Oleh: Muh. Nur Fikran (Sekretaris Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik Pikom IMM FISIP Unismuh Makassar)
28 Oktober 1928, bangsa Indonesia mengenalnya sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda yang merupakan peristiwa bersejarah dikenal sebagai salah satu tonggak bersatunya bangsa Indonesia. Para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul bersama di Kongres Pemuda.
Pada saat itulah dihasilkan tiga hal penting: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pada Kongres Pemuda ini pula lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui gesekan biolanya.
Menurut Kepala Eksekutif RSPH, Shirley Cramer CBE, mengatakan candu media sosial lebih berbahaya bagi mental ketimbang kecanduan rokok dan alkohol yang merasuki kehidupan anak muda saat ini.
Semua jenis media sosial, terutama Instagram menurut survei RSPH, diasosiasikan dengan meningkatnya kadar gangguan kesehatan mental. Media sosial membawa pengaruh negatif, seperti merusak kualitas tidur, memicu perundungan, pencitraan tubuh, dan fobia FOMO (fear of missing out).
Memondialisasikan Jiwa Nasionalisme Pemuda di Era Digital
Nasionalisme pada zaman dahulu adalah cerita tentang kepahlawanan yang lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Lalu bagaimana dengan nasionalisme di era digital saat ini?
Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, membuat generasi muda Indonesia menjadi asing, dan seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi sosial yang sebelumnya terjadi secara tatap muka, kini telah berubah ke arah digital. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang nilai-nilai kebangsaan dan rasa nasionalisme kepada pemuda agar tidak melupakan identitas dan sejarah bangsa.
Kita Ketahui lebih dari 50 persen atau 143 juta orang terutama generasi muda terhubung dengan internet. Maka dari itu nasionalisme generasi muda dalam bidang teknologi harus ada. Misalnya, bagaimana inovasi yang dilakukan mampu memberikan dampak ekonomi yang besar, mempermudah dalam berbagai urusan kehidupan, dan mengangkat kedaulatan teknologi bangsa Indonesia.
Ada 143,26 juta jiwa penduduk Indonesia sudah mengakses internet. Di era digital ini, orang-orang rela mengeluarkan biaya seperti paket data internet atau memasang wi-fi untuk memperoleh informasi.
Bahkan saat ini informasi masuk ke dalam kebutuhan pokok. Kalau dulu kebutuhan pokok kita ada 3 yaitu sandang, pangan, dan papan, sekarang kebutuhan pokok kita bertambah jadi 4, yaitu sandang, pangan, papan, dan informasi. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat sebesar 11 juta orang per tahunnya.
Tapi sayangnya pemuda di era digital saat ini, belum bisa mengendalikan teknologi, akan tetapi malah dikendalikan oleh teknologi. Sumpah pemuda merupakan salah satu tonggak perjuangan nasional yang digagas oleh para pemuda di nusantara. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaaan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan.
Pemuda Pengendali Kemajuan Bangsa
Dalam perjalanannya, para pemuda memegang peranan penting bagi kemajuan bangsa. Tidak terkecuali di era digital, dimana peran pemuda tidak bisa dipisahkan dengan internet dan media sosial. Di era digital, internet hampir dapat diakses oleh siapa saja tidak terkecuali oleh golongan pemuda. Faktanya hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2017 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa 63,47 persen pemuda pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir.
Faktanya, berdasarkan tipe daerah, 76,60 persen pemuda yang tinggal di daerah perkotaan pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir dan hanya 23,40 persen pemuda di daerah perkotaan yang tidak pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir.
Sementara pada daerah perdesaan pemuda yang mengakses internet tidak sampai setengahnya, yaitu hanya 47,39 persen. Hal ini dikarenakan kurangnya infrastruktur penunjang internet seperti akses sinyal provider telekomunikasi mempengaruhi angka penggunaan internet yang kecil.
Sedangkan jika dilihat dari tujuan mengakses internet 83,13 persen bertujuan untuk mengakses media sosial atau jejaring sosial dan hanya 16,87 persen yang mengakses internet tidak untuk media sosial. Selain itu, 66,09 persen mengakses internet untuk mendapatkan informasi/berita.
Data-data di atas mengindikasikan bahwa internet merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pemuda. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase pemuda yang sudah mengakses internet.
Menanamkan Nasionalisme di Era Digital
Sementara itu, informasi diperoleh dari internet sangat beragam, baik informasi yang bersifat fakta maupun informasi yang menjurus pada kebohongan (hoax). Oleh karena itu, pengguna internet harus dapat menyaring informasi yang diterima agar tidak terjebak dalam arus informasi yang meruntuhkan jiwa nasionalisme kebangsaan. Salah satunya adalah fenomena ujaran kebencian dan berita hoax yang mudah sekali diakses.
Potensi penggunaan internet di Indonesia memang semakin besar, dengan menumbuhkan nasionalisme kepada pengguna internet khususnya pemuda menjadi soal yang sangat penting untuk dijawab. Sehingga muaranya, pemuda mampu menggunakan internet dengan pertimbangan yang bijak demi kepentingan bangsa dan negara. Untuk itulah harus ada tindakan yang dilakukan pemerintah, yang mampu menyasar kaum muda (baca: millenial) tersebut yaitu; Pertama – kampanye besar-besaran untuk menumbuhkan dan membangkitkan nasionalisme di berbagai media, baik of air maupun on air.
Kedua diadakan training untuk pemuda khususnya Pelajar dan Mahasiswa tentang nilai-nilai kebangsaan. Ketiga – mengubah sistem yang saat ini terjadi di SD, SMP dan SMA dan bahkan di perguruan tinggi, untuk berpendidikan dengan tidak mengejar hasil tapi proses. Hal yang ketiga paling berat dilaksanakan, karena terbatasnya infrastruktur pendidikan, Sehingga antara kurikulum dan kenyataan selalu berbeda. Pada akhirnya nilai lah yang berkuasa dan menentukan masa depan pelajar dan mahasiswa. Karena soal nilai lah maka tumbuhnya bisnis bimbingan belajar yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Akhirnya hasil yang menentukan segalanya, karena aspek perilaku dan karakter pelajar dipinggirkan dan kalah dengan aspek kognitif. Bahkan dibuatlah test paling sulit, agar bisa menyeleksi pelajar yang memiliki hasil nilai ujian tinggi, bukan moral atau perilakunya yang tinggi. Karena masyarakat digital senang dengan yang instan, maka pada akhirnya nasionalisme tergusur akibat hasilisme, sehingga menyebabkan terpecah belahnya Indonesia di era digital.
Oleh karena itu penting melakukan tiga langkah di atas, karena pemuda lah dengan Sumpah Pemudanya, berhasil menjadikan Indonesia satu, jangan sampai Indonesia hancur di tangan pemuda, karena pemuda mampu berbuat segalanya.
Tidak ada alasan bagi pemuda untuk mengelakkan diri dari perbenturan-perbenturan ataupun dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sebab di tangan pemuda ada obor api yang akan dibawa dan dijaga untuk masa depan bangsa dan negara. Jangan biarkan bunga itu layu di tangan anda saudara-saudara seperjuangan.
Dengan adanya sistem digital, maka hal itu bisa menjadi problem solving untuk membuka kanal perjuangan baru dalam menyampaikan aspirasi, menjadi resolusi dalam memaksimalkan gerakan. Sehingga kegelisahan dan kegundahan pemuda mengenai sikon dan realitas sosial politik yang semakin kontraproduktif dengan konstitusi dan falsafah negara dapat terdengar, terkabar, dan terasa hingga di sanubari segenap masyarakat Indonesia agar seterusnya menjadi resolusi dalam mereformasi (baca: perubahan riil) sistem yang selama ini mengangkangi kedaulatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
“Keterbatasan itu jangan dijadikan sebuah pembenaran untuk tidak memberikan kontribusi pada bangsa.”
Selamat hari Sumpah Pemuda. Bangun Pemuda, Satukan Indonesia.
*Bila ada kesamaan narasi, kutipan kalimat, atau kata yang sama maka sejatinya kita se-frekuensi dan satu tarikan nafas perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar