Kamis, 29 Juni 2023

BUNGA YANG DI RINDUKAN, KEMANA IA PERGI?

Belakangan ini pertengkaran pikiran soal kemerdekaan dan kebebasan memilih jalan sedang merasuk pikiran puan-puan wati yang kerap menggelitik hati juga pikiran. Salah satu di antaranya adalah TURUN KE JALAN, sebagian besar bersepakat bahwa saat ini melawan tidak melulu ditunjukkan dengan turun aksi ke jalan tapi boleh dibuktikan dengan melakukan aksi berdasarkan potensi masing-masing.


Pembenaran yang kerap diberikan adalah tidak semua Immawati terlahir dan tercipta untuk turun ke jalan, setiap immawati keren dengan karakter dan potensinya masing-masing, immawati berhak memilih jalan aksi serta cara perlawanannya sendiri. Dari pernyataan tersebut dapat kita sederhanakan bahwa turun aksi dan menyuarakan aspirasi di jalan adalah tugas immawan, tugas bidang hikmah, dan mereka yang mau saja. Pernyataan itu sejalan dengan realita yang tengah kita saksikan bersama.


Jika immawati menjadi pemilih, mungkin kita akan menyaksikan matinya bunga revolusi di jalanan. Sebab mereka yang kerap dianggap menyukai turun ke jalan dan mengangkat suara, sebenarnya sedang melawan ego untuk keluar dari zona yang mereka senangi saja.


Yang perlu kita ingat juga adalah... Turun aksi itu bukan ajang menampakkan kekerenan, tapi berangkat dari hati atas kesadaran dan keresahan. Aksi itu bukan potensi diri tapi tindakan kemanusiaan. Keresahan tidak cukup dengan merasa, tapi diperlukan tindakan. Itulah mengapa Reformasi terjadi, sebab adanya kesatuan rasa juga tindakan dari kaum laki-laki dan perempuan. Hanya saja, Kita tidak pernah memaksa siapapun yang ingin turun, tapi kita perlu mempertanyakan jika pada suatu lembaga besar kita menyaksikan kematian bunga revolusi itu sendiri. 


Pertanyaannya, saat ini apa yang puan wati tidak senangi untuk turun aksi? Apakah karena teriknya matahari? Apakah karena kejamnya polusi merusak wajah dan keringat menghapus gincu? Mungkin kita sedang lupa bahwa tindakan adalah interpretasi dari nurani itu sendiri.


Jika dalil pembelaannya adalah mereka punya medan aksi juga potensi yang berbeda, bukti dari aksi lain berupa tulisan apa yang sudah dicipta dari setiap isu? Karya mana yang sudah dipersembahkan untuk melawan? Apakah perubahan akan terjadi jika kita hanya memendam rasa lalu berkata "aku merasa resah dengan itu" (?) Padahal dengan turun minimal wajah bunga revolusi bisa terlihat dan memberikan spirit perjuangan walau hanya dengan memegang spanduk lalu ikut bersorak HIDUP MAHASISWA sambil mengepalkan tangan. 


Kita menjadi lemah sebab kita kurang mengakui kelemahan itu sendiri. Kita kurang mengakui jika saat ini bukan hanya eksistensi tapi ruh pergerakan itu kian memudar. Kita meyakini dan mengimani Nilai Dasar tapi Nir-Aktualisasi.


Bunga yang dirindukan, kemana ia hilang? Apakah perubahan pola pikir akan kemerdekaan telah merenggut suara-suara harapan itu? Sudah saatnya bergerak dan beranjak dari beku jiwa untuk perubahan yang selalu di jadikan tujuan.


Tulisan ini dibuat dari nurani, berusaha disingkatkan agar dibaca habis, dan yang menjadi inti bahwa tulisan ini adalah bentuk pengharapan akan kembalinya bunga revolusi yang sama-sama kita rindukan. Atau mungkin, hanya aku yang merindukannya(?) 


Billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat

Istiqomah membaca, bergerak, dan melawan.


#Memaknai Makna



Oleh : Nur Ismi Roni



Rabu, 28 Juni 2023

Fenomena IMMawati Dagelan dan Teori Dramaturgi Erving Goffman

 Setelah perjalanan panjang Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyahn (IMM), eksistensi perempuan IMM tidak bisa dikesampingkan. Keberadaan perempuan di IMM merupakan mitra sejajar yang akan terus bersama-sama mewujudkan cita-cita ikatan kapanpun organisasi ini masih berdiri. Akan tetapi dalam perjalanan panjang itu ternyata banyak kerikil yang melukai kaki para perempuan IMM. Kerikil ini beraneka ragam, mulai dari kelemahan diri dari IMMawati itu sendiri hingga persoalan kultur yang sering memberikan stigma lemah, tidak mampu memimpin, dan stigma lainya yang terkadang mengantar immawati tidak mendapat ruang cukup untuk mengembangkan potensi. (Baca; buku pedoman IMMawati)


Berbagai upaya dilakukan, mulai dari kajian rutin dengan tema-tema yang ke Fiqih-Fiqian, seperti Tata cara berpakaian, tata cara berkomunikasi, tata cara berjalan, dan berbagai macam tata cara - tata cara lainnya yang cenderung normatif implementatif. Upaya ini dilakukan sebagai upaya membentengi IMMawati, pun agar tidak mencoreng nama lembaga di ruang publik. Tapi ternyata dibalik semua upaya itu, masih ada saja IMMawati yang melenceng dari nilai dan norma-norma yang berlaku di IMM, mulai dari IMMawati pacaran, IMMawati berboncengan dengan IMMawan, IMMawati tanpa kos kaki, IMMawati yang sering membantah dan emosian, IMMawati mulut besar, dan berbagai macam pelanggaran-pelanggaran sosial yang di anggap tabu oleh elite(Kakanda IMMawati) yang memiliki pendalaman spiritualitas di atas rata-rata katanya dan sangat senang menghakimi adik adiknya itu. Tapi disisi lain ada juga elite(kakanda IMMawati) yang sebelumnya mendoktrin dan mendikte adik-adik IMMawati yang lain agar jangan melanggar, tapi justru ia sendiri yang melanggar aturan yang ia berlakukan, memang agak aneh dan mengherankan.


Ketika ditanya mengapa begini, lantas mereka menjawab " kita semua hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan-kesalahan "(ucap sang Kakanda IMMawati saat terciduk adik-adiknya telah melanggar aturannya sendiri)


Berbicara tentang IMMawati memang tidak ada habisnya, keragaman karakter dan sifat alamiah yang masing masing mempengaruhi cara berpikir dan berperilakunya justru memberikan tugas tambahan bagi setiap pemain yang bertanggungjawab atas citra lembaga di ruang publik. 


" Fenomena pencitraan di ruang publik ternyata tidak hanya dilakukan oleh segelintir politisi pada saat mengkampanyekan dirinya untuk dipilih oleh rakyat, tapi juga secara subyektif sebagian kecil IMMawati dagelan ini pun melakukan hal yang serupa. " (asumsi ini hanya sekedar praduga semata dalam pandangan pribadi penulis).

Pencitraan dalam hal ini adalah ketika individu seseorang berperilaku tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau sederhananya adalah sebuah perilaku yang dimanipulasi demi kepentingan untuk memperoleh citra baik di ruang publik.


Fenomena itu sejalan dengan Gagasan Erving Goffman tentang Teori Dramaturgi yang dicetuskannya.


TEORI DRAMATURGI ERVING GOFFMAN


Menurut Erving Goffman, dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Dengan kata lain, dramaturgi merupakan situasi dimana manusia bertindak sesuai dengan waktu, ruang, dan khalayaknya. Yang tentunya hal ini disertai dengan feedback yang diharapkan pula. 

Menurut Erving Goofman, individu akan selalu bermain peran. Artinya, setiap individu bertindak sesuai dengan perannya dalam bersosialisasi dengan individu lainnya.(Baca; Kompasiana "Dramaturgi")


Konsep dramaturgi Goffman memusatkan perhatian atas kehidupan sosial layaknya serangkaian pertunjukan drama di panggung. Aktor dan penonton merupakan komponen dalam dramaturgi. Tugas aktor dalam hal ini hanyalah mempersiapkan dirinya dengan berbagai artibut pendukung dalam berperan di kehidupan sosial. Sedangkan interpretasinya diserahkan sepenuhnya kepada penonton, yaitu masyarakat. Sehingga individu tidak lagi memiliki kebebasan dalam menentukan makna.


Back Stage dan Front Stage


Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dibagi menjadi dua yaitu back stage dan front stage.


Back stage atau panggung belakang adalah tempat dimana individu menyiapkan segala sesuatu untuk ditunjukan pada front stage. Artinya, karakter asli seorang individu dapat ditunjukan di back stage. 


Kemudian dalam front stage atau panggung depan-lah, seorang individu memainkan perannya. Dalam front stage terdapat pertunjukan (appearance) atas penampilan dan gaya (manner). Pada panggung ini, individu akan berusaha untuk memainkan perannya sebaik mungkin untuk membangun dan menunjukkan sosok ideal dari identitas yang akan ia tonjolkan dalam interaksi sosialnya. Hal ini bertujuan agar penonton atau masyarakat dapat memahami tujuan-tujuan yang hendak ia sampaikan.


IMMawati Dagelan dalam pusaran Dramaturgi


Fenomena IMMawati dagelan ini ternyata masuk Dalam kategori Dramaturgi yang dimaksud Erving Goffman dengan menggunakan penjelasan sederhana terkait Dramaturgi dan variabel Back stage dan Front stage. 


Back stage, adalah ketika oknum IMMawati dagelan ini berada di belakang layar atau lepas dari pantauan kelompoknya kemudian melakukan sesuatu hal yang melenceng dari nilai nilai yang sepantasnya. IMMawati jenis ini merupakan IMMawati yang hanya menjadikan label keIMMawatiannya sebagai peran sekejap saja, dan bukan identitas otentik yang secara alamiah dan konsisten tertanam dalam dirinya. sehingga ia cenderung melenceng dari apa yang pantas dan seharusnya dilakukan.


Front stage, adalah ketika individu seseorang hanya menjadikan symbol IMMawati hanya sebatas peran yang dimainkan namun tidak dihidupkan, dan hanya menjadikan peran ke IMMawatian sebagai upaya untuk memperoleh reward, popularitas atau nama baik pada saat berekspresi di lingkungan IMM namun diluar justru ia tidak mencerminkan bagaimana kepribadian IMMawati yang seharusnya.


BillahiFisabililhaq Fastabiqul Khairat

Istiqomah Menebar Manfaat.



Oleh: IMMawan Agus Maulana



Jumat, 16 Juni 2023

Indonesia Darurat Korupsi, Haruska Koruptor Dihukum Mati?

 Satu tahun menjelang akhir dari periodesasi Jokowi - Ma'aruf, tentu menyisakan banyak sekali PR bagi pemimpin selanjutnya, baik itu terkait kemiskinan, pembangunan infrastruktur, pemulihan lingkungan, pendidikan, peningkatan ekonomi, dan juga yang mencakup persoalan pemberantasan korupsi yang sampai saat ini masih terus menjangkiti negri ini. Fokus utama dari pandangan penulis adalah bagaimana kemudian kita bisa melahirkan sebuah negara yang bersih dari korupsi? 


Sebelum masuk pada pembahasan, perlu kiranya kita lebih tertib terkait Bagaimana sebenarnya kita memaknai Arti dari kata "Korupsi" secara spesifik. 


Mengutip GramediaBlog, bahwa " korupsi " berasal dari kata latin yaitu ''corruptio'' atau ''corruptus'' yang artinya kerusakan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, bisa disuap, dan tidak bermoral kesucian. Dimana, kata tersebut kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis yaitu “Corruption” yang artinya menyalah gunakan wewenang untuk menguntungkan dirinya sendiri. 


Dilansir dari CNBC Indonesia, bahwa Indeks korupsi Indonesia (corruption perceptions index/CPI) peringkat 112 dari 180 negara tahun 2022, Kasus korupsi terungkap era Jokowi mencapai kerugian negara ratusan triliun rupiah. Beberapa hari sebelumnya Johnny G Plate yang menjabat Menkominfo juga terseret kasus korupsi Base Transceiver Station (BTS) yang diduga menimbulkan kerugian mencapai Rp 8 triliun. Besarnya nilai tersebut belum seberapa dan masih banyak lagi yang terjadi pada era Jokowi. Kasus korupsi yang terungkap selama periode Presiden Jokowi ditaksir mencapai ratusan triliun.


Peliknya menguak kasus korupsi tentu membutuh sebuah badan yang konsentrasi mengurusi permasalah ini. Di Indonesia pemberantas kasus korupsi secara intensif dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau biasa disingkat KPK. Lembaga ini berstatus independen dan memiliki peranan penting sebagai superbody yang memiliki kewenangan luar biasa dalam penanganan.


Kasus korupsi di Indonesia. Tapi sebagian akademisi menilai bahwa belakangan ini terjadi penurunan kualitas dari lembaga KPK yang diakibatkan oleh faktor bahwa KPK tidak lagi independen karena telah terkontrol oleh eksekutif lewat Dewan pengawas dan juga akibat Revisi UU KPK yang menimbulkan dampak penurunan kualitas kinerja KPK itu sendiri, apatalagi banyak yang menyoroti sikap mewah dari ketua KPK Firli Bahuri yang diduga publik sangat mencurigakan, Yang akhirnya membuat kepercayaan publik menurun terhadap KPK saat ini. 


Diluar dari pada itu, Perspektif struktural fungsionalisme memandang bahwa menjamurnya praktek korupsi di Indonesia merupakan tanda disfunginya hukum dalam menciptakan tujuannya yakni mewujudkan kepatuhan hukum dan keteraturan di masyarakat. Peraturan undang-undang sebagai produk hukum tentu tidak berjalan sendiri dalam implementasinya, hukum melibatkan para penegak hukum, maka para penegak hukum ini turut memegang kunci suksesnya hukum di masyarakat sebab menurut kaum fungsionalisme, " keteraturan tercipta karena berfungsinya unsur-unsur yang saling terhubung satu sama lain. 


Pada konteks penulisan ini maka yang dimaksud unsur-unsur saling terhubung adalah kerjasama antara KPK, masyarakat dan lembaga hukum lainnya dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi.


Tapi fakta berbicara lain, ketika kita mengingat banyak sekali kasus korupsi yang justru terjadi dalam tubuh institusi - institusi penegak hukum itu sendiri, kita mengingat kasus Pada penghujung tahun 2013 Indonesia sempat digemparkan atas penangkapan Akil Mochtar mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang melakukan kasus korupsi dengan memuluskan kecurangan dalam sengketa pilkada di beberapa daerah seperti Pilkada Lebak Banten, Pilkada Tapanuli Tengah, dan Pilkada Palembang. 


Kemudian yang terjadi pada Kasus Jaksa Pinangki juga turut menjadi deretan nama aparat hukum yang terjerat kasus korupsi di tahun 2020. Pinangki menjadi terdakwa atas dugaan kasus korupsi terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA) dengan maksud agar dapat meloloskan Djoko Tjandar dari eksekusi vonis dua tahun akibat kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Untuk memuluskan rencana tersebut Djoko Tjandra menghadiahi Jaksa Pinangki sejumlah uang sebesar 500 dollar Amerika.


Meninjau dua kasus korupsi yang menjerat aparat hukum ini menarik apabila meminjam istilah dalam sosiologi yaitu sosialisasi tidak sempurna dalam konteks kajian sosiologi hukum dapat diartikan bahwa hukum sebagai media dan sumber sosialisasi tidak dapat memenuhi tugasnya dikarenakan terjadi disfungsi peran dan status para aparat penegak hukum yang bertanggung jawab sebagai agen sosialisasi. Mochtar Lubis dalam bukunya pernah membahas soal karakter manusia Indonesia yang hipokrit, dan bekarakter lemah. Hal ini tampak nyata pada kedua oknum aparat hukum tersebut. 


Kedua oknum tersebut pandai memainkan peran bagaikan di panggung sandiwara disatu sisi bertindak sebagai penegak hukum dan disisi lain justru menjadi sumber belenggu hukum. Permainan peran seperti ini dapat dianalisis melalui teori dramaturgi yang dipopulerkan oleh Erving Goffman. Berdasarkan sudut pandang teori ini manusia memiliki dua sisi, yakni front stage dan backstage.Fronstage atau panggung depan adalah tempat manusia menampilkan diri dengan " tidak apa adanya " alias manipulatif sebab paksaan peran dan statusnya di masyarakat hemat kata citra publik. Sedangkan backstage atau panggung belakang tempat manusia menjadi dirinya sendiri sebab terlepas dari paksaan mereka sebagai makhluk sosial, singkat kata kararkter sesungguhnya. 


Artinya dalam kasus korupsi yang melibatkan Akil Mochtar dan Jaksa Pinangki, keduanya melakukan manipulasi citra publik (front stage) dengan cara melakukan peran sebagai penegak hukum dengan seaka-akan sesuai ketentuan yang ada namun di lain sisi dan situasi yang berbeda (back stage) mereka melakukan pelanggaran hukum.


Menarik kesimpulan sederhana bahwa untuk melihat Indonesia kedepan menjadi Indonesia yang bersih dari korupsi, penulis berpendapat bahwa Hukuman mati itu harus diberlakukan sebagai upaya untuk membuat para koruptor jera dan mengecoh psikologi orang-orang yang baru ingin korupsi atau yang berfikiran terjun di ranah politik untuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi. Adapun dasar dari pemberlakuan hukuman mati yaitu, Hukumam mati dapat menjadi deterrent terhadap kejahatan, Hukuman mati dapat memberikan keadilan bagi korban(Rakyat), Hukuman mati dapat mencegah pelaku kejahatan untuk mengembalikan perbuatannya.


BillahiFisabililhaq Fastabiqul Khaerat


Oleh : Agus Maulana (Ketua Bidang Organisasi Pikom IMM SOSPOL Unismuh Makassar)







Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...