Kamis, 06 Juni 2024

Mahkamah Agung Putuskan Batas Usia Pilkada: Sarat Kepentingan Politik atau Kesempatan untuk Generasi Muda?

 


Kontroversi mengenai putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas usia calon kepala daerah menjadi perbincangan hangat di tengah persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Keputusan ini disebut-sebut sebagai titik awal menuju dinasti otokratik dan juga dianggap sebagai peluang bagi generasi muda untuk berkiprah di panggung politik.

Kontroversi bermula ketika putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, menyatakan niatnya untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun, kendala muncul karena usianya yang belum memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pilkada, yakni minimal 30 tahun. Kepentingan politik mulai terasa kuat ketika MA memberikan keputusan yang memperbolehkan Kaesang untuk mencalonkan diri, meskipun usianya baru 28 tahun.

Para kritikus menilai keputusan MA ini sebagai indikasi nyata dari adanya dinasti otokratik yang mulai terbentuk di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa pengecualian yang dibuat untuk Kaesang merupakan bukti konkrit bahwa kekuasaan politik semakin terkonsolidasi dalam satu keluarga. Dinasti otokratik, dengan segala potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dimilikinya, mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dalam proses politik di Indonesia.

Polemik terkait batas usia calon kepala daerah semakin memanas setelah Mahkamah Agung (MA) mengubah ketentuan yang telah berlaku. Sebelumnya, syarat usia untuk calon kepala daerah adalah minimal 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun untuk tingkat kota/kabupaten, terhitung sejak penetapan pasangan calon pada 22 September 2024. Namun, putusan MA mengubah waktu perhitungan menjadi "terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih," yang kemungkinan akan berlangsung pada awal tahun 2025.

Dalam pandangan akhir, keputusan akhir mengenai batas usia dan waktu perhitungan untuk calon kepala daerah akan memberikan arah yang jelas bagi masa depan politik Indonesia. Keputusan ini tidak hanya akan mempengaruhi Pilkada DKI Jakarta, tetapi juga akan membentuk citra demokrasi dan keadilan dalam proses politik di seluruh tanah air.

Oleh :

Maulidya Muqarramah 
(Kader KOPI Jilid III & Kader PIKOM IMM FISIP)

 

Selasa, 04 Juni 2024

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran: Upaya Pembaruan atau Pembungkaman Suara Rakyat?

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran tahun 2024 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang signifikan. Latar belakang dari percepatan pembahasan RUU ini disebabkan oleh semakin mendesaknya kebutuhan akan sebuah regulasi penyiaran yang baru, yang mampu mengakomodasi perkembangan pesat dalam teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan pola konsumsi media oleh masyarakat. UU baru ini diyakini akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan lembaga penyiaran, sekaligus menciptakan iklim penyiaran yang lebih sehat dan berintegritas di tanah air.

Komisi I DPR RI, yang bertanggung jawab atas urusan penyiaran, berkomitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU Penyiaran dalam waktu yang singkat. Hal ini dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul dari regulasi yang ada, yang dianggap sudah tidak lagi memadai dalam menghadapi tantangan zaman. Percepatan pembahasan ini juga didorong oleh kebutuhan untuk melindungi masyarakat dari konten-konten penyiaran yang tidak sesuai dengan norma dan nilai budaya Indonesia, serta untuk memperkuat sanksi terhadap pelanggaran regulasi penyiaran.

Namun, beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran 2024 memicu penolakan dari berbagai kalangan, termasuk Dewan Pers dan konstituennya. Mereka menilai bahwa beberapa ketentuan dalam RUU ini akan tumpang tindih dengan undang-undang lain yang mengatur pers dan penyiaran, serta berpotensi mengekang kebebasan pers. Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah pilar dasar dalam negara demokrasi, dan adanya regulasi yang dianggap membatasi hal tersebut menimbulkan kekhawatiran serius.

Beberapa pasal yang kontroversi dari RUU Penyiaran ini antara lain:

• Pasal 42 ayat 2 menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Pasal ini tumpang tindih dengan UU Pers 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers.

Berikut bunyi pasal 42 ayat 2: "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

• Pasal 50 B ayat 2 huruf (c)

Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) memuat aturan melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c):

"Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi;

• Pasal 50B ayat 2 huruf (k)

Pasal 50B ayat 2 huruf (k) mengatur soal larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Seperti di UU ITE, pasal yang memuat istilah pencemaran nama baik dianggap sebagai "pasal karet” dan membatasi kebebasan pers.

Berikut bunyi Pasal 50B ayat 2 huruf (k):

"Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme."

• Pasal 51 huruf E

Pasal 51 huruf E juga kontroversial lantaran RUU Penyiaran 2024 mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan. Pasal ini juga tumpang tindih dengan UU Pers 1999.

Berikut bunyi pasal Pasal 51 huruf E:

"Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Kekhawatiran lainnya adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam penerapan regulasi yang ketat. Beberapa pihak menilai bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat digunakan sebagai alat untuk menyensor kritik terhadap pemerintah dan mengurangi ruang bagi media independen untuk beroperasi secara bebas. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara kebutuhan untuk mengatur penyiaran dengan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Dengan latar belakang tersebut, pembahasan RUU Penyiaran 2024 menjadi sangat penting dan perlu mendapat perhatian dari berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat membuka ruang dialog yang luas dengan masyarakat, akademisi, praktisi media, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa RUU ini dapat memberikan manfaat maksimal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Proses ini juga diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang komprehensif dan adaptif terhadap perkembangan zaman, serta mampu melindungi kepentingan publik secara adil dan proporsional.

Dalam hal ini, kami menegaskan bahwa RUU Penyusunan yang tengah disusun oleh DPR Indonesia berpotensi mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, kami merekomendasikan penundaan pembahasan RUU Penyuaran dan revisi RUU Penyuaran untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan yang berpotensi mengancam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berekspresi.

Oleh :

Melisa Zul Fitry

Direktur Kajian Komunitas Pecinta Ilmu (KOPI) PK IMM FISIP UNISMUH MAKASSAR



Minggu, 02 Juni 2024

Pesan Khusus Direktur Komunitas Pencinta Ilmu Menyampaikan di Hari Pancasila

Makassar, 1 Juni 2024 - Dalam rangka memperingati Hari Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni, Direktur Komunitas Pencinta Ilmu, Abdurrahman Fathir Al Mubarak menyampaikan pesan khusus kepada seluruh anggota komunitas dan masyarakat indonesia. Hari Pancasila merupakan moment penting untuk mengingat dan mendalami nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi negara Indonesia.

Dalam pernyataannya, Abdurrahman Fathir Al Mubaraq menegaskan pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. "Pancasila adalah tonggak yang mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pedoman bagi kita semua dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," ujarnya.

Direktur Komunitas Pecinta Ilmu, Abdurrahman Fathir Al Mubaraq juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kegiatan sehari-hari, terutama dalam upaya menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. "Sebagai komunitas yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pengetahuan yang kita bagikan selalu dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila, seperti gotong royong, keadilan sosial, dan kemanusiaan," tambahnya.

"Semoga dengan memperingati Hari Pancasila, kita semua semakin sadar akan pentingnya mengamalkan nilai-nilai cita luhur Pancasila dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Mari kita bersama-sama membangun dan menjaga persatuan serta kesatuan bangsa demi Indonesia yang lebih maju dan sejahtera dimasa yang akan datang," tutup Abdurrahman Fathir Al Mubaraq.


Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...