Jikalau membaca buku tidak kita jadikan sebagai kewajiban dalam mengarungi lautan keraguan yang disebabkan ketidak tahuan , bagaimana mungkin kita bisa terbebas dari penjara penjara kebodohan??
Fenomena krisis kesadaran akan identitas yang mengklaim dirinya sebagai orang orang yang tercerahkan oleh Status Kemahasiswaan yang ia emban, justru menjadi fenomena narsisme yang sering kali dipertontonkan di meja meja kopi perdiskusian.
Menurunnya kualitas sumber daya manusia disebabkan karena kurangnya perhatian para Mahasiswa terkhususnya, terhadap buku-buku bacaan yang membentuk pola pikir mereka. Sebagaian besar dari mereka menganggap bahwa buku buku hanyalah kertas usang yang tak mampu membuat perutnya kenyang.
Dunia kampus hari ini seakan akan hanya dibuat untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bermental tempe. Sebagian besar akademisi yang kemudian ditanya mengenai tujuan kuliah , banyak dari mereka yang menjawab bahwa tujuannya hanyalah untuk memperoleh ijazah sehingga mereka memandang kesuksesan dapat diraih dengan capaian IPK yang tinggi.
terjadinya Degradasi Intelektual di wilayah kampus disebabkan oleh pengaruh globalisasi yang menenggelamkan manusia pada fakta fakta realitas yang mencuci otak para pelajar, sehingga mempengaruhi pola pikir mereka.
Teknologi informasi yang hadir ditengah arus globalisasi seakan menuntun sebagian akademisi menjadi malas dan enggan untuk mencari referensi lewat membaca buku .
Akibatnya para generasi yang sedang menekuni proses kuliah lebih cenderung menghabiskan waktunya di sosial media dan menikmati hiburan hiburan yang dangkal akan hal hal ilmiah.
UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Tapi yang menjadi pertanyaan mengapa kita tertinggal , sedangkan dalam segi infrastruktur dalam mendukung minat baca , kita lebih mumpuni dari negara negara di Eropa??
Jawabannya adalah "gadget".
Mengapa demikian??data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Coba saja bayangkan, ilmu minimalis, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadget berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial pula. Jangan heran jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya. Padahal informasinya belum tentu benar, provokasi dan memecah belah NKRI.
Kengerian yang dihadirkan oleh technologi informasi saat ini memang merupakan ancaman besar terhadap regenerasi mendatang.
Melihat fenomena itu , lantas apa yang harus kita lakukan untuk memperoleh solusi yang mampu membebaskan masyarakat dari kebodohan itu??
Solusinya adalah, dengan menghidupkan kembali Tradisi Literasi di tengah tengah masyarakat digital sebagai Upaya mencerdaskan dan membebaskan masyarakat dari berbagai problem problem yang dihadapinya saat ini .
Reformulasi menjadi penting untuk di lakukan , dengan melalui pendekatan literasi digital untuk mengimbangi dan mewaraskan para regenerasi.
Selain daripada itu perlunya juga kita kembali menghidupkan tradisi membaca buku asli atau non digital . Karena membaca lewat buku asli menghindarkan kita pada notifikasi gadget yang berpotensi mengganggu kefokusan belajar. Untuk itu diperlukan agen agen terkhususnya mahasiswa yang memiliki tanggungjawab paling besar dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan kembali berliterasi.
Mengutip perkataan dari Sindhunata, seorang budayawan mengatakan “Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang menyejarah. Namun bagaimana kita bisa tahu sejarah, jika kita tidak membaca? Hidup yang berkaki kuat adalah hidup yang tidak sempit dan berani menjelajah. Namun bagaimana kita tahu akan yang luas, dan inspirasi untuk penjelajahan, jika kita tidak membaca?”
23 April sebagai hari buku dunia, menjadi langkah awal untuk kita menjalajah dan berupaya menyadarkan dan mengembalikan apa yang pernah tiada . Jikalau pembebasan terhadap kebodohan tidak di upayakan , maka bagaimana mungkin kita bisa sampai pada titik kebijaksanaan dalam menemukan jalan jalan kebenaran? .
Sebagai kesimpulan bahwa akan sangat disayangkan bila pemegang tahta peradaban di masa depan, hari ini masih disibukkan dengan hal hal yang jauh dari jalan jalan kebenaran dan tenggelam dalam lautan kebodohan yang merajalela di dalam tubuh bangsa yang sekarat akan kebijaksanaan.
Kesadaran kolektif akan pentingnya membaca perlu untuk kita upayakan dan sama sama kita budayakan.
Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya. Maka pastilah bangsa itu akan musnah - Milan Kundera
Selamat memperingati Hari buku dunia semoga dengan ini Regenerasi bisa kembali tercerahkan.
Oleh :
Agus Maulana
Sekbid Riset dan Pengembangan Keilmuan Pikom IMM Fisip Unismuh Makassar Periode 2021-2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar