Konsep mengenai gender masih dianggap tabu dan jarang dibicarakan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini menyebabkan kesalahan pemahaman tentang gender yang sering terjadi disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan tentang isu tersebut. Artikel dalam website Kemenpppa yang terbit tahun 2018 menyatakan bahwa masyarakat masih menyalah artikan gender dengan jenis kelamin. Kesalahpahaman tersebut membuat gender menjadi suatu bahasan dengan konteks yang kurang tepat sehingga dianggap tabu atau bahkan tidak penting. Lisnawati (2021) mengungkapkan, kesalahpahaman yang terjadi ini dapat mengakibatkan terjadinya ketidakadilan gender, untuk meminimalisirnya haruslah dipahami terlebih dahulu bahwasanya gender merujuk pada kelompok atribut perilaku yang dibentuk secara sosial yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan atau kultural. Namun sebaliknya gender tidak akan menjadi suatu masalah apabila terjadi sebuah kesepakatan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian tugas dan kedua belah pihak tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk berkegiatan dan memenuhi kebutuhan bermasyarakat dan mengembangkan diri (Wiasti, 2017).
Konsep ketidakadilan gender sering dikaitkan dengan konstruksi peran pihak laki-laki dan perempuan dalam sistem masyarakat, yang kemudian meluas dan berkaitan dengan relasi yang terjadi diantara kedua belah pihak. Ketimpangan relasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan inilah yang menyebabkan sebuah hubungan yang disebut subordinatif. Adji (2016) mengungkapkan ketimpangan ini terjadi karena adanya sistem patriarki dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem ini tidak digambarkan sebagai hubungan yang mandiri, dimana identitas perempuan akan ditempelkan dengan identitas laki-laki sehingga perempuan hanya hadir sebagai pelengkap laki-laki. Sistem patriarki tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat mendeskripsikan identitas dirinya sendiri. Selain itu pihak laki-laki selalu menjadi ukuran dan standar bagaimana kodrat perempuan dapat didefinisikan dan ditentukan, bukan dari ukuran kualitas yang dimiliki perempuan itu sendiri. Sejalan dengan yang diungkapkan Priyatna dalam Adji (2016) yang menyatakan pandangan mengenai sistem patriarki ini telah membawa konsekuensi bahwa konsep mengenai perempuan hanyalah pantulan dari konsep laki-laki yang menjadi diri.
Ketidakadilan gender terjadi dalam berbagai bentuk. Kekerasan merupakan salah satu dari bentuk ketidakadilan gender dan dapat terjadi kepada laki-laki atau perempuan. Merujuk data dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2022, mencatat
338.496 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Angka ini meningkat dari tahun 2021 sebesar 80%. Kekerasan juga tidak jarang terjadi pada laki-laki, studi yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada tahun 2020 menunjukkan kekerasan seksual terjadi 33% pada laki-laki dan 67% pada perempuan. Walaupun kekerasan seksual dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, melalui data tersebut dapat dilihat perempuan menjadi korban terbanyak di Indonesia.
Novel Little Women karya Louisa May Alcott adalah Novel yang mengangkat isu tentang perjuangan perempuan dalam mewujudkan mimpi dan cita-citanya. Novel ini juga menggambarkan permasalahan perempuan yang terjadi pada abad ke-19. Pada masa itu budaya Amerika masih menjadi problematik bagi perempuan karena memengaruhi cara berpakaian, status sosial dan kental akan budaya patriarki. Pada masa itu kesetaraan gender masih merupakan hal yang sangat sensitif dibicarakan di kalangan masyarakat. Perempuan masih memiliki peran dan kesempatan yang terbatas dibandingkan laki-laki. Perempuan terjebak dalam kontekstual yang tumbuh dari budaya dan lingkungan, sehingga hal tersebut menyebabkan adanya cara pandang masyarakat yang berbeda antara seorang perempuan dan laki-laki. Pandangan ini juga yang melahirkan sebuah konstruksi yang banyak menyudutkan pihak perempuan.
Gambaran ketidakadilan gender dalam novel Little Women karya Louisa May Alcott yaitu sebagai berikut:
1. Subordinasi merupakan anggapan bahwa perempuan tidak rasional dan emosional sehingga tidak bisa tampil memimpin sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
2. Stereotip Gender Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotip yang terjadi merupakan bentuk dari konstruksi sosial dan budaya masyarakat yang terus turun menurun. Dalam hal ini stereotip gender seringkali bersifat negatif dan merugikan satu pihak, baik itu pihak laki-laki maupun perempuan. Dalam novel Little Women karya Louisa May Alcott digambarkan beberapa stereotip yang ditempelkan pada perempuan. Stereotip gender ini muncul dari anggapan bahwa perempuan tidak boleh berpenampilan atau bersikap seperti laki-laki.
3. Kekerasan Umniyyah (2021) berpendapat bahwa kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender yang disebut gender-related violence.
Melalui novel ini, pembaca dapat memahami dinamika kehidupan perempuan pada masa tersebut dan relevansinya dengan isu-isu kesetaraan gender yang masih relevan hingga saat ini. Dalam novel ini, tokoh perempuan ditampilkan sebagai kuat dan berpikir mandiri, serta menunjukkan kehangatan keluarga dengan saling menyayangi satu sama lain. Oleh karena itu, novel “Little Women” dapat dianggap sebagai karya yang relevan dalam konteks feminisme dan perjuangan perempuan abad ke-19. Dalam konteks Revolusi 2024, novel ini dapat menjadi inspirasi bagi perempuan untuk terus berjuang dalam mencapai kesetaraan gender dan mengatasi ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat.
Oleh :
Nurul Atika
Unit Advokasi Media SKI Jilid VIII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar