Minggu, 25 Oktober 2020

Catatan Kader Kebangsaan: Merefleksi 1 Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf

Oleh: Muh. Ari Fahmi (Direktur Kajian Kebangsaan SKB 7 PIKOM IMM FISIP)



1 Tahun sudah kita merasakan kepemimpinan Presiden dan Wakilnya (periode 2019-2024) yang sangat penuh dengan dinamika. Dalam bahtera kepemimpinan yang dinahkodai oleh Jokowi-Ma’ruf melahirkan konstelasi politik yang sangat dinamis.

Tentunya di dalam suatu birokrasi yang demokratis akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat terhadap kinerja para birokrat.

Di masa pemerintahan Presiden Jokowi memang patut kita apresiasi kinerjanya yang dimana salah satu programnya yang sangat kita rasakan, yaitu dengan pembangunan infrastruktur yang merata, dikarenakan infrastruktur inilah yang akan menunjang pertumbuhan perekonomian.

Namun dengan begitu masih banyak kinerja pemerintah yang belum memuaskan sehingga banyak mendapat sorotan dan kritikan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu problem yang kita hadapi dari awal kemerdekaan hingga reformasi saat ini, yaitu terkait dengan pengelolaan SDM yang belum efektif.

Pengelolan potensial SDM menjadi salah satu faktor utama untuk kemajuan sebuah negara, agar nantinya SDA dapat terkelolah dengan tujuan mensejahterakan masyarakat bisa tercapai, yang dimana sudah jelas termaktum dalam konstitusi dasar negara kita (UUD tahun 1945).

Dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Tentunya inilah menjadi dasar yuridis hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Subtansi dan esensi UU tersebut harus mampu dipertanggungjawabkan dan diimplementasikan oleh intansi terkait.

Belakangan ini di masa pandemi Covid-19 negara kita mengalami begitu banyak problematika, mulai dari gelombang PHK yang besar-besaran hingga ekonomi kita mengalami resesi. Tentunya ini menjadi PR besar bagi pemerintah agar menimalisir dampak dari pandemi ini.

Di masa krisis saat ini sebagian masyarakat menganggap bahwa pemerintah kurang kompeten dalam penaganan pemutusan rantai penyebaran wabah penyakit dan dampak dari pandemi Covid-19. Ratusan Terliunan anggaran yang dialokasikan belum sepenuhnya terkelolah dan terealisasi dengan efektif.

Merujuk ke persoalan RUU Omnibus Law yang saat ini di berbagai wilayah mendapat penolakan untuk disahkan, dikarenakan seharusnya pemerintah terlebih dahulu fokus terhadap pemutusan rantai penyebaran virus ini, namun justru sangat bernafsu untuk mengesahkan Omnibus Law.

Berdasarkan rencana awal, pengesahan Omnibus Law menjadi UU dilakukan pada Kamis (8/10/2020). Akan tetapi DPR dan pemerintah mempercepat. Baik proses pembahasan hingga legalitasnya. Dengan alasan pandemi, penutupan masa sidang dipercepat. Sehingga rapat paripurna pengesahan di tingkat legislatif dipercepat pada tanggal (5/10/2020).

Tentunya dengan agenda tersebut yang terkesan terburu-buru untuk dilaksanakan, menuai banyak kecurigaan sehingga menjadi paradoks dan polemik saat ini.

Subtansi produk hukum tersebut membahas 11 klaster, yaitu: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.

Dengan banyaknya UU yang akan di bahas dalam Omnibus Law tentunya memerlukan waktu yang tidaklah singkat, diperlukannya kajian yang radikal dan fundamental, serta turut melibatkan seluruh elemen masyarakat yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut, untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan ini. Agar nantinya kebijakan yang dikeluarkan bisa terimplementasi dengan efektif. 

Dalam hal ini pentingnya pemerintah melakukan sosialisasi, transparansi, dan akuntabilitas terhadap seluruh masyarakat dalam pembahasan ini. Agar tidak terjadinya miskomunikasi yang berpeluang untuk menimbulkan hoax yang akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.

RUU yang telah di ketok palu pada rapat Paripurna, sampai saat ini  sangat sulit draft finalnya di akses oleh publik, jadi  wajar-wajar saja jika terjadi miskomunikasi, sehingga pemerintah tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang mendapat informasi menyimpang dari subtansi RUU tersebut, dikarenakan bisa saja pemerintah yang kurang memberikan edukasi terkait dengan hal ini.

Begitu banyaknya kejanggalan dalam proses pembuatan hingga pengesahan dalam regulasi tersebut di tingkat legislatif, sehingga gelombang massa Mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi sebagai representasi penyambung lidah rakyat.

Eksistensi solidaritas pergerakan Mashasiswa saat ini murni untuk menyuarakan aspirasi masyarakat agar kemesraan lembaga legislatif dan eksekutif terhadap oligarki tidak berlarut-larut. Pergerakan yang berangkat dari niat untuk menuntut keadilan tanpa di tunggangi dari pihak manapun.

Yang juga menjadi paradoks kita saat ini, yaitu sistem pemerintahan kita yang menganut sistem demokrasi namun Trias Politica yang tidak jalan sebagaimana mestinya, belum adanya pembagian kekuasaan yang real.

Lembaga-lembaga yang seharusnya independen yang mesti memprioritaskan kepentingan masyarakat banyak, namun masih saja bisa di intervensi.

Sistem Demokrasi yang identik dengan kebebasan berpendapat namun nyatanya kritikan di bungkam secara perlahan menggunakan pasal-pasal karet yang tumpang-tindih dengan dasar yuridis tertinggi dalam Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya”.

Widji Thukul seorang penyair dan aktivis hak asasi manusia mengatakan: “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!"

Maka dari itu kita sebagai Mahasiswa tetap dalam satu ritme pergerakan yang murni untuk menegakkan keadilan di garda terdepan, namun dengan tatacara menyampaikan pendapat yang sudah di atur dalam UU No 9 Tahun 1998.

Mahasiswa yang dikenal dengan kaum yang berintekletual tentunya menyampaikan aspirasi dengan cara yang elegan, bukan dengan cara yang anarkis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...