Belakangan ini pertengkaran pikiran soal kemerdekaan dan kebebasan memilih jalan sedang merasuk pikiran puan-puan wati yang kerap menggelitik hati juga pikiran. Salah satu di antaranya adalah TURUN KE JALAN, sebagian besar bersepakat bahwa saat ini melawan tidak melulu ditunjukkan dengan turun aksi ke jalan tapi boleh dibuktikan dengan melakukan aksi berdasarkan potensi masing-masing.
Pembenaran yang kerap diberikan adalah tidak semua Immawati terlahir dan tercipta untuk turun ke jalan, setiap immawati keren dengan karakter dan potensinya masing-masing, immawati berhak memilih jalan aksi serta cara perlawanannya sendiri. Dari pernyataan tersebut dapat kita sederhanakan bahwa turun aksi dan menyuarakan aspirasi di jalan adalah tugas immawan, tugas bidang hikmah, dan mereka yang mau saja. Pernyataan itu sejalan dengan realita yang tengah kita saksikan bersama.
Jika immawati menjadi pemilih, mungkin kita akan menyaksikan matinya bunga revolusi di jalanan. Sebab mereka yang kerap dianggap menyukai turun ke jalan dan mengangkat suara, sebenarnya sedang melawan ego untuk keluar dari zona yang mereka senangi saja.
Yang perlu kita ingat juga adalah... Turun aksi itu bukan ajang menampakkan kekerenan, tapi berangkat dari hati atas kesadaran dan keresahan. Aksi itu bukan potensi diri tapi tindakan kemanusiaan. Keresahan tidak cukup dengan merasa, tapi diperlukan tindakan. Itulah mengapa Reformasi terjadi, sebab adanya kesatuan rasa juga tindakan dari kaum laki-laki dan perempuan. Hanya saja, Kita tidak pernah memaksa siapapun yang ingin turun, tapi kita perlu mempertanyakan jika pada suatu lembaga besar kita menyaksikan kematian bunga revolusi itu sendiri.
Pertanyaannya, saat ini apa yang puan wati tidak senangi untuk turun aksi? Apakah karena teriknya matahari? Apakah karena kejamnya polusi merusak wajah dan keringat menghapus gincu? Mungkin kita sedang lupa bahwa tindakan adalah interpretasi dari nurani itu sendiri.
Jika dalil pembelaannya adalah mereka punya medan aksi juga potensi yang berbeda, bukti dari aksi lain berupa tulisan apa yang sudah dicipta dari setiap isu? Karya mana yang sudah dipersembahkan untuk melawan? Apakah perubahan akan terjadi jika kita hanya memendam rasa lalu berkata "aku merasa resah dengan itu" (?) Padahal dengan turun minimal wajah bunga revolusi bisa terlihat dan memberikan spirit perjuangan walau hanya dengan memegang spanduk lalu ikut bersorak HIDUP MAHASISWA sambil mengepalkan tangan.
Kita menjadi lemah sebab kita kurang mengakui kelemahan itu sendiri. Kita kurang mengakui jika saat ini bukan hanya eksistensi tapi ruh pergerakan itu kian memudar. Kita meyakini dan mengimani Nilai Dasar tapi Nir-Aktualisasi.
Bunga yang dirindukan, kemana ia hilang? Apakah perubahan pola pikir akan kemerdekaan telah merenggut suara-suara harapan itu? Sudah saatnya bergerak dan beranjak dari beku jiwa untuk perubahan yang selalu di jadikan tujuan.
Tulisan ini dibuat dari nurani, berusaha disingkatkan agar dibaca habis, dan yang menjadi inti bahwa tulisan ini adalah bentuk pengharapan akan kembalinya bunga revolusi yang sama-sama kita rindukan. Atau mungkin, hanya aku yang merindukannya(?)
Billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat
Istiqomah membaca, bergerak, dan melawan.
#Memaknai Makna
Oleh : Nur Ismi Roni