Senin, 08 November 2021

KRISIS EKOLOGIS DAN BERKHIANATNYA SARJANA KEHUTANAN TERHADAP TUGAS DAN FUNGSINYA.

Oleh : Agus Maulana

(Sekbidil PIKOM IMM FISIP UNISMUH MAKASSAR Periode 2021-2022)

 

Krisis lingkungan yang secara ilmiah-filosofis disebut krisis ekologi ini merupakan refleksi krisis spiritual manusia modern yang telah menghilangkan Tuhan dalam hubungannya terhadap alam. Kesalahpahaman dan kegagalan manusia dalam memahami hakikat serta realitas alam menyebabkan sikap eksploitatif terhadapnya. Meningkatnya Kerusakan Lingkungan, Maraknya Bencana Alam Yang Menelan Banyak Korban , Itu Kemudian Perlu Dikaji Tentang Penyebab Utama Terjadinya Kerusakan Yang Merugikan Banyak Pihak Yang Menjadi Korban Atas Peristiwa Bencana Alam Tersebut .

Menurut Franz Magnis-Suseno, salah satu penyebab kerusakan lingkungan Adalah sikap teknokratis. Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut teknokratis. Istilah teknokratis berasal dari bahasa Yunani tekne yang artinya keterampilan dan kratein, artinya menguasai, jadi secara umum artinya keterampilan untuk menguasai sesuatu. Sikap teknokratis ini dalam arti manusia memandang alam sebagai objek penguasaan. Alam hanya sekedar menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam dianggap sebagai tambang kekayaan dan energi yang perlu dieksploitasi atau dimanfaatkan. Alam bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu perlu dipelihara, tidak termasuk ke dalam wawasan alam dibongkar untuk diambil apa saja yang diperlukan, dan apa yang tidak diperlukan, termasuk produk-produk samping pekerjaan manusia tidak diperhatikan (Magnis-Suseno, 1993:226)

Bila Kita Tarik KeDalam Kacamata Politik , Tentunya Persoalan Ekologi Itu Akan Tertuju Pada Pemerintah/Penguasa Yang Menjadi Aktor Atas Kebijakannya , Yang Punya Kendali Besar Atas Kondisi Lingkungan Yang Terdapat Dalam Wilayah Kekuasaan Atau Mempunyai Otoritas Atas Keterampilannya Dalam Menguasai Suatu Wilayah Yang Dibawa Kuasanya Tersebut.

Seperti Halnya Krisis Ekologi Yang Terjadi Di Indonesia. Negeri ini menghadapi krisis ekologi dampak 'persahabatan erat' antara pemerintah dan Oligarki dalam mengeksploitasi kekayaan alam. Konflik-konflik lahan dan kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana. Salah Satu Ancaman Sekaligus Pantangan Bagi Para Masyarakat Adat Pedalaman hutan Dan Masyarakat Pesisir pantai Yang Berperan Sebagai Penjaga Kelestarian Alam Sekaligus Korban Yang Paling Terdampak Atas Kebijakan Para Penguasa Yang Punya Kepentingan Mengekploitasi Lahan Untuk Kepentingan Negara(OLIGARKI) Dengan Alasan Proyek Strategis Nasional Yang Melibatkan Hukum Sebagai Instrumen Untuk Membungkam Mereka Yang Menghalangi Proses Operasi Pembangunan Dengan Dalih Deforestasi , Reklamasi Pantai Yang Merugikan Dan Merusak Lingkungan.

Disahkannya UU OMNIBUS LOW , tentu Memberikan Efek Samping Yang Kemudian Melahirkan Berbagai Problem Lingkungan . Karna Proses Penyusunan Undang-undang Yang Penuh Kontroversi Antara Perumus(DPR) Dan Kalangan Oposisi Yang Membentuk Reaksi Dari Berbagai Kalangan Aktivitis , Nelayan Dan Masyarakat Adat Pedalaman Hutan Dalam Negeri Yang Kemudian Menentang Pengesahannya. Tapi Upaya Itu Justru Tak Digubris Oleh Para Pemangku Kebijakan , ia Justru Memberikan Ancaman Dan Perlawanan Terhadap Mereka Yang Menentang Kebijakan Busuknya.

10 Ancaman Omnibus Law Terhadap Lingkungan

Setidaknya ada 10 hal yang menjadi proteksi lingkungan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dihapus di omnibus law RUU Cipta Kerja. Bisa tak terkontrol.

1.     Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggaraan usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22.

2.     Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan.

3.     Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35).

4.     Dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha

5.     Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah.

6.     Menghapus pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup.

7.     Tak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UUPPLH.

8.     Pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75.

9.     Jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut.

10.  Tak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.

Secara keseluruhan, ada tiga hal tambahan yang berpotensi melemahkan pengaturan lingkungan hidup ke depan:

Pertama, perubahan pasal-pasal di atas masih berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi karena tidak adanya penjelasan isi pasal-pasal tersebut.

Kedua, tidak ada norma dan arahan untuk pengaturan yang lebih operasional dari pasal- pasal tersebut terhadap aturan di bawahnya, misalnya dalam bentuk peratu

Ketiga, dengan banyaknya kewenangan pemerintah pusat serta luasnya cakupan bidang lingkungan hidup, kapasitas pemerintah tidak memadai dengan tuntutan tanggung jawabnya yang sangat besar.

Di periode pertama pemerintahan Jokowi luas hutan Indonesia berkurang sekitar 2,6 juta hektare.Kalau dibayangkan, area hutan yang hilang dalam lima tahun belakangan itu kira-kira setara dengan 40 kali lipat luas Kota Jakarta.

Sekitar 70% daratan di Indonesia berupa kawasan hutan Negara. Pengelolaan hutan tersebut berada pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Pengelolaan hutan memberikan tambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah), membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan menggiatkan sektor ekonomi. Namun hutan penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan hutan. Dampak kerusakan hutan bagi perekonomian hanyalah bagian kecil dari total dampak yang sebenarnya. Dampak ekonomi tidak mencerminkan dampak yang terjadi. Fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi peran lebih besar.

Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju deforestasi di Indonesia menurut perkiraan World Bank antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun, dimana deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World bank mengakui bahwa taksiran laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah. Sedangkan menurut FAO, menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%). Berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000 – 2.000.000 ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun yang sebagian besar adalah penebangan liar atau illegal logging. Sedangkan ada ahli kehutanan yang mengungkapkan laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 1.080.000 ha per tahun.

Disis Lain Persoalan Mengenai Reklamasi Juga Masih Menjadi Problem Lingkungan Yang Terus Menerus Menghantui Nelayan Dan Hewan Dan Tumbuhan Yang Hidup Di Lautan Dikarenakan, Praktik Perampasan Ruang Hidup Baginya Akan Terancam Karna Ada Kepentingan Yang Kemudian Mengorbankan Ruang Hidup Mahluk Laut Yang Dirampas Oleh Negara Selain Perampasan Ruang reklamasi memiliki dampak negatif yang justru merusak alam dan biota laut, seperti pencemaran laut, berpotensi mengakibatkan sedimentasi tanah dan laut, perubahan hidrooseanografi, kerusakan habitat dan ekosistem laut, potensi pencemaran udara, akses masyarakat ke pantai menjadi terbatas serta peningkatan keruhnya air bersih maupun air laut.

Jika berbagai permasalahan lingkungan ini tidak dicari solusi, maka keberlanjutan kehidupan manusia Terkhusus Di Indonesia akan mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan alam menjadi sumber pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia, yaitu penyedia udara, air, makanan, obat-obatan, estetika, dan lainnya. Kerusakan alam berarti sama dengan daya dukung kehidupan manusia.

"Alam telah membuat manusia menjadi bahagia dan baik, tetapi sebagian manusia mencelakakan dia dan membuatnya sengsara.” - Jean-Jacques Rousseau

Akhir Kata :

Billahifisabillhaq Fastabiqul Khairot

Istiqomah untuk melindungi Alam adalah Kewajiban Setiap Mereka Yang Berkesadaran.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

SUMBER REFERENSI :

·       https://media.neliti.com › mediaPDF

·       mencari landasan etis bagi upaya membudayakan – Neliti

·       https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di- indonesia-dan-dunia-saat-ini-15

·       https://www.forestdigest.com/detail/481/10-ancaman-omnibus-law-terhadap- lingkungan

·       https://bemu.umm.ac.id/id/berita/international-day-of-forests- 2021.html#:~:text=Berbagai%20LSM%20peduli%20lingkungan%20mengungkapkan,pen ebangan%20liar%20atau%20illegal%20logging.

·       https://www.google.com/amp/s/amp.lokadata.id/amp/mengenal-reklamasi-serta- dampak-negatifnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...