Fatimah Azzahra
Direktur SKI Jilid IX
Sekretris bidang SPM IMM FISIP
Hari Sumpah Pemuda seharusnya
menjadi cermin tajam bagi generasi masa kini, bukan sekadar seremoni, bukan juga
rutinitas yang diulang tanpa makna. Delapan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda
Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda dengan semangat membakar: satu tanah air,
satu bangsa, satu bahasa. Mereka tidak sekadar bersumpah, tetapi berjuang
dengan seluruh jiwa untuk memerdekakan bangsa dari kebodohan, perpecahan, dan
ketertinggalan. Namun kini, hampir seabad kemudian, semangat itu seakan pudar
di tengah layar gawai dan gemerlap tren digital. Kita menyaksikan ironi: bangsa
dengan jumlah pemuda terbanyak di Asia Tenggara justru menghadapi krisis
literasi dan kemerosotan kesadaran kebangsaan.
Realitas di lapangan menampar
nurani. Data nasional memperlihatkan bahwa meskipun tingkat melek huruf
Indonesia sudah mencapai 96,67% pada tahun 2025, masih ada sekitar 9,41 juta
jiwa yang belum mampu membaca dan menulis secara memadai. Indeks Pembangunan
Literasi Masyarakat (IPLM) yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional RI pada
tahun 2022 juga baru mencapai angka 64,48 dari 100, jauh dari target ideal
untuk bangsa yang ingin melompat menuju visi Indonesia Emas 2045. Angka-angka
ini tidak sekadar statistik; ia adalah potret mental bangsa yang mulai
kehilangan daya kritis dan semangat belajar dua hal yang dulu menjadi bahan
bakar utama perjuangan pemuda 1928.
Di ruang akademik, terutama di Universitas
Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar), fenomena ini sangat jelas. Kampus
yang dikenal aktif dalam kegiatan riset dan pengabdian masyarakat kini mencatat
ratusan penelitian dalam beberapa tahun terakhir, dengan ribuan mahasiswa baru
setiap tahunnya. Namun di balik capaian itu, muncul pertanyaan mendasar sudahkah
semangat intelektual tersebut benar-benar mengakar dalam diri mahasiswa,
ataukah hanya sekadar tuntutan administratif akademik? Banyak mahasiswa yang
masih melihat kegiatan ilmiah sebatas tugas kuliah, bukan tanggung jawab moral
untuk membangun masyarakat. Seminar dan lomba ilmiah sering kali ramai di awal,
namun tindal lanjutan setelahnya itu tidak berjalan sesuai perencanaan awal.
Ini bukan sekadar masalah minat, tetapi gejala menurunnya kepekaan sosial dan
idealisme mahasiswa dua hal yang seharusnya menjadi ciri utama generasi
berdampak.
Fenomena tersebut memperlihatkan
bahwa sebagian pemuda hari ini lebih sibuk mengikuti tren global ketimbang
memahami sejarah bangsanya. Sumpah Pemuda menjadi tema pidato tahunan, bukan
inspirasi untuk bertindak. Mereka hafal slogan “pemuda harapan bangsa,” tetapi
enggan berpikir kritis atau berkontribusi nyata di lingkungan sekitarnya.
Padahal, bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini dengan lebih dari 64
juta jiwa pemuda bisa menjadi kekuatan dahsyat bila diarahkan melalui jalur
pendidikan yang mencerahkan dan literasi yang membangun. Tanpa itu, bonus
demografi justru akan berubah menjadi beban sosial yang menghambat kemajuan.
Peringatan Sumpah Pemuda semestinya
menjadi momentum untuk menghidupkan kembali jiwa literasi dan semangat juang di
kalangan mahasiswa. Literasi tidak hanya berarti membaca buku, tetapi juga
kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan bertindak berdasarkan pengetahuan
yang diperoleh. Mahasiswa Unismuh Makassar dan seluruh perguruan tinggi di
Indonesia perlu menjadikan kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan
arena pengabdian dan perubahan sosial. Kegiatan riset harus mampu menyentuh
kebutuhan masyarakat, bukan hanya mengejar publikasi akademik. Seminar,
diskusi, dan organisasi mahasiswa perlu diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan,
nasionalisme, dan kesadaran kritis terhadap realitas bangsa. Pendidikan tinggi
seharusnya menjadi dapur peradaban, tempat ide-ide segar dipanggang menjadi
aksi nyata. Bila kampus hanya menjadi tempat mengejar gelar tanpa nilai, maka
makna Sumpah Pemuda telah tereduksi menjadi upacara tanpa jiwa. Saat ini,
bangsa membutuhkan mahasiswa yang bukan hanya pandai berbicara tentang
perubahan, tetapi berani menciptakan perubahan itu sendiri. Mahasiswa yang
tidak hanya menulis esai kebangsaan, tetapi juga menjadikan ilmunya sebagai
alat pengabdian di masyarakat.
Sumpah Pemuda adalah api yang
seharusnya terus menyala, bukan bara yang padam di bawah tumpukan rutinitas. Ia
menuntut kita untuk menegaskan kembali jati diri sebagai pemuda yang berani
berpikir, berani bermimpi, dan berani bertindak. Generasi muda harus memahami
bahwa perjuangan hari ini tidak lagi di medan perang, melainkan di ruang-ruang
literasi, laboratorium, ruang kelas, dan forum-forum publik. Tantangan terbesar
bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan pikiran dan ketergantungan
terhadap budaya konsumtif yang membuat kita lupa berpikir kritis. Kini, saat
bangsa kembali menatap cita-cita Indonesia Emas 2045, tamparan ini perlu kita
terima dengan lapang dada. Kita perlu mengakui bahwa semangat juang banyak yang
pudar, tetapi pengakuan itu bukan untuk menyesali, melainkan untuk membangun
ulang kesadaran. Mahasiswa dan akademisi di seluruh Indonesia, termasuk di
Unismuh Makassar, memiliki peran penting untuk menjadi katalis perubahan.
Mereka harus berani memimpin gerakan literasi, menggagas penelitian yang
relevan bagi masyarakat, serta membangun jejaring sosial yang mencerdaskan.
Pada akhirnya, refleksi Sumpah
Pemuda bukanlah nostalgia, melainkan tanggung jawab moral untuk menghidupkan
kembali nilai persatuan, semangat belajar, dan keberanian untuk berubah. Setiap
mahasiswa yang menginspirasi berpikir kritis, setiap pemuda yang menulis dan
berdiskusi demi kemajuan bangsanya mereka adalah pewaris sejati semangat 1928.
Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar hanya karena jumlah penduduknya,
tetapi karena kualitas generasi mudanya yang berani berpikir dan bertindak. Dan
jika hari ini Sumpah Pemuda kembali kita maknai dengan sepenuh kesadaran, maka
tamparan itu akan berubah menjadi nyala yang dapat menuntun kita menuju bangsa
yang tercerahkan dan bermartabat.