Kamis, 06 November 2025

 

Ondy Fitrah

Dept. Bidang Kader PK IMM FISIP 2025-2026

Div. Kajian Kebangsaan SKB


Masalah pendidikan di Indonesia adalah isu yang kompleks dan multidimensional. Inti dari isu tersebut adalah ketimpangan dalam akses pendidikan antara kota dan desa. Sekolah yang berlangsung di luar jangkauan wilayah pimpinan sering menghadapi masalah dengan befacilities, guru yang berkualitas, dan layanan belajar yang memadai. Hal ini, pada gilirannya, tidak memungkinkan pendidikan yang seimbang dan berkualitas di seluruh Indonesia.

Sebagai tambahan, kualitas guru juga perlu menjadi perhatian utama. Masih terbatasnya kesempatan bagi guru untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan profesional yang berkesinambungan juga membuat sebagian guru masih belum mampu menerapkan metode pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik. Hal ini langsung menyebabkan mutu pembelajaran dan prestasi siswa menjadi rendah.

Selain itu, sistem kurikulum juga masih menghadapi kritik, terkait relevansi materi yg diajarkan dengan tuntutan era digital dan pasar kerja yg terus berkembang. Pendidikan di Indonesia juga perlu menyesuaikan dengan konten dan metode pengajaran agar peserta didik dapat mengembangkan kompetensi, seperti kreativitas dan literasi digital.

IMMawati di Era Transformasi: Memperkuat Identitas dan Peran Sosial



Riska Yanti
Sekretaris Bidang IMMawati PK IMM FISIP 2025-2026
Alumni SKB IX


Di tengah derasnya arus perubahan, Immawati kini menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap menjadi muslimah yang berilmu, berdaya, dan berkarakter, tanpa kehilangan akarnya pada nilai-nilai Islam dan identitas immawatinya. Dunia digital yang serba cepat, modernisasi, dan budaya global menuntut Immawati tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang dalam spiritualitas dan sosialitasnya.

Immawati masa kini tak hanya hadir di forum-forum kajian, tetapi juga harus mampu mengambil peran nyata di masyarakat. Para perempuan muda  diharapkan menjadi penggerak perubahan, mampu menyuarakan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan secara santun, kritis, dan berlandaskan nilai-nilai Islam.

Gerakan Immawati harus relevan dengan konteks terkini. Isu-isu seperti literasi digital, kepedulian lingkungan, kesehatan mental, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan keterlibatan sosial-politik telah menjadi ranah perjuangan baru. Dalam konteks ini, Immawati harus mampu menghadirkan Islam yang ramah, terbuka untuk berdialog, dan mampu menjawab kebutuhan generasi mendatang.

Lebih dari sekadar organisasi, Immawati adalah ruang pembentukan identitas tempat perempuan belajar memimpin, berpikir kritis, dan menebar manfaat. Melalui semangat kenabian, Immawati perlu terus menghidupkan kembali nilai-nilai amar ma'ruf nahi munkar dengan cara-cara yang kreatif dan berorientasi solusi.

Kinilah saatnya Immawati berdiri sebagai simbol perempuan muda Muslim yang progresif: teguh pada prinsip, berwawasan luas, dan siap menghadapi tantangan zaman dengan keimanan dan kecerdasannya.

 

Jumat, 31 Oktober 2025

Immawati: Dari Identitas Menuju Kesadaran Gerakan


 Rezky Amelia
Kabid IMMawati PK IMM FISIP 2025-2026
Alumni SKI Jilid VIII

Sekolah Khusus Immawati (SKI) bukan sekadar ruang pelatihan, melainkan wadah pembentukan karakter, nilai, dan kesadaran diri bagi perempuan yang memilih jalan dakwah dan perjuangan melalui Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di dalam SKI, perempuan tidak hanya dibekali dengan kecerdasan intelektual dan keanggunan sikap, tetapi juga dibentuk menjadi pribadi yang berprinsip, kritis, dan berdaya. Perbedaan antara Immawati dan perempuan pada umumnya tidak terletak pada kodrat biologisnya, melainkan pada kesadaran ideologis dan nilai-nilai gerakan yang dihidupi dalam setiap langkah perjuangan.

Setiap perempuan pada dasarnya adalah ciptaan Allah yang dimuliakan. Namun, menjadi Immawati berarti menyadari bahwa kemuliaan itu mengandung tanggung jawab sosial, intelektual, dan spiritual yang harus dijalankan. Jika perempuan pada umumnya berjuang untuk dirinya dan lingkungannya, maka Immawati melangkah lebih jauh  ia berjuang untuk umat dan peradaban. Ia tidak hanya menampilkan kelembutan, tetapi juga memiliki keteguhan berpikir dan keberanian untuk bertindak. Ia membaca realitas sosial dengan tajam, mengkritisinya, dan berupaya menghadirkan solusi berdasarkan nilai-nilai Islam dan ideologi IMM yang berlandaskan pada religiusitas, humanitas, dan intelektualitas.

SKI juga menanamkan spirit profetik, yakni semangat kenabian yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Menjadi Immawati bukan tentang mencari pengakuan atau citra, tetapi tentang menjalankan misi kehidupan yang berlandaskan nilai amar ma’ruf nahi munkar. Seorang Immawati tidak berhenti pada kesalehan individu, melainkan bergerak menuju kesalehan sosial. Ia tidak hanya shalihah di sajadah, tetapi juga di ruang publik di kampus, di masyarakat, bahkan di dunia digital. Ia menjadikan keislaman bukan sekadar identitas, melainkan sumber nilai untuk menggerakkan perubahan yang nyata dan berkeadilan.

Menjadi Immawati berarti memiliki kesadaran gerakan. SKI mendidik para Immawati untuk tidak berpikir sebagai individu yang terpisah dari realitas, melainkan sebagai bagian dari perjuangan kolektif. Kesadaran ini menjadikan Immawati berani bersuara terhadap ketimpangan sosial dan budaya patriarki, menjadi pelopor pemberdayaan bagi sesama perempuan, serta membangun solidaritas antar Immawati dengan dasar nilai ideologis yang kuat. Jika perempuan pada umumnya menunggu perubahan, maka Immawati adalah mereka yang menciptakan perubahan itu dengan pemikiran, tindakan, dan keteladanan.

SKI bukan hanya membentuk identitas, tetapi menumbuhkan kesadaran. Identitas bisa dimiliki siapa saja, namun kesadaran hanya lahir dari proses panjang pembelajaran, perjuangan, dan pengabdian. Seorang Immawati tidak dibentuk oleh simbol, tetapi oleh nilai dan proses. Melalui SKI, ia ditempa untuk menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual, mandiri secara sosial, dan teguh secara spiritual. Ia memahami arah zaman, namun tetap menjadikan iman sebagai kompas hidupnya.

Senin, 27 Oktober 2025

Ketuk Kesadaran Tamparan Generasi yang Lupa Literasi dan Jiwa Kebangsaan

 

Fatimah Azzahra

Direktur SKI Jilid IX

Sekretris bidang SPM IMM FISIP

Hari Sumpah Pemuda seharusnya menjadi cermin tajam bagi generasi masa kini, bukan sekadar seremoni, bukan juga rutinitas yang diulang tanpa makna. Delapan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda dengan semangat membakar: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Mereka tidak sekadar bersumpah, tetapi berjuang dengan seluruh jiwa untuk memerdekakan bangsa dari kebodohan, perpecahan, dan ketertinggalan. Namun kini, hampir seabad kemudian, semangat itu seakan pudar di tengah layar gawai dan gemerlap tren digital. Kita menyaksikan ironi: bangsa dengan jumlah pemuda terbanyak di Asia Tenggara justru menghadapi krisis literasi dan kemerosotan kesadaran kebangsaan.

Realitas di lapangan menampar nurani. Data nasional memperlihatkan bahwa meskipun tingkat melek huruf Indonesia sudah mencapai 96,67% pada tahun 2025, masih ada sekitar 9,41 juta jiwa yang belum mampu membaca dan menulis secara memadai. Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2022 juga baru mencapai angka 64,48 dari 100, jauh dari target ideal untuk bangsa yang ingin melompat menuju visi Indonesia Emas 2045. Angka-angka ini tidak sekadar statistik; ia adalah potret mental bangsa yang mulai kehilangan daya kritis dan semangat belajar dua hal yang dulu menjadi bahan bakar utama perjuangan pemuda 1928.

Di ruang akademik, terutama di Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar), fenomena ini sangat jelas. Kampus yang dikenal aktif dalam kegiatan riset dan pengabdian masyarakat kini mencatat ratusan penelitian dalam beberapa tahun terakhir, dengan ribuan mahasiswa baru setiap tahunnya. Namun di balik capaian itu, muncul pertanyaan mendasar sudahkah semangat intelektual tersebut benar-benar mengakar dalam diri mahasiswa, ataukah hanya sekadar tuntutan administratif akademik? Banyak mahasiswa yang masih melihat kegiatan ilmiah sebatas tugas kuliah, bukan tanggung jawab moral untuk membangun masyarakat. Seminar dan lomba ilmiah sering kali ramai di awal, namun tindal lanjutan setelahnya itu tidak berjalan sesuai perencanaan awal. Ini bukan sekadar masalah minat, tetapi gejala menurunnya kepekaan sosial dan idealisme mahasiswa dua hal yang seharusnya menjadi ciri utama generasi berdampak.

Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa sebagian pemuda hari ini lebih sibuk mengikuti tren global ketimbang memahami sejarah bangsanya. Sumpah Pemuda menjadi tema pidato tahunan, bukan inspirasi untuk bertindak. Mereka hafal slogan “pemuda harapan bangsa,” tetapi enggan berpikir kritis atau berkontribusi nyata di lingkungan sekitarnya. Padahal, bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini dengan lebih dari 64 juta jiwa pemuda bisa menjadi kekuatan dahsyat bila diarahkan melalui jalur pendidikan yang mencerahkan dan literasi yang membangun. Tanpa itu, bonus demografi justru akan berubah menjadi beban sosial yang menghambat kemajuan.

Peringatan Sumpah Pemuda semestinya menjadi momentum untuk menghidupkan kembali jiwa literasi dan semangat juang di kalangan mahasiswa. Literasi tidak hanya berarti membaca buku, tetapi juga kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan bertindak berdasarkan pengetahuan yang diperoleh. Mahasiswa Unismuh Makassar dan seluruh perguruan tinggi di Indonesia perlu menjadikan kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan arena pengabdian dan perubahan sosial. Kegiatan riset harus mampu menyentuh kebutuhan masyarakat, bukan hanya mengejar publikasi akademik. Seminar, diskusi, dan organisasi mahasiswa perlu diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan, nasionalisme, dan kesadaran kritis terhadap realitas bangsa. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi dapur peradaban, tempat ide-ide segar dipanggang menjadi aksi nyata. Bila kampus hanya menjadi tempat mengejar gelar tanpa nilai, maka makna Sumpah Pemuda telah tereduksi menjadi upacara tanpa jiwa. Saat ini, bangsa membutuhkan mahasiswa yang bukan hanya pandai berbicara tentang perubahan, tetapi berani menciptakan perubahan itu sendiri. Mahasiswa yang tidak hanya menulis esai kebangsaan, tetapi juga menjadikan ilmunya sebagai alat pengabdian di masyarakat.

Sumpah Pemuda adalah api yang seharusnya terus menyala, bukan bara yang padam di bawah tumpukan rutinitas. Ia menuntut kita untuk menegaskan kembali jati diri sebagai pemuda yang berani berpikir, berani bermimpi, dan berani bertindak. Generasi muda harus memahami bahwa perjuangan hari ini tidak lagi di medan perang, melainkan di ruang-ruang literasi, laboratorium, ruang kelas, dan forum-forum publik. Tantangan terbesar bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan pikiran dan ketergantungan terhadap budaya konsumtif yang membuat kita lupa berpikir kritis. Kini, saat bangsa kembali menatap cita-cita Indonesia Emas 2045, tamparan ini perlu kita terima dengan lapang dada. Kita perlu mengakui bahwa semangat juang banyak yang pudar, tetapi pengakuan itu bukan untuk menyesali, melainkan untuk membangun ulang kesadaran. Mahasiswa dan akademisi di seluruh Indonesia, termasuk di Unismuh Makassar, memiliki peran penting untuk menjadi katalis perubahan. Mereka harus berani memimpin gerakan literasi, menggagas penelitian yang relevan bagi masyarakat, serta membangun jejaring sosial yang mencerdaskan.

Pada akhirnya, refleksi Sumpah Pemuda bukanlah nostalgia, melainkan tanggung jawab moral untuk menghidupkan kembali nilai persatuan, semangat belajar, dan keberanian untuk berubah. Setiap mahasiswa yang menginspirasi berpikir kritis, setiap pemuda yang menulis dan berdiskusi demi kemajuan bangsanya mereka adalah pewaris sejati semangat 1928. Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar hanya karena jumlah penduduknya, tetapi karena kualitas generasi mudanya yang berani berpikir dan bertindak. Dan jika hari ini Sumpah Pemuda kembali kita maknai dengan sepenuh kesadaran, maka tamparan itu akan berubah menjadi nyala yang dapat menuntun kita menuju bangsa yang tercerahkan dan bermartabat.


Jumat, 24 Oktober 2025

Bunga yang Tumbuh dari Akar Perjuangan

ILA ARMILA
Kabid Ekonomi dan Kewirausahaan periode 2025-2026


Di dalam sunyi ruang-ruang pembelajaran yang jarang disorot, tumbuhlah perempuan-perempuan tangguh. Mereka bukan hadir untuk bersolek di panggung-panggung formalitas, tapi untuk menyulam makna di balik proses yang seringkali sunyi, melelahkan, dan penuh tanya. Dalam naungan kaderisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), perempuan menapaki jalan panjang yang tidak selalu ramah. Namun justru di situlah, mereka belajar tumbuh.

Bunga tidak serta merta mekar dalam semalam. Ia berasal dari akar yang menghujam, dari benih yang disiram dengan air komitmen, cahaya keikhlasan, dan tanah perjuangan yang keras. Perempuan dalam proses kaderisasi bukan hanya peserta, mereka adalah subjek gerakan. Mereka belajar berpikir kritis, menyuarakan nilai, dan membawa pesan kemanusiaan yang tak sebatas pada ruang-ruang diskusi.

Di balik segala narasi perjuangan itu, perempuan sering kali memikul beban ganda. Menjadi intelektual, menjadi pelayan umat, menjadi manusia yang tetap setia pada dirinya sendiri. Tantangannya tidak kecil: kultur patriarki yang masih samar terasa, ekspektasi ganda dari lingkungan, hingga keraguan dari dalam dirinya sendiri. Namun justru dari sana, kekuatan itu dirajut. Perempuan IMM tidak tumbuh karena keadaan yang nyaman, tapi karena tantangan yang membentuk.

Menjadi perempuan di ruang kaderisasi berarti belajar untuk tidak diam. Suara mereka bukan hanya lantang di forum-forum resmi, tapi juga hadir dalam keputusan-keputusan kecil yang penuh nilai. Mereka menjadi penggerak yang sadar arah, bukan sekadar pelengkap yang pasrah pada arus. Mereka menciptakan ruang aman bagi sesama, menjaga nilai, dan tetap tegar meski kerap tak terlihat.

Bunga yang tumbuh dari akar perjuangan bukan sekadar cantik, ia kuat. Ia bisa mekar di tengah tanah yang tandus, bahkan di tengah tekanan dan ketidakpercayaan. Dan di dalam Ikatan ini, bunga-bunga itu terus tumbuh. Mereka menyapa masa depan dengan harapan, bukan ketakutan.

Karena perempuan bukan hanya bagian dari gerakan. Mereka adalah nafasnya.


 

SRIKANDI

 


NUR ISMI RONI
Direktur SKI Jilid V
Kabid Hikmah PKP periode 2022-2023

Srikandi bukan sekadar nama tokoh dalam epos besar. Ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan kecerdasan seorang perempuan yang tidak hanya berdiri di belakang, tetapi juga berdiri di garis depan perjuangan. Dalam konteks gerakan hari ini, Srikandi adalah cermin yang seharusnya memantulkan semangat perjuangan dan kesadaran kritis, bukan sekadar simbol yang dimaknai secara sempit. Maka, dalam perjalanan satu dekade Sekolah IMMawati (SKI) PIKOM IMM FISIP, sudah saatnya seluruh IMMawati bercermin pada makna sejati itu.

SKI tidak pernah dimaksudkan hanya untuk bersemayam dalam lingkup PIKOM IMM FISIP, atau sekadar berkiprah di dalam struktur keorganisasian. SKI hadir sebagai ruang yang lebih luas dari sekadar forum internal: ruang yang memberi manfaat, menciptakan dampak, dan melahirkan gagasan-gagasan segar yang mampu menembus batas-batas struktural. SKI seharusnya menjadi pelita yang menyalakan kesadaran kolektif, bukan hanya api kecil yang redup di dalam ruangan sendiri.

Gerakan IMMawati hari ini sedang dihadapkan pada kenyataan yang tidak bisa lagi diabaikan. Semangat perjuangan perlahan meredup, tulisan-tulisan kritis jarang dijumpai, suara perlawanan seolah dibungkam oleh kenyamanan, dan ruang-ruang kajian kehilangan ruhnya. Buku yang dahulu menjadi senjata intelektual tak lagi dijadikan wadah untuk mempertajam pikiran dan menguatkan narasi perlawanan. Sementara itu, realitas di luar terus bergerak cepat dalam arus globalisasi dan banjir informasi.

Pertanyaannya: apa urgensi mencetak kader jika hanya sekadar memenuhi kewajiban keberlanjutan program kerja? Untuk apa setiap tahun mengulang rutinitas seremonial jika hasilnya tak pernah melahirkan perubahan mendasar? Apakah IMMawati akan terus terjebak dalam lingkaran formalitas yang steril dari kebermaknaan? Ataukah benar-benar ingin mencetak peradaban melalui tangan-tangan yang berani, cerdas, dan berintegritas?

IMMawati tidak dilahirkan hanya untuk menjadi simbol keshalehaan, tetapi untuk menjadi “Srikandi” perempuan yang membawa makna perjuangan, daya kritis, dan kekuatan perubahan. Srikandi bukan sekadar berhijab dan menutup aurat, melainkan juga membuka cakrawala berpikir dan mempertegas keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Personal branding IMMawati sejatinya tidak ditentukan oleh pakaiannya semata, tetapi oleh ketajaman pikiran dan narasi, keberdampakan gerakan, serta keluasan relasi dalam membangun mimbar-mimbar peradaban. Identitas sejati IMMawati terletak pada daya dobrak pemikirannya, bukan pada simbol semata. Maka menjadi IMMawati bukan hanya tentang tampil syar’i, melainkan tentang bagaimana menghadirkan keberanian berpikir, keberanian bersuara, dan keberanian bergerak.

Dalam konteks ini, ada beberapa langkah nyata yang perlu dipertimbangkan:

    1. Menghidupkan kembali tradisi intelektual. Kajian dan bacaan bukan sekadar agenda, tetapi ruang pembentukan nalar kritis. IMMawati harus kembali menjadikan literasi sebagai senjata utama.
    2. Membangun keberanian bersuara. Perlawanan tidak harus selalu dalam bentuk konfrontasi, tetapi bisa melalui narasi yang tajam, tulisan yang menyala, dan gagasan yang membangun kesadaran kolektif.
    3. Menguatkan solidaritas sesama IMMawati. Gerakan tidak akan kuat jika hanya bertumpu pada segelintir orang. Perlu kesadaran bersama bahwa perubahan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari keberanian melawan kelumpuhan.
    4. Beradaptasi dengan zaman. Di tengah derasnya arus informasi, IMMawati harus mampu menggunakan teknologi dan ruang digital sebagai medium perjuangan, bukan sekadar ruang eksistensi kosong.

Peradaban tidak akan lahir dari seremonial tahunan, melainkan dari gerakan yang hidup. IMMawati harus hadir sebagai pelopor perubahan, bukan sekadar pelengkap sejarah organisasi. Kini saatnya berhenti bersembunyi di balik simbolik; berhenti menjadikan gerakan sebagai rutinitas tanpa ruh!

Srikandi sejati bukan hanya kuat dalam langkah, tetapi tajam dalam pikir, tegas dalam sikap, dan luas dalam kebermanfaatan. IMMawati harus kembali menjadi itu, garda depan perubahan, bukan sekadar barisan penonton di tengah panggung sejarah.

Salam hormat dariku yang merindukan bunga-bunga revolusi bermekaran di taman Sospol. Semoga kita semua terus tumbuh dan mekar dengan dampak yang masih terus kita upayakan tidak sekadar berbentuk narasi, tetapi melalui tindakan nyata.


The Golden Thread of IMMAwati Cadres : Weaving Brotherhood Amidst Muhammadiyah's Da'wah


 Fatimah Azzahrah
Direktur SKI Jilid IX
Sekretaris bidang SPM

Dalam arus sejarah Muhammadiyah yang megah, benang emas kader IMMAwati muncul sebagai simbol kekuatan tak terbendung, menyatukan persaudaraan di tengah gelora dakwah. Gerakan kepemimpinan IMMAwati bukan sekadar langkah rutin, melainkan upaya strategis yang luas dan mendalam untuk mendukung kemaslahatan IMM, para kader perempuan ini menjadi penenun utama jaringan solidaritas, memastikan bahwa setiap anggota IMM berkembang secara holistik. Bayangkan benang emas ini sebagai jalinan halus yang menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan Muhammadiyah, di mana kepemimpinan IMMAwati membawa angin segar ke dalam dakwah, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Perspektif luas ini dimulai dari akar sejarah. Muhammadiyah, sebagai gerakan pembaruan Islam di Indonesia, telah lama menekankan peran perempuan dalam dakwah, seperti yang terlihat dalam Aisyiyah. Kader IMMAwati, sebagai ekstensi di kalangan mahasiswa, mewarisi semangat itu dengan mengambil peran kepemimpinan aktif dalam IMM. Dalam konteks saat ini, mereka menghadapi tantangan mendalam seperti ketidaksetaraan gender di organisasi mahasiswa, di mana suara perempuan sering tenggelam di antara dominasi pria. Namun, melalui gerakan kepemimpinan, IMMAwati menjadi agen perubahan, mengorganisir program-program seperti pelatihan dakwah berbasis gender dan forum diskusi tentang isu kontemporer, yang tidak hanya memperkuat posisi mereka tapi juga mendukung kemaslahatan IMM secara keseluruhan seperti menciptakan lingkungan inklusif yang mendorong partisipasi semua anggota.

Lebih mendalam, upaya ini melibatkan dimensi spiritual, intelektual, dan sosial. Secara spiritual, kader IMMAwati menenun persaudaraan melalui kajian Al-Quran bersama, yang membangun fondasi iman kuat di tengah arus sekularisme. Intelektualnya, mereka memimpin inisiatif seperti seminar kepemimpinan wanita, yang mengasah keterampilan anggota IMM untuk menghadapi dunia global, sehingga kemaslahatan tercapai melalui generasi muda yang cerdas. Secara sosial, dalam dakwah Muhammadiyah, IMMAwati aktif dalam aksi-aksi kemanusiaan, seperti bantuan bagi korban bencana, yang memperkuat ikatan persaudaraan dan menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka adalah untuk kebaikan bersama. Ini adalah perspektif mendalam: benang emas bukan hanya metafora, tapi realitas yang membawa IMM menuju kemajuan berkelanjutan.

Sebagai upaya gerakan, kepemimpinan IMMAwati juga menghadapi rintangan seperti kurangnya dukungan infrastruktur, tapi dengan solidaritas, mereka bisa mengubahnya menjadi peluang. Dengan mendukung kemaslahatan IMM, gerakan ini memastikan bahwa organisasi tetap relevan, adaptif, dan berpengaruh di masyarakat.  Gerakan IMMAwati juga belajar dari kegagalan, kurangnya partisipasi awal, dan mengubahnya menjadi peluang dengan kolaborasi antar-organisasi. Dampaknya terlihat dalam pencapaian konkret, seperti peningkatan jumlah perempuan dalam kepemimpinan IMM dan kontribusi mereka dalam isu nasional.

Kader IMMAwati, teruslah menenun benang emasmu dengan penuh semangat, karena dalam setiap jalinan persaudaraan, kamu sedang membangun masa depan Muhammadiyah yang gemilang. Ayo, jadikan dakwahmu sebagai cahaya yang menerangi jalan kita semua!” 



  Ondy Fitrah Dept. Bidang Kader PK IMM FISIP 2025-2026 Div. Kajian Kebangsaan SKB Masalah pendidikan di Indonesia adalah isu yang kompleks ...