Perkembangan politik mutakhir yang menekankan pada penggunaan data skala besar, untuk kepentingan strategi pemenangan, telah menempatkan data pemilih sebagai instrumen inti dalam pemilu, yang penuh dengan ancaman dan risiko. Lebih jauh, hasil analisis data pribadi pemilih dalam skala besar, tidak hanya dapat digunakan untuk kepentingan politik elektoral, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, termasuk rekayasa sosial dan ekonomi.
Perkembangan teknologi internet telah berdampak besar pada perubahan lanskap pertarungan politik elektoral di seluruh dunia. Lahirnya sejumlah teknologi baru, khususnya media sosial (Web 2.0) dan Big Data telah menghadirkan instrumen baru kampanye politik. Tidak hanya kebijakan yang berbasis data, kampanye politik juga telah berubah menjadi operasi data yang canggih, atau sering disebut sebagai data driven political campaign (Rubinstein, 2014).
Partai politik mulai mengandalkan data untuk memfasilitasi pengambilan sejumlah keputusan, seperti tempat untuk mengadakan rapat umum (kampanye terbuka), wilayah atau konstituen yang harus menjadi fokus kampanye, pesan kampanye tertentu harus difokuskan pada area dan tipe pemilih seperti apa? Bagaimana menargetkan pendukung, pada pemilih yang belum menentukan pilihan, dan yang sebelumnya bukan pendukung? Praktik tersebut dapat kita temukan dalam penyelenggaran pemilu terkini di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, India, Kenya, India, dan Indonesia juga mulai menampakkan kecenderungan serupa.
Kampanye politik berbasis data sesungguhnya bukanlah hal baru, bedanya dalam perkembangan hari ini, ada perubahan pada granularitas data (besaran set data yang digunakan), sebagai kekuatan potensial untuk mempengaruhi atau menekan pemilih. Hal ini mengacu pada corak big data yang menekankan pada “Four Vs”: besarnya data yang dianalisis (volume), beragamnya data (variety), kecepatan produksi data (velocity), dan kedalaman dari nilai data (value) (Kalyvas dan Overly, 2015). Kebutuhan data besar dalam kampanye politik aktual telah berakibat pada kian massifnya praktik penambangan data, dan cenderung intrusif terhadap privasi.
Dalam praktiknya hari ini, penambangan data pemilih setidaknya dapat dilakukan dengan dua cara: mengumpulkan data pemilih yang berasal dari hasil pendaftaran pemilih (voter registration database), yang di Indonesia ditetapkan menjadi daftar pemilih tetap, maupun pengumpulan data yang dilakukan melalui survey secara langsung (door to door); dan data pemilih yang berbasis pada akun media sosial mereka, termasuk di dalamnya data perilaku (behavioral data).
Pengalaman penyelenggaraan pemilu di banyak negara, meperlihatkan perdebatan tak-berkesudahan perihal status daftar pemiilih atau electoral rolls, mengingat sifat dualistik dari data ini. Pada satu sisi daftar pemilih merupakan data terbuka, yang bisa diakses oleh siapa pun, guna menjamin pelaksanaan pemilu yang fair dan akuntabel.
Akan tetapi pada sisi lain, data-data ini juga mengandung konten data pribadi, yang tunduk pada sejumlah prinsip perlindungan data pribadi. Kandungan itu pula yang menjadi pemicu keingingan besar partai politik atau politisi untuk bisa mengakses secara utuh daftar pemilih tetap, yang di dalamnya tersedia nama, usia, dan alamat pemilih. Namun dikarenakan status dualistiknya, terhadap data pemilih telah diterapkan prinsip “terbuka pengawasan dari publik, dengan sejumlah pengecualian” (open to inspection by general public with limited exception).
Merespon situasi tersebut beberapa negara kemudian mencoba untuk melakukan penyelerasan antara UU Pemilu dengan UU Perlindungan Data Pribadi mereka, misalnya di negara-negara Eropa dengan mulai berlakunya EU GDPR (General Data Protection Regulation). Penyelerasan ini khususnya terkait dengan status dari data pemilih, kontennya, serta kewajiban dari partai politik, apakah bertindak sebagai data controller atau data processor? Sementara di Indonesia, selain belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif, juga masih ada problem kontradiksi pengaturan data pemilih, antara UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan UU Pemilu. Pada satu sisi UU Adminduk menyebutkan konten data pemilih adalah bagian dari data pribadi yang harus dilindungi, dan hanya bisa diakses oleh otoritas tertentu (pemerintah) untuk kepentingan layanan publik, sementara UU Pemilu mengatakan Partai Politik bisa mengakses secara utuh data pemilih.
Sedangkan pengumpulan data pemilih yang bersumber dari media sosial, bisa dilakukan baik secara manual atau pun dengan menggunakan skema algoritma tertentu, yang memungkinkan diperolehnya set data pada rentang waktu tertentu, dalam jumlah besar. Melalui media sosial, selain dikumpulkan data pribadi pemilih, misalnya yang terkait dengan umur, alamat, dan pekerjaan pemilih, juga dapat diidentifikasi relasi pertemanan, kekerabatan, dan perilakunya sehari-hari, yang dapat diolah menjadi data perilaku. Praktik ini sendiri merupakan bagian dari data profiling, sebuah langkah pemrosesan otomatis data pribadi, untuk mengevaluasi aspek-aspek pribadi tertentu yang berkaitan dengan seseorang (Pouliou, 2018).
Praktik data profiling dilakukan baik secara langsung atau tidak langsung, dengan target individu maupun kelompok (Valeria Ferraris, et.al., 2013). Di banyak negara, penjulan jasa ini selain diberikan oleh perusahaan-perusahaan konsultan politik, juga banyak dilakukan oleh pialang data (data broker) dan perusahaan analisis data. Kasus Cambridge Analytica di Amerika Serikat, menjadi salah satu contoh dari praktik ini.
Sayangnya memang, detail cara bekerja perusahaan-perusahaan tersebut seringkali tidak jelas, apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya? Akibatnya sulit juga bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan pengaturan secara fair terhadap model bisnis dan kampanye ini. Political Micro Targeting dan Political Behavioral Targeting Mengacu pada hasil analisis data besar, termasuk data profiling, teknologi hari ini memungkinkan kemampuan untuk menawarkan iklan bertarget, berdasarkan informasi pribadi pemilih.
Model kampanye inilah yang disebut sebagai political micro targeting (PMT), sebuah bentuk pemasaran politik dengan menargetkan pesan-pesan yang dipersonalisasi kepada pemilih secara individual, dengan menerapkan teknik pemodelan prediktif ke kumpulan data pemilih dengan skala massif. Selain secara langsung per individu, juga mempertimbangkan sikap pemilih, atau dikenal sebagai political behavioral targeting (PBT). Sebuah pendekatan yang merujuk pada pembuatan profil pemilih berdasarkan perilaku daring, serta penggunaan profil untuk menargetkan pemilih secara individu dengan iklan politik yang disesuaikan pada kecenderungan perilakunya (Borgesius, et.al., 2018, Tom Dobber, et.al., 2017).
Pendekatan ini memungkinkan kampanye politik yang menjangkau kelompok orang yang sangat spesifik, pada waktu dan tempat tertentu, seperti pemilih yang belum menentukan pilihan, atau pemilih di konstituen marjinal. Ini berarti bahwa kampanye dapat secara strategis menghalangi beberapa orang untuk tidak menggunakan hak pilihnya sama sekali (golput), memberikan janji secara lebih persuasif, bahkan dengan menyebarkan informasi yang salah (fake news/hoax), atau menimbulkan ketakutan pada mereka yang paling rentan.
Kampanye politik dengan metode demikian memiliki beberapa keunggulan unik. Tidak seperti poster atau iklan politik yang disiarkan (tv/radio), yang bersifat publik secara default, kampanye politik menggunakan medium digital dengan berbasis data, mampu menampilkan iklan yang berbeda, dan konten yang berbeda untuk orang yang berbeda. Bagi politisi, metode ini memungkinkan para politisi untuk membuat janji-janji yang berbeda atau bahkan klaim yang kontradiktif.
Lebih jauh, sejumlah partai politik di Indonesia berkali-kali menyatakan pentingnya penggunaan data besar sebagai strategi dalam pemenangan Pemilu. Bahkan salah satu pimpinan partai politik telah secara terbuka mengatakan, partainya akan menggunakan strategi micro targeting, dalam penyebaran iklan kampanye kepada calon pemilih.
Problemnya, sampai dengan saat ini penyelenggaraan pemilu di Indonesia, belum mengatur penggunaan strategi micro targeting dalam kampanye pemilu, bahkan political ads yang berbasis pada algoritma belum disinggung dalam peraturan kepemiluan.
Pengaturan kampanye menggunakan media sosial semata-mata hanya terkait dengan penggunaan akun pada platform media sosial, yang persamakan dengan media lainnya (penyiaran). Belum lagi permasalahan centang-perenangnya aturan perlindungan data pribadi, yang berdampak pada makin rentannya potensi eksploitasi data pribadi pemilih, untuk keperluan kampanye politik.
Ancaman lainnya, seperti halnya negara-negara lain yang memiliki sejarah kekerasan politik berbasis etnis, pengumpulan data pribadi secara massif juga akan memiliki risiko besar bagi terulangnya kekerasan. Pengumpulan data tentang etnis atau afiliasi politik, tanpa batasan atau perlindungan yang memadai, akan memberi peluang data tersebut diakses oleh publik, yang dapat berdampak buruk pada terjadinya gesekan politik. Situasi ini diperparah dengan adanya peluang penyebaran informasi rumor/hoaks kepada individu pemilih, dengan konten berbeda-beda satu sama lain.
Merespon potensi ancaman tersebut, perlu langkah simultan yang melibatkan penyelenggara pemilu, pemerintah, perusahaan penyedia platform, juga partai politik. Selain pembentukan dan penyelarasan undang-undang, yang tentu prosesnya butuh waktu lama, mengingat dekatnya waktu penyelenggaraan pemilu, perlu ada kesepakatan diantara para pihak, terkait dengan batasan penggunaan strategi dan teknologi di atas. Penyelenggara pemilu juga perlu melakukan pemantauan secara intensif terhadap praktik-praktik ini, untuk kemudian menyiapkan langkah dan model dalam pengaturan kampanye politik di masa depan.
Artikel Oleh :
Syahril Masngudi
(Kader Pikom IMM Fisip Unismuh Makassar Periode 2022-2023)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar