

Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) memuat aturan melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c):

"Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;

• Pasal 50B ayat 2 huruf (k)

Pasal 50B ayat 2 huruf (k) mengatur soal larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Seperti di UU ITE, pasal yang memuat istilah pencemaran nama baik dianggap sebagai "pasal karet” dan membatasi kebebasan pers.

Berikut bunyi Pasal 50B ayat 2 huruf (k):

"Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme."

• Pasal 51 huruf E

Pasal 51 huruf E juga kontroversial lantaran RUU Penyiaran 2024 mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan. Pasal ini juga tumpang tindih dengan UU Pers 1999.

Berikut bunyi pasal Pasal 51 huruf E:

"Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Kekhawatiran lainnya adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam penerapan regulasi yang ketat. Beberapa pihak menilai bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat digunakan sebagai alat untuk menyensor kritik terhadap pemerintah dan mengurangi ruang bagi media independen untuk beroperasi secara bebas. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara kebutuhan untuk mengatur penyiaran dengan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Dengan latar belakang tersebut, pembahasan RUU Penyiaran 2024 menjadi sangat penting dan perlu mendapat perhatian dari berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat membuka ruang dialog yang luas dengan masyarakat, akademisi, praktisi media, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa RUU ini dapat memberikan manfaat maksimal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Proses ini juga diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang komprehensif dan adaptif terhadap perkembangan zaman, serta mampu melindungi kepentingan publik secara adil dan proporsional.

Dalam hal ini, kami menegaskan bahwa RUU Penyusunan yang tengah disusun oleh DPR Indonesia berpotensi mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, kami merekomendasikan penundaan pembahasan RUU Penyuaran dan revisi RUU Penyuaran untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan yang berpotensi mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi.

Oleh :

Melisa Zul Fitry

Direktur Kajian Komunitas Pecinta Ilmu (KOPI) PK IMM FISIP UNISMUH MAKASSAR



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...