Minggu, 18 Februari 2024

Gagasan Kritis Pendidikan “Paulo Freire” : “Pembebasan, Pemberdayaan, dan Transformasi Sosial” Dalam Mengatasi Kesenjangan Pendidikan antara Kota dan Desa

Memasuki era Industrialisasi yang banyak kita temukan manusia hari banyak menggunakan produk-produk digitalisasi dalam melakukan kesehariannya mulai dari bekerja, berinterkasi, melakukan kesenangan, hingga melakukan proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar tentu kerap kita jumpai dalam aspek pendidikan, yang dimana pendidikan menjadi sebuah hal yang berperan penting dalam membentuk masyarakat dan juga regenerasi pelanjut estafet kehidupan dalam bernegara. Peran pendidikan dalam hal ini menjadi sebuah hal yang menjadi pucuk kesadaran masyarakat dalam bertindak atau melakukan sesuatu agar mampu melihat realitas sosial, tidak hanya dari sisi tapi juga sisi yang lainnya.

Dalam aspek pendidikan tersebut tentunya terdapat beberapa indikator yang kemudian menjadi acuan yang ditetapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, diantaranya ialah pengembangan keterampilan dan pemahaman yang mendalam terhadap dunia dan juga kesenjangan-kesenjangan yang kerap terjadi dalam sosial bermasyarakat. Paulo Freire salah satu tokoh yang berpengaruh pada masanya mempunyai pandangan tersendiri terhadap pendidikan, beliau mengemukakan bahwa :

“Pendidikan tidak hanya sekedar transaksi ilmu atau mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, tetapi juga pendidikan sebagai konsep kebebasan dalam berekspresi/berpendapat untuk membangun dialektika dalam ruang-ruang diskusi, pendidikan sebagai proses pemberdayaan regenerasi ataupun masyarakat yang mampu membantu sesama manusia dalam bernegara, dan pendidikan sebagai sebuah transformasi sosial yang menjadi sebuah pembaharuan dalam struktur sosial.”

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang dipadukan dengan teknologi, seharusnya semakin dewasa juga manusia. Semakin berkembangnya teknologi maka sarana dan prasarana di Kota dan di Desa semakin terpenuhi guna menunjang aspek pendidikan kita di Indonesia. Namun sangat disayangkan, karena hal tersebut hanya menjadi sebuah cita-cita belaka.

Sarana dan prasarana di kota kian hari kian meningkat, hal ini dapat dibuktikan dengan bagaimana ketersediaan komputer ataupun sarana lainnya yang dapat membantu para siswa dalam meningkatkan potensi dan juga dapat dengan mudah beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hari ini. Selain itu, infrastruktur yang menunjang pendidikan di kota juga semakin diperbaharui guna memberikan kenyamanan kepada siswa ataupun murid dalam melakukan proses pembelajaran. Di Desa, ketersediaan sarana dan prasarana sangat jauh berbeda dengan apa yang didapatkan di kota. Di beberapa desa yang terdapat di Indonesia, banyak kita jumpai siswa yang kemudian masih menggunakan alat seadanya dalam melakukan proses belajar mengajar, hal ini menandakan bahwa dalam meraut pendidikan di Desa masih sangat minim untuk mampu bisa bersaing dengan siswa-siswa yang ada di kota, karena ketersediaan fasilitas yang menunjang potensi siswa tidak terpenuhi dengan baik. Bahkan untuk mampu beradaptasi dengan era hari ini mereka harus tertinggal jauh dalam melihat bagaimana kecanggihan dunia pendidikan hari ini. Tidak hanya itu, alokasi dana untuk biaya pendidikan tidak sebanding dengan yang ada di Kota.

Padahal ketika kita melihat bagaimana keadaan pendidikan di Desa sangat memprihatinkan dan harus menjadi perhatian khusus dari pemerintah. Selain ketersediaan sarana dan prasarana yang tidak memadai, infrastruktur bangunan juga masih sangat jauh dari kata nyaman bagi para siswa untuk melakukan proses pembelajaran, jalanan juga yang kemudian masih menjadi kendala bagi siswa-siswi untuk mendapatkan pendidikan. Masih banyak kita jumpai siswa/siswa yang masih kerap menyebrangi sungai dan bagaimana infrastruktur jalan yang sangat kurang layak untuk mampu menunjang keefisienan siswa untuk sampai ke tempat mereka belajar. Tentunya ini bukan lagi menjadi hal yang baru bagi kita hari ini.

Aspek kurikulum dan juga bahan ajar yang disuguhkan dalam dunia pendidikan hari ini berupaya menghantarkan generasi hari ini untuk berupaya menjadi tenaga kerja dalam dunia-dunia industri dan dalam tatanan pemerintahan yang hanya patuh dan tunduk kepada atasan dan dibatasi untuk memberikan saran dan inovasi terhadap kekurangan yang didapatkan dalam ruang-ruang atau sektor pemerintahan yang menjadi peran penting dalam kemajuan bangsa dan negara ini. Tapi bagaimana kurikulum hari ini mampu membuat generasi menyentuh bagaimana kemalangan yang dirasakan oleh masyarakat-masyarakat yang terpinggirkan atas dalih kemajuan negara.

Yang menjadi problematika hari ini juga adalah dalam laporan riset Central Connecticut State University di 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah. Sedangkan data statistik dari The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan minat baca masyarakat Indonesia, sangatlah memprihatinkan yaitu hanya 0,001%. Harusnya inilah yang menjadi fokus utama pendidikan di Indonesia hari ini. Hal ini juga menandakan hanya ada sekian persen orang Indonesia yang rajin membaca dari masyarakat di negeri ini. Mengapa demikian karena Kurangnya literasi dan kesenjangan teknologi informasi di masyarakat desa sehingga rendahnya minat baca dan kurangnya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di desa. Faktor lainnya adalah pengaruh dari perkembangan teknologi informasi elektronik yang canggih, sehingga buku tidak lagi menjadi media utama untuk mendapatkan informasi yang diharapkan. Situs mesin pencari daring dan media sosial dianggap lebih mudah dan praktis, sehingga melunturkan minat literasi masyarakat dan mendorong mereka untuk beralih menggunakan teknologi yang serba instan dan cepat.

Dengan kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan serta minimnya literasi di Indonesia memerlukan solusi yang komprehensif untuk meningkatkan regenerasi dan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Seperti halnya meningkatan Sarana dan Prasarana Pendidikan Pemerintah perlu memprioritaskan alokasi anggaran untuk memperbaiki dan memperluas sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah tertinggal, termasuk memperbaiki gedung sekolah, menyediakan bahan ajar yang memadai, serta memperbaiki aksesibilitas tempat belajar. Dan Mendorong budaya literasi melalui program-program pemerintah dan inisiatif masyarakat, seperti membangun perpustakaan yang memadai dan memfasilitasi akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas. Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan literasi, seperti memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi yang akurat dan mempromosikan budaya membaca.

Pendidikan harusnya menjadi sebuah wadah untuk bagaimana mampu mengasah nalar kritis dan juga menciptakan regenerasi yang memberikan inovasi dan juga pembaharuan sesuai dengan zaman hari ini dalam melihat ketimpangan-ketimpangan sosial, dan dalam mengatasi kesenjangan pendidikan yang ada di Kota dan Juga di Desa. Generasi hari ini tidak hanya hadir sebagai penikmat, tetapi juga sebagai agen pendorong sinergitas pendidikan, agen pembebasan atas ketimpangan dan kesenjangan sosial, agen pemberdayaan terhadap seluruh masyarakat dan juga sebagai agen transformasi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



Oleh :

Sulfika

Sekretaris Devisi Kajian Kebangsaan SKB X

Departemen Bidang IMMawati



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...