Oleh : Agus Maulana
(Sekbidil PIKOM IMM FISIP UNISMUH MAKASSAR Periode
2021-2022)
Krisis
lingkungan yang secara ilmiah-filosofis disebut krisis ekologi ini merupakan
refleksi krisis spiritual manusia modern yang telah menghilangkan Tuhan dalam
hubungannya terhadap alam. Kesalahpahaman dan kegagalan manusia dalam memahami
hakikat serta realitas alam menyebabkan sikap eksploitatif terhadapnya.
Meningkatnya Kerusakan Lingkungan, Maraknya Bencana Alam Yang Menelan Banyak
Korban , Itu Kemudian Perlu Dikaji Tentang Penyebab Utama Terjadinya Kerusakan
Yang Merugikan Banyak Pihak Yang Menjadi Korban Atas Peristiwa Bencana Alam
Tersebut .
Menurut Franz
Magnis-Suseno, salah satu penyebab kerusakan lingkungan Adalah sikap
teknokratis. Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut
teknokratis. Istilah teknokratis berasal dari bahasa Yunani tekne yang artinya
keterampilan dan kratein, artinya menguasai, jadi secara umum artinya
keterampilan untuk menguasai sesuatu. Sikap teknokratis ini dalam arti manusia
memandang alam sebagai objek penguasaan. Alam hanya sekedar menjadi sarana
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap sebagai tambang kekayaan dan
energi yang perlu dieksploitasi atau dimanfaatkan. Alam bernilai pada dirinya
sendiri dan oleh karena itu perlu dipelihara, tidak termasuk ke dalam wawasan
alam dibongkar untuk diambil apa saja yang diperlukan, dan apa yang tidak
diperlukan, termasuk produk-produk samping pekerjaan manusia tidak diperhatikan
(Magnis-Suseno, 1993:226)
Bila Kita
Tarik KeDalam Kacamata Politik , Tentunya Persoalan Ekologi Itu Akan Tertuju
Pada Pemerintah/Penguasa Yang Menjadi Aktor Atas Kebijakannya , Yang Punya
Kendali Besar Atas Kondisi Lingkungan Yang Terdapat Dalam Wilayah Kekuasaan
Atau Mempunyai Otoritas Atas Keterampilannya Dalam Menguasai Suatu Wilayah Yang
Dibawa Kuasanya Tersebut.
Seperti
Halnya Krisis Ekologi Yang Terjadi Di Indonesia. Negeri ini menghadapi krisis
ekologi dampak 'persahabatan erat' antara pemerintah dan Oligarki dalam
mengeksploitasi kekayaan alam. Konflik-konflik lahan dan kerusakan lingkungan
terjadi di mana-mana. Salah Satu Ancaman Sekaligus Pantangan Bagi Para
Masyarakat Adat Pedalaman hutan Dan Masyarakat Pesisir pantai Yang Berperan
Sebagai Penjaga Kelestarian Alam Sekaligus Korban Yang Paling Terdampak Atas
Kebijakan Para Penguasa Yang Punya Kepentingan Mengekploitasi Lahan Untuk
Kepentingan Negara(OLIGARKI) Dengan Alasan Proyek Strategis Nasional Yang
Melibatkan Hukum Sebagai Instrumen Untuk Membungkam Mereka Yang Menghalangi
Proses Operasi Pembangunan Dengan Dalih Deforestasi , Reklamasi Pantai Yang
Merugikan Dan Merusak Lingkungan.
Disahkannya
UU OMNIBUS LOW , tentu Memberikan Efek Samping Yang Kemudian Melahirkan
Berbagai Problem Lingkungan . Karna Proses Penyusunan Undang-undang Yang Penuh
Kontroversi Antara Perumus(DPR) Dan Kalangan Oposisi Yang Membentuk Reaksi Dari
Berbagai Kalangan Aktivitis , Nelayan Dan Masyarakat Adat Pedalaman Hutan Dalam
Negeri Yang Kemudian Menentang Pengesahannya. Tapi Upaya Itu Justru Tak
Digubris Oleh Para Pemangku Kebijakan , ia Justru Memberikan Ancaman Dan
Perlawanan Terhadap Mereka Yang Menentang Kebijakan Busuknya.
10 Ancaman Omnibus Law
Terhadap Lingkungan
Setidaknya
ada 10 hal yang menjadi proteksi lingkungan dalam Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dihapus di omnibus law RUU Cipta Kerja. Bisa
tak terkontrol.
1. Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL)
tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin
penyelenggaraan usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22.
2. Pasal
1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan
diubah menjadi persetujuan lingkungan.
3. Sembilan
kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35).
4. Dalam
perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat,
pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang
didasarkan pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk
menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha
5. Dalam
penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya
mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau
masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah.
6. Menghapus
pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib
memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan
Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan
hidup.
7. Tak
ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah
oleh masyarakat seperti pasal 39 UUPPLH.
8. Pengawasan
dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti
perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75.
9. Jenis-jenis
sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada
peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut.
10. Tak ada
celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak
lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi
dihapusnya izin lingkungan.
Secara keseluruhan, ada tiga hal tambahan yang berpotensi melemahkan
pengaturan lingkungan hidup ke depan:
Pertama,
perubahan pasal-pasal di atas masih berpotensi menimbulkan perbedaan
interpretasi karena tidak adanya penjelasan isi pasal-pasal tersebut.
Kedua, tidak
ada norma dan arahan untuk pengaturan yang lebih operasional dari pasal- pasal
tersebut terhadap aturan di bawahnya, misalnya dalam bentuk peratu
Ketiga,
dengan banyaknya kewenangan pemerintah pusat serta luasnya cakupan bidang lingkungan
hidup, kapasitas pemerintah tidak memadai dengan tuntutan tanggung jawabnya
yang sangat besar.
Di periode
pertama pemerintahan Jokowi luas hutan Indonesia berkurang sekitar 2,6 juta
hektare.Kalau dibayangkan, area hutan yang hilang dalam lima tahun belakangan
itu kira-kira setara dengan 40 kali lipat luas Kota Jakarta.
Sekitar 70%
daratan di Indonesia berupa kawasan hutan Negara. Pengelolaan hutan tersebut
berada pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pengelolaan hutan
memberikan tambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah), membuka lapangan kerja bagi
masyarakat dan menggiatkan sektor ekonomi. Namun hutan penggunaan yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hutan. Dampak kerusakan hutan bagi
perekonomian hanyalah bagian kecil dari total dampak yang sebenarnya. Dampak
ekonomi tidak mencerminkan dampak yang terjadi. Fungsi hutan sebagai daya
dukung lingkungan justru memberi peran lebih besar.
Data
kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat perbedaan persepsi
dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju
deforestasi di Indonesia menurut perkiraan World Bank antara 700.000 sampai 1.200.000
ha per tahun, dimana deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai
separuhnya. Namun World bank mengakui bahwa taksiran laju deforestasi
didasarkan pada data yang lemah. Sedangkan menurut FAO, menyebutkan laju
kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per tahun atau setiap
tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%). Berbagai LSM
peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000 – 2.000.000
ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh Greenpeace, bahwa
kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun yang sebagian besar
adalah penebangan liar atau illegal logging. Sedangkan ada ahli kehutanan yang
mengungkapkan laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 1.080.000 ha per tahun.
Disis Lain
Persoalan Mengenai Reklamasi Juga Masih Menjadi Problem Lingkungan Yang Terus
Menerus Menghantui Nelayan Dan Hewan Dan Tumbuhan Yang Hidup Di Lautan
Dikarenakan, Praktik Perampasan Ruang Hidup Baginya Akan Terancam Karna Ada
Kepentingan Yang Kemudian Mengorbankan Ruang Hidup Mahluk Laut Yang Dirampas
Oleh Negara Selain Perampasan Ruang reklamasi memiliki dampak negatif yang
justru merusak alam dan biota laut, seperti pencemaran laut, berpotensi
mengakibatkan sedimentasi tanah dan laut, perubahan hidrooseanografi, kerusakan
habitat dan ekosistem laut, potensi pencemaran udara, akses masyarakat ke
pantai menjadi terbatas serta peningkatan keruhnya air bersih maupun air laut.
Jika berbagai
permasalahan lingkungan ini tidak dicari solusi, maka keberlanjutan kehidupan
manusia Terkhusus Di Indonesia akan mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan alam
menjadi sumber pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia, yaitu penyedia udara,
air, makanan, obat-obatan, estetika, dan lainnya. Kerusakan alam berarti sama
dengan daya dukung kehidupan manusia.
"Alam telah membuat
manusia menjadi bahagia dan baik, tetapi sebagian manusia mencelakakan dia dan
membuatnya sengsara.” - Jean-Jacques Rousseau
Akhir Kata :
Billahifisabillhaq Fastabiqul Khairot
Istiqomah untuk melindungi Alam adalah Kewajiban
Setiap Mereka Yang Berkesadaran.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
SUMBER REFERENSI :
·
https://media.neliti.com
› mediaPDF
·
mencari landasan etis
bagi upaya membudayakan – Neliti
·
https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di-
indonesia-dan-dunia-saat-ini-15
·
https://www.forestdigest.com/detail/481/10-ancaman-omnibus-law-terhadap-
lingkungan
·
https://bemu.umm.ac.id/id/berita/international-day-of-forests-
2021.html#:~:text=Berbagai%20LSM%20peduli%20lingkungan%20mengungkapkan,pen
ebangan%20liar%20atau%20illegal%20logging.
·
https://www.google.com/amp/s/amp.lokadata.id/amp/mengenal-reklamasi-serta-
dampak-negatifnya