Minggu, 08 November 2020

Catatan Kader Kebangsaan: Milenial Dalam Paradigma Politik dan Disintegrasi Nasional

Oleh: Moch. Edy Hendrawan (Anggota Divisi Aksi SKB 7 PIKOM IMM FISIP Unismuh Makassar)

"Kalau pemuda sudah berumur 21-22 tahun sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa, pemuda begini baiknya digunduli saja kepalanya." (Ir. Soekarno)

Generasi millenial merupakan pondasi bangsa yang mampu memberi warna jernih di dalam sistem politik dan demokrasi Indonesia. Sebagai generasi muda, kaum millenial wajib menjunjung tinggi nasionalisme yang didukung dengan sikap-sikap positif dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada saat ini, millenial merupakan penunjang proses pembangunan negara terkhusus dalam bidang politik. Millenial (pemuda) diharapkan memiliki sifat brainstroming; mampu beradaptasi dengan segala kondisi atau mengikuti pusaran politik, sebagai cara untuk membaca kompleksitas kekinian, dan sebagai manifestasi partisipasi kepemimpinan; upaya untuk menangani disintegrasi kebangsaan. 


Millenial juga dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan multitasking, memiliki daya saing yang tinggi, kritis terhadap fenomena sosial, memiliki kebiasaan bertukar pikiran atau sharing, serta 'modern era' yang melekat dan memaksa millenial untuk selalu melakukan segala aktivitasnya melalui teknologi (No Gadget No Life) yang kemudian millenial mampu untuk mengembangkan kemampuannya (self-development), jadi teruntuk saat ini millenial bukan hanya menjadi balancing agent tapi harus juga berpotensi menjadi development agent.


Namun terkadang perubahan zaman tidak sesuai dengan harapan, era disruption sebagai contohnya yang disebabkan oleh evolusi teknologi dan informasi. Oleh karena itu, banyak millenial yang diperbudak oleh teknologi atau memiliki ketergantungan, akibatnya timbullah penyakit narsis, banyaknya tsunami hoax, dan matinya kepakaran. 

Upaya yang dilakukan dalam mengahadapi hal tersebut ialah memanfaatkan digital dalam pengembangan kompetensi dan keterampilan skill, mengeksplorasi ruang publik sebagai sarana dimana millenial dapat bebas mengekspresikan pendapatnya. Jika millenial memanfaatkan teknologi dan informasi dengan baik maka hal itu modalitas bagi millenial untuk mampu bersaing sehingga produktivitas kualitas millenial dapat terjamin, serta millenial mampu menjalin kekuatan dalam keberagaman (solidarity maker) sebagai solusi permasalahan disentegrasi kebangsaan. 

Penyebab utama disentegrasi kebangsaan ialah adanya perbedaan persepsi, perilaku perlawanan/pelanggaran, disfungsional nilai dan norma, tidak adanya konsistensi dan komitmen dari stakeholder. Akibatnya konflik dapat terjadi, diawali dengan adanya perbedaan-perbedaan yang menimbulkan ketegangan, perselisihan, pada akhirnya konflik bersenjata yang disertai kekerasan dapat memercik adanya peperangan.

Realisasi pemerintah juga sebagai penunjang untuk memberikan asupan pendidikan politik dan memberikan pemahaman etika politik yang baik kepada millenial. Jadi hal tersebut perlu diberlakukan sehingga buta politik tidak terjadi di kehidupan millenial, karena buta politik menurut Bertolt Brecht merupakan buta yang paling buruk dimana orang tidak mendengar, tidak berbicara, tidak berpartisipasi, dan hanya mengikuti alur keputusan politik tanpa memerhatikan baik-buruknya. 

Sebagaimana mestinya, millenial telah ikut serta dalam kegiatan politik secara conventional maupun unconventional.  Berdasar pada data yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum Jumlah pemilih millenial mencapai 70-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih, maka secara tidak langsung kita dapat memastikan millenial memiliki partisipasi besar dalam kegiatan politik di Indonesia. 

Menurut Samuel P. Huntington, upaya partisipasi millenial diimplementasikan dengan cara kegiatan pemilihan, lobby dan negotiation, kegiatan organisasi, contacting, dan tindak kekerasan (chaos) atas penolakan. Bukan hanya sekedar partisipasi yang diutamakan tapi karakter atau watak millenial juga dibutuhkan, komitmen, konsistensi, dan pikiran positif lah yang membuat millenial dapat memberikan kontribusi dalam bernegara. 

Jika millenial menerapkan hal tersebut strategi politik yang baik pula dapat dijalankan; strategi politik yang terbaik adalah yang tidak menggunakan money politik, black campaign, dan politik assassination. Pergerakan antisipasi yang dapat dilakukan untuk menghindari strategi politik yang buruk ialah; millenial diharuskan memiliki literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia.

Millenial adalah generasi penerus bangsa dan potret masa depan negara. Oleh sebab itu, millenial diharapkan mampu beradaptasi dalam konteks kekinian dan tidak hanya terpaku diam menatap kesenjangan yang terjadi di kehidupan sosial dan politik. Memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran untuk mengelola informasi yang memungkinkan peningkatan kualitas intelektual, modal sosial, perluasan jaringan, dan personal branding dapat terjamin.

Pembangunan karakter, pengetahuan, ide, dan kreativitas adalah hal utama dalam mewujudkan kestabilan politik. Jadi secara kesimpulan millenial tidak hanya dituntut menjalankan peran balancing agent namun dapat juga mengambil peran sebagai development agent. Sebagaimana yang dikatakan Najwa Shihab, "Pemuda hari ini harus turun tangan, berkarya nyata menjawab semesta Indonesia."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...