Oleh: Nur Ismi Roni Tasbih (Direktur Aksi SKB 7 PIKOM IMM FISIP Unismuh Makassar)
Berbicara tentang ideologi pastinya merupakan pembicaraan yang serius. Bagaimana tidak? Yah… seperti yang kita ketahui bersama bahwa ideologi merupakan dasar dari segala hal yang akan kita kerjakan. Ali Syariati- mendefinisikan ideologi sebagai keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa dan suatu ras tertentu.
Ideologi politik (Ideopol) dan mahasiswa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan sejarah mencatat bahwa kekuatan ideopol yang dimiliki mahasiswa mampu meruntuhkan rezim kekuasaan yang kemudian merubah garis sejarah. 28 Oktober 1928 angkatan muda kemudian mampu mengambil bagian dalam kehidupan politik Indonesia.
Pada peristiwa yang kita sebut sebagai sumpah pemuda, dan tentunya sumpah tersebut merupakan sebuah pergerakan yang berasas pada tujuan bersama untuk mencapai kemerdekaan. Dalam pergerakan itu kemudian melahirkan kehidupan yang harmonis dalam hal persatuan; Indonesia disatukan dengan Bahasa Indonesia, bendera merah putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai suatu kesatuan sosial dan politis.
Menilik pada sebuah realita saat ini, kondisi pemuda kemudian menjadi hal yang memprihatinkan. Baik dari segi intelektual, moral, termasuk psikologi dari pemuda itu sendiri. Pemuda tidak lagi mampu menjadi figur dan teladan di kehidupan bermasyarakat, bahkan kerap kali muncul asumsi yang mengatakan bahwa pemuda hanya sebagai benalu dalam masyarakat.
Ada apa dengan pemuda saat ini?
Pernyataan atau asumsi yang menjadikan pemuda terkhususnya mahasiswa sebagai benalu dalam masyarakat tentunya melahirkan pertanyaan yang besar. Ada apa dengan pemuda? Kemana sosok angkatan muda yang gagah berani dan mampu merubah garis sejarah? Apakah kemudian saat ini kita telah sampai pada fase matinya kepemudaan? Apa yang menjadi penyebabnya?
Belakangan ini kita sudah banyak mengkritisi persoalan kebijakan pemerintah. Tetapi kali ini izinkan saya untuk menyampaikan sebuah keresahan dan kritik terhadap kondisi pemuda terkhususnya mahasiswa saat ini. Termasuk saya pribadi. Seiring dengan perkembangan zaman yang kemudian juga didukung oleh perkembangan teknologi, tentu sedikit banyaknya merubah tatanan hidup masyarakat terlebih lagi pemuda.
Kita tidak bisa menafikan ketergantungan kita terhadap teknologi yang memberikan pengaruh besar terhadap pemuda. Dari segi intelektual, dengan hadirnya berbagai macam media pembelajaran tentu akan memudahkan kita dalam mencari pengetahuan dan memperluas wawasan. Namun hal itu juga yang kemudian mejadikan mahasiswa saat ini serba instan, segalanya tidak lagi memerlukan pencarian dengan menggunakan berbagai macam referensi dari berbagai macam buku bacaan terkait, sebab agaknya semua itu sudah ada dalam sebuah rangkuman situs/website yang akrab kita sebut sebagai Om Google.
Hal inilah yang kemudian menjadikan budaya literasi dan kritis di kalangan pemuda terkhususnya mahasiswa berkurang. Kemudian dari segi moral, perkembangan teknologi kini menghadirkan berbagai macam inovasi baru. Contoh misalnya tiktok; tidak hanya pemuda, anak-anak bahkan orangtua kini juga ikut terkontaminasi oleh aplikasi tersebut. Hanya karena ingin disebut sebagai generasi milenial atau ikut tren, banyak orang rela melakukan hal yang konyol dan bahkan berdampak pada kerusakan moral. Dan lebih parahnya adalah kebanyakan dari pemuda justru senang dan bangga jika terkenal dan viral karena hal tersebut. Inilah kemudian yang menghadirkan asumsi yang perlu dijadikan sebagai bahan refleksi kita bahwa pemuda saat ini tidak lagi disibukkan oleh buku, cinta, dan diskusi.
Sumpah pemuda menjadi ajang ceremonial semata
Pada momentum peringatan sumpah pemuda 28 Oktober, gerakan mahasiswa kembali turun ke jalan sebagai bentuk penghargaan terhadap hari sumpah pemuda. Mahasiswa kembali mengangkat toa mengikrarkan sumpah pemuda, suara yang menggelegar meneriakkan aspirasi dan kritikan terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Saat ini siapapun bisa menjadi seorang orator, sebab isi dari orasi tidak lagi menjadi hal yang substansial. Mampu bersuara dan berteriak itulah orator. Nalar kritis tidak lagi menjadi acuan utama dalam menyampaikan orasi. Bagi mahasiswa saat ini berdiri di jalan sambil memegang toa adalah sebuah kebanggaan yang besar. Kini momentum sumpah pemuda dijadikan sebagai ajang seremonial semata.
Mahasiswa dan eksistensinya saat ini sudah melebihi porsinya. Saat ini kebanyakan diantaranya terjebak dalam ruang eksistensi semu, yang kemudian tidak paham bahkan tidak sampai pada esensinya. Inilah yang kemudian menjadi pemicu hadirnya idealisme-idealisme buta. Gerakan-gerakan mahasiswa saat ini tidak lagi murni karena panggilan nurani atas kemanusiaan. Melainkan kepentingan kelompok bahkan individualisme-lah yang kemudian mendominasi.
Gerakan mahasiswa dalam pengawalan kasus kerap kali gegabah dalam mengambil langkah. Padahal, langkah pertama yang harus dilakukan dalam pengawalan sebuah isu adalah dengan melakukan audiensi dan berdialog kepada pihak yang mampu mengantarkan aspirasi kita pada oligarki. Kemudian jika belum ada respon yang baik, maka turun ke jalan adalah jalan akhir dari proses pengawalan isu. Betapa tidak, nir substansial gerakan pemuda saat ini marak terjadi karena gerakan itu cuman dijadikan sebagai ajang seremonial belaka atau bahkan hanya perihal kepentingan kelompok. Poros-poros kritisisme tidak lagi kita temukan, padahal kesadaran kritis di jalan harus berbanding lurus dengan intelektualisme yang mumpuni agar pemuda tidak terjebak pada idealisme buta. Inilah yang menjadi penyebab sehingga kita tidak bisa sampai pada tujuan advokasi itu sendiri, yaitu merubah kebijakan
Sebagai bahan refleksi diri
Kita masih bersepakat bahwa tidak semua diantara pemuda itu hilang kesadaran atas gerakannya. Karenanya untuk merawat nalar kritis pemuda khususnya mahasiswa, maka pemuda saat ini harusnya tidak lagi menyibukkan diri pada hal yang tidak penting atau semacam euforia semata. Menilik kedepan pemuda saat inilah yang mau tidak mau akan meneruskan tampuk pimpinan umat. Karenanya dengan mengetahui itu harusnya saat ini kematangan intelektual, kemantapan moral, dan kejelihan dalam pengawalan kasus menjadi urgensi dan patut kita perhatikan bersama. Jangan sampai kita terjebak pada idealisme-idealisme buta, yang pada akhirnya akan membutakan kita pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar