Feminisme sebagai Gerakan moral dan sosial modern, sehingga Feminisme telah berkembang dari sebuahwacana kritik sosial menjadi gerakan moral dan sosialyang mendunia. Sebagai sebuah gerakan, feminismetidak lagi hanya berbicara tentang perjuanganperempuan untuk memperoleh hak pilih atau aksespendidikan, melainkan telah menjadi representasiperjuangan melawan ketidakadilan struktural dalammasyarakat. Feminisme hadir sebagai bentuk responsatas dominasi patriarki yang menempatkan perempuansebagai subordinat dalam hampir seluruh linikehidupan—politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkandalam konteks moral.
Akar moral dalam Gerakan feminisme dapat terlihatdari segi secara moral, feminisme mendasarkandirinya pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Feminismebukan sekadar gerakan politis, tetapi juga merupakanpanggilan etis untuk menolak ketimpangan yang disebabkan oleh bias gender. Nilai-nilai yang diperjuangkan feminisme seperti kesetaraan hak, kebebasan memilih, serta penghargaan terhadap tubuhdan keputusan perempuan mencerminkan upaya untukmenegakkan etika kemanusiaan universal. Oleh karenaitu, feminisme tidak hanya relevan bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki dan seluruh masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebebasan.
Feminisme moral menantang norma-norma sosialyang membenarkan kekuasaan laki-laki atasperempuan, termasuk dalam ranah domestik dan spiritual. Di dalam rumah tangga, perempuan seringdiharapkan tunduk dan patuh tanpa syarat, sementarasuara serta kebutuhannya tidak selalu diakui. Dalam banyak komunitas religius, interpretasi teks suciseringkali bias gender dan digunakan untukmembenarkan kontrol laki-laki terhadap perempuan. Di sinilah feminisme hadir untuk menawarkanpembacaan ulang nilai-nilai spiritual dan etika yang lebih adil dan inklusif terhadap semua gender.
Transformasi menjadi gerakan sosial global dimanaSejak pertengahan abad ke-20, feminisme mengalamitransformasi besar. Gelombang kedua feminisme yang muncul pada 1960-an dan 1970-an memperluas fokusgerakan dari hak-hak legal dan politik menjadi isu-isuyang lebih luas seperti hak reproduksi, kekerasanterhadap perempuan, ketidakadilan dalam dunia kerja, dan representasi perempuan dalam media. Feminismekemudian berkembang sebagai gerakan sosial modern yang menuntut perubahan struktural dan budaya.
Dalam kerangka sosial, feminisme berperan pentingdalam membentuk kesadaran publik terhadapketimpangan yang sebelumnya dianggap “normal”. Misalnya, dalam dunia kerja, feminisme mendorongperubahan terhadap ketimpangan upah antara laki-lakidan perempuan, serta kampanye melawan pelecehanseksual di tempat kerja. Kampanye seperti #MeToo menjadi bukti nyata bahwa feminisme mampumenyuarakan kebenaran secara kolektif dan menggugat sistem sosial yang tidak adil.
Feminisme sosial juga mendorong lahirnya kebijakanpublik yang lebih berpihak pada keadilan gender. Di banyak negara, muncul kebijakan cuti melahirkanyang lebih adil, perlindungan hukum terhadap korban kekerasan berbasis gender, dan kuota representasipolitik bagi perempuan. Di Indonesia sendiri, keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi salah satu bentukkeberhasilan feminisme dalam mengarusutamakan isugender dalam kebijakan negara.
Feminisme dan Interseksionalitas dalamperkembangannya, merupakan feminisme modern mengadopsi pendekatan interseksionalitas, yang memandang bahwa ketidakadilan gender tidak bisadipisahkan dari bentuk-bentuk ketidakadilan lain seperti ras, kelas, orientasi seksual, dan disabilitas. Seorang perempuan kulit hitam yang miskin akanmengalami bentuk diskriminasi yang berbedadibanding perempuan kulit putih dari kelas atas. Oleh karena itu, feminisme tidak lagi berbicara dalamkerangka tunggal, melainkan menyesuaikanpendekatannya berdasarkan konteks sosial dan budayayang lebih luas.
Pendekatan ini memperkuat feminisme sebagaigerakan sosial modern karena ia mampu menjangkaukelompok-kelompok marjinal lainnya. Di Indonesia, misalnya, feminisme interseksional mendorongpembelaan terhadap buruh perempuan, perempuanadat, perempuan penyintas kekerasan, dan komunitasLGBTQ+. Hal ini membuktikan bahwa feminismetelah berevolusi menjadi gerakan yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Feminisme dan tantangan modern seringkali kitadapati, Namun demikian feminisme sebagai gerakanmoral dan sosial juga menghadapi berbagai tantangandi era modern. Di satu sisi, muncul resistensi darikelompok konservatif yang menuduh feminismesebagai gerakan barat yang mengancam nilai-nilailokal dan agama. Di sisi lain, feminisme kerapdireduksi menjadi tren populer tanpa substansi, terutama di media sosial. Banyak istilah seperti“feminist” atau “girl power” yang digunakan secarakomersial tanpa pemahaman mendalam terhadapperjuangan yang melatarinya.
Feminisme juga harus berhadapan dengan bentuk-bentuk baru penindasan gender di era digital, seperticyber harassment, body shaming, atau eksploitasitubuh perempuan di media daring. Ini menuntutfeminisme untuk terus memperbarui strategi dan metode perjuangannya agar tetap relevan dan efektif
“Kalian harus paham bahawa Feminisme itu sebagaigerakan moral dan sosial modern telah memberikankontribusi signifikan dalam menciptakan masyarakatyang lebih adil, setara, dan manusiawi. Ia tidak hanyamemperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi juga mendobrak sistem sosial yang menindas secarastruktural. Dengan fondasi moral yang kuat dan jangkauan sosial yang luas, feminisme menjadi alatperubahan yang tidak hanya penting, tetapi juga sangatmendesak dalam menghadapi berbagai bentukketidakadilan di dunia kontemporer. Feminisme hariini bukan sekadar wacana, melainkan kekuatan moral dan sosial yang terus mendorong dunia ke arahtransformasi yang lebih inklusif dan bermartabat.”
Tokoh-Tokoh Feminisme dan Warisan PemikiranMereka
Feminisme merupakan gerakan sosial dan ideologiyang memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut kesetaraan gender dalam berbagai aspekkehidupan. Perjalanan feminisme tidak lepas darikontribusi pemikiran dan aksi tokoh-tokoh pentingyang meletakkan dasar teoretis dan praksis perjuanganperempuan. Mereka datang dari berbagai latarbelakang budaya, sosial, dan politik, namun memilikikesamaan dalam tekad melawan ketidakadilan dan dominasi patriarki yang telah lama menindasperempuan.
Salah satu tokoh awal yang sangat berpengaruh dalamsejarah feminisme adalah Mary Wollstonecraft. Melalui karyanya A Vindication of the Rights of Woman yang diterbitkan pada tahun 1792, iamenyuarakan pentingnya pendidikan sebagai saranautama untuk membebaskan perempuan dariketerbelakangan sosial. Wollstonecraft menegaskanbahwa perempuan bukanlah makhluk yang inferior secara alami, melainkan dikondisikan oleh masyarakatyang menolak mereka memperoleh pendidikan dan kebebasan berpikir. Ia percaya bahwa pendidikan yang setara akan memungkinkan perempuan menjadipasangan yang setara dalam rumah tangga, ibu yang bijak, serta warga negara yang aktif. Gagasan radikalini menjadi pijakan awal bagi gerakan feminismemodern yang kemudian berkembang dalam berbagaibentuk dan arah.
Di abad ke-20, pemikiran feminis berkembang pesatseiring dengan munculnya pemikir-pemikir besarseperti Simone de Beauvoir. Lewat bukunya yang berjudul Le Deuxième Sexe (The Second Sex), iamelahirkan gagasan terkenal: “One is not born, but rather becomes, a woman.” Ia menolak pandanganesensialis tentang perempuan dan menekankan bahwaidentitas gender merupakan hasil konstruksi sosial. Perempuan, menurutnya, telah lama ditempatkansebagai “yang lain” dalam sistem patriarkal yang menjadikan laki-laki sebagai standar kebenaran dan nilai. Melalui analisis eksistensialis dan fenomenologis, de Beauvoir membongkarketimpangan sosial dan psikologis yang dihadapiperempuan. Karyanya menjadi inspirasi utama bagifeminisme gelombang kedua yang menyorotipersoalan tubuh, seksualitas, dan pengalamanperempuan dalam relasi sosial yang timpang.
Di Amerika Serikat, Betty Friedan menjadi motor penting dalam pengembangan feminisme di era 1960-an. Dalam bukunya The Feminine Mystique, iamenggambarkan kegelisahan kaum perempuan kelasmenengah yang merasa terjebak dalam peran domestiksebagai istri dan ibu rumah tangga, tanpa ruang untukmengembangkan potensi diri di bidang intelektual dan profesional. Friedan menyebut kondisi ini sebagai“masalah yang tidak disebutkan”, karena pada saat ituperempuan didorong untuk mencari kebahagiaanhanya dalam kehidupan rumah tangga, sementaraaspirasi pribadinya diabaikan. Ia mendirikan National Organization for Women (NOW) yang memperjuangkan kesetaraan upah, hak kerja, aksespendidikan, serta kebebasan reproduksi. Friedan menyuarakan perlunya perubahan struktural dalammasyarakat untuk memberikan ruang yang adil bagiperempuan.
Sementara itu, di Indonesia, sosok Raden Ajeng Kartini menjadi pelopor penting dalam perjuanganemansipasi perempuan. Kartini menggugatketimpangan yang dihadapi perempuan Jawa yang dibatasi ruang geraknya oleh adat, patriarki, dan budaya pingitan. Melalui surat-suratnya yang kemudian dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyuarakan pentingnyapendidikan bagi perempuan agar dapat berpikirmerdeka dan mandiri. Ia tidak hanya menginginkankesetaraan dalam arti formal, tetapi juga perubahandalam cara berpikir masyarakat terhadap peranperempuan. Cita-citanya untuk mendirikan sekolahbagi perempuan berhasil terwujud, dan warisannyamenjadi tonggak awal gerakan perempuan Indonesia. Kontribusinya menjadi simbol perjuangan perempuanpribumi melawan ketidakadilan sistemik dan membuka jalan bagi lahirnya organisasi-organisasiperempuan seperti Aisyiyah dan Putri Mardika pada awal abad ke-20.
Tokoh feminis lainnya seperti Germaine Greer dariAustralia dan Audre Lorde dari Amerika Serikat turutmemperkaya wacana feminisme global. Greer melaluiThe Female Eunuch menekankan pentingnyapembebasan tubuh perempuan dari kontrol sosial, agama, dan negara. Ia mendobrak pandangantradisional tentang feminitas dan mendorongperempuan untuk merayakan kebebasan seksual dan otonomi tubuh. Sementara itu, Audre Lorde, seorangpenyair dan aktivis kulit hitam lesbian, memperkenalkan konsep interseksionalitas yang sangat penting dalam memahami bahwa penindasanterhadap perempuan tidak bisa dilihat dari satu sisisaja. Lorde mengkritik feminisme arus utama yang terlalu berfokus pada pengalaman perempuan kulitputih kelas menengah dan mengabaikan kompleksitasras, kelas sosial, dan orientasi seksual. Ia menuntutagar feminisme menjadi gerakan yang benar-benarinklusif dan representatif bagi semua perempuan, terutama yang termarjinalkan.
Warisan pemikiran para tokoh feminis ini telahmembentuk fondasi teoretis dan praksis feminismehingga saat ini. Feminisme tidak lagi semata menjadiwacana elitis atau gerakan pinggiran, tetapi telahmasuk ke ruang-ruang kebijakan, hukum, pendidikan, dan media. Isu-isu seperti kekerasan berbasis gender, ketimpangan ekonomi, diskriminasi dalam pekerjaan, hingga keterwakilan politik perempuan menjadiperhatian global yang terus diperjuangkan oleh para aktivis feminis lintas generasi.
Di Indonesia sendiri, pemikiran para tokoh feminismasa lalu dilanjutkan oleh akademisi dan aktiviskontemporer seperti Gadis Arivia, Mariana Amiruddin, dan komunitas seperti Jurnal Perempuan. Mereka mendorong pengarusutamaan gender dalamkebijakan publik, pendidikan kritis di kampus-kampus, serta membangun kesadaran kolektif mengenaipentingnya memperjuangkan keadilan gender dalamkehidupan sehari-hari.
Dengan memahami dan mengapresiasi pemikirantokoh-tokoh feminisme, kita dapat menelusuri jejakpanjang perjuangan perempuan dalammemperjuangkan martabat dan kesetaraan. Warisanmereka bukan sekadar teori di atas kertas, melainkanfondasi kokoh yang dapat menginspirasi gerakanfeminis masa kini dan masa depan. Gerakan ini masihterus relevan dalam menghadapi tantangan baru—baikdi ruang domestik maupun publik—dan mengajak kitasemua untuk menjadi bagian dari perubahan
Berikut;
Salah satu figur paling menonjol dalam sejarahperjuangan perempuan Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini, seorang bangsawan Jawa yang melalui surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Eropa denganpenuh keberanian mengungkapkan ketidakadilansosial dan gender yang dialami oleh perempuanpribumi, khususnya dalam hal akses terhadappendidikan. Walaupun Kartini tidak terjun langsungdalam medan perang atau mengangkat senjatamelawan penjajah, namun gagasan-gagasannya yang revolusioner mengenai emansipasi dan pemberdayaanperempuan menjadi fondasi penting yang menginspirasi gerakan-gerakan perempuan di masa berikutnya untuk menuntut hak-haknya secara lebihterbuka dan tegas.
Perjuangan perempuan Indonesia dalam menentangketidakadilan dan penjajahan tentu tidak hanya datangdari Kartini saja. Di berbagai daerah, muncul pula tokoh-tokoh perempuan luar biasa seperti Rohana Kudus dari Minangkabau yang dikenal karenadedikasinya dalam dunia pers dan pendidikan, sertapahlawan-pahlawan dari Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia yang bahkan turun langsung kemedan tempur dan memimpin pasukan melawanpenjajah. Perempuan-perempuan ini membuktikanbahwa semangat juang dan nasionalisme tidakmengenal batas gender, dan bahwa mereka mampumemainkan peran kepemimpinan yang strategis dalamperjuangan kemerdekaan.
Memasuki abad ke-20, semangat perjuanganperempuan Indonesia mulai mengambil bentuk yang lebih terorganisir dan terstruktur. Mereka mulaimembentuk serta bergabung dalam berbagai organisasiperempuan seperti Aisyiyah, Sarekat Islam Wanita, dan Poetri Mardika, yang tidak hanya bergerak di bidang sosial dan pendidikan, tetapi juga mulaimenyuarakan aspirasi politik. Melalui organisasi-organisasi ini, perempuan mulai membangunkesadaran kolektif mengenai pentingnya partisipasiaktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sertamendorong perubahan kebijakan yang lebih adil dan setara.
Puncak dari kesadaran kolektif perempuan Indonesia pada masa pra-kemerdekaan ditandai denganpenyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tahun 1928. Dalam kongres bersejarahini, perempuan-perempuan dari berbagai latarbelakang etnis, agama, dan organisasi berkumpuluntuk bersama-sama membahas isu-isu penting sepertipendidikan perempuan, kesehatan ibu dan anak, sertapernikahan yang adil dan setara. Kongres ini menjadisimbol kebangkitan kesadaran politik perempuanIndonesia dan menegaskan bahwa mereka memilikikemampuan serta keinginan kuat untuk ikut sertasecara aktif dalam proses pembangunan bangsa.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, perjuangan perempuan tidak serta-merta berakhir. Selama masa revolusi fisik, banyak perempuan yang ikut serta dalam perjuangan bersenjata, menjadi kurirrahasia, penyelamat sandera, hingga tenaga medisyang melayani para pejuang. Namun sayangnya, pascakemerdekaan, perempuan kembali dihadapkanpada tekanan sistemik yang mendorong mereka untukkembali ke peran tradisional sebagai “ibu bangsa” yang aktivitasnya terbatas di ranah domestik. Negara, melalui berbagai kebijakan, cenderung mengabaikanpotensi perempuan di sektor publik dan pembangunan.
Namun, ketika memasuki era Orde Baru, tantanganbaru muncul dalam bentuk pengendalian dan domestikasi peran perempuan oleh negara. Melaluipembentukan organisasi-organisasi seperti Dharma Wanita dan PKK, pemerintah terlihat seolahmendukung pemberdayaan perempuan, namunsebenarnya memposisikan mereka hanya sebagaipendamping suami yang bertugas mengurus rumahtangga dan anak-anak. Narasi dominan saat itumenekan kebebasan perempuan untuk berpartisipasidalam aktivisme sosial maupun politik yang lebihkritis terhadap kebijakan negara.
Gerakan perempuan yang progresif dan kritis, sepertiGerwani, mengalami pembubaran paksa dan pelabelannegatif yang sangat merugikan. Rezim Orde Barudengan sengaja membungkam ruang berekspresi bagiperempuan, sehingga suara-suara alternatif nyaris takterdengar di ruang publik. Meskipun begitu, sebagiankelompok perempuan tidak tinggal diam dan tetapbergerak melalui jalur-jalur informal, seperti LSM, komunitas lokal, dan forum-forum diskusi akar rumputyang berani mempertanyakan ketidakadilan gender secara diam-diam.
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 membawa angin segar bagi gerakan perempuan. Demokratisasi membuka ruang kebebasan yang lebihluas, memungkinkan perempuan kembali aktif dalamberbagai sektor kehidupan, termasuk dalam parlemen, bidang hukum, dunia pendidikan, dan organisasimasyarakat sipil. Salah satu pencapaian penting dalamera reformasi adalah pengesahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalamRumah Tangga. Undang-undang ini menjadi tonggakhukum yang sangat penting karena secara resminegara mengakui bahwa kekerasan domestik adalahpelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan perempuan berhak atas perlindungan serta keadilan di ranah domestik yang selama ini kerap diabaikan.
Selain itu, pemerintah juga mulai menerapkankebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalamlembaga legislatif sebagai bentuk afirmasi terhadapketimpangan representasi yang selama ini terjadi. Di luar struktur resmi kenegaraan, perempuan-perempuandi berbagai pelosok tanah air juga mulai membentukgerakan sosial berbasis komunitas yang fokus pada isu-isu lokal seperti hak atas tanah, kelestarianlingkungan, kesehatan reproduksi, dan pelestarianbudaya.
Dengan menelusuri seluruh perjalanan ini, tampakjelas bahwa semangat dan daya juang perempuanIndonesia tidak pernah padam, bahkan ketika merekaditekan atau disingkirkan dari sejarah resmi. Dari gagasan Kartini yang visioner, perjuangan bersenjatapara pahlawan perempuan, hingga aktivisme modern di ranah digital dan kebijakan, semuanyamenunjukkan bahwa perempuan bukan hanyapelengkap dalam sejarah bangsa, tetapi merupakanpenggerak utama yang memiliki kontribusifundamental dalam proses pembentukan identitas dan kemajuan Indonesia.
Feminisme dan Perubahan Sosial: Sejarah dan aplikasinya dalam kehidupan Modern
Oleh: Musliyani (Kordinator Unit Edukasi LiterasiSKI VIII)
Meskipun feminisme adalah gerakan yang sudahtua, namun baru tahun 60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu. Gerakan feminisme itu muncul diAmerika sebagai bagian dari kultur radikal hak-haksipil (civil rights) dan kebebasan seksual (sexualliberation). Buku Betty Friedan yang berjudul The Feminist Mystique (1963) laku keras. Setelah itu berkembang kelompok feminis yang memperjuangkan nasib kaum perempuan memenuhi kebutuhan praktis, seperti pengasuhan anak (childcare), kesehatan, pendidikan, aborsi, dan sebagainya. Lantas, gerakan itu merambat ke Eropa, Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan mengguncang Dunia Ketiga. Setelah pada tahun 1975 PBB mengumumkan international decade of women, terjadi beberapa peristiwa penting bagi kaum perempuan. Tahun 1979 PBB mengeluarkan resolusi untuk meng-hentikan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Cerita dari seseorang pernah tinggal di Australia,sebagai bagian dari kehidupan Barat, beberapa tahun.Selama itu pula dia berinteraksi dengan kaum hawa diperusahaan, di sekolah- sekolah, dan di dalam masyarakat. Di perusahaan, wanita diperlakukan sama dengan pria. Tetapi, pekerjaan masih diberikan pada posisi- posisi yang ringan. Karena, memang secara kodrat mereka tidak mampu bersaing dengan kaum pria. Dari cerita mereka nampak sekali kedengkian satu sama lain atau biasa disebut jealous. Kita mendengar dari mereka perlakuan kasar dari para suaminya. Di sekolah banyak sekali terjadi affair. Dan, merupakan hal yang biasa seorang guru menganjurkan kepada para siswanya agar menggunakan kondom demi keamanan. Bahkan, pernah dia diajak oleh wanita asal Amerika Latin untuk devakto alias kumpulkebo, tetapi dia menolak. Di dalam kehidupanmasyarakat di sana, banyak sekali rumah tangga yang mengalami broken home. Hal itu terjadi akibat seringnya percekcokan yang disebabkan oleh sikaparogansi masing-masing dan terjadinya sekandal-sekandal dalam rumah tangga. Oleh karenanya, angkaperceraian dalam kehidupan rumah tangga masyarakatdi sana sangat tinggi. Anak-anak yang lahir dari hasil perselingkuhan pun sangat banyak serta banyak yangmengalami jiwa yang remuk. Tak jarang diamemberikan masukan sesuai dengan konsep Islam.
Bendar (2019) mengartikan feminisme (istilah “feminis”) sebagai gerakan perempuan yang menyerukan emansipasi atau hak yang adil dan setara dengan laki-laki. Feminisme berbeda denganperspektif dan pemahaman lain. Tidak ada teori ataukonsep yang melahirkan feminisme yang bertumpupada satu persamaan teoritis. Oleh karena itu, tidakada definisi yang jelas tentang bagaimana feminisme harus diterapkan pada semua perempuan, di mana pun, kapan pun. Dalam bukunya Revisi Politik Perempuan, Najmah dan Khatimah Sai'dah mendefinisikan feminisme sebagai kesadaran akan eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan yang terjadi di rumah,tempat kerja, dan masyarakat serta tindakan yangdisengaja yang dilakukan oleh laki-laki danperempuan untuk mengubah keadaan situasi secaraleksikal. Gerakan yang dikenal sebagai feminisme menyerukan kesetaraan total antara laki-laki dan perempuan. Pengetahuan atau pendapat para feminis yang didasarkan pada fakta sejarah dan budaya, sertatingkat kesadaran, persepsi, dan perilaku, dapatmenyebabkan definisi feminisme berubah. Terdapatperdebatan dan perbedaan pendapat mengenaipemikiran feminis bahkan di kalangan perempuanyang hampir identik dalam gender. Perdebatan inibermula dari berbagai alasan, seperti akar budaya patriarki dan dominasi laki-laki, dan terus berlanjut hingga perjuangan perempuan untuk tidak mengeksploitasi lingkungan, kebebasan kelas, latar belakang, ras, dan gender pada akhirnya terselesaikan.
Kata latin femina yang berarti perempuan merupakan akar dari teori feminisme itu sendiri. Konsep kesetaraan gender dan perjuangan hak-hak perempuan pertama kali dikenal dengan nama ini pada tahun 1890-an. Saat ini, hal tersebut secara umum dipahami sebagai perbedaan antara hak-hak perempuan dan hak-hak laki-laki. Tujuan feminisme adalah untuk meningkatkan kesadaran akan status subordinat perempuan dalam masyarakat dan berupaya memperbaiki dan mengubah kondisi ini.Perempuan secara tradisional mempunyai status yang lebih rendah dalam masyarakat dibandingkan laki-laki. tempat yang sangat tidak menyenangkan bagi wanitauntuk bertumbuh secara pribadi. Tujuan feminismesaat ini adalah untuk meningkatkan status perempuandalam masyarakat. Ada dua fase berbeda dalamsejarah gerakan feminis, keduanya mengalami pertumbuhan pesat di tahun-tahun awal dan dipimpin oleh perempuan.
Filsafat feminis telah mencapai kemajuan yang signifikan baik dalam pemahaman maupun tindakan.Pemahaman berdasarkan pengalaman perempuan yangmemiliki kebenaran, pengetahuan, dan kekuasaan dapat dibentuk oleh feminisme itu sendiri. Selain itu, feminisme tidak lagi hanya sekedar diakui sebagai identitas menjijikkan yang tidak layak untuk diakui. Gerakan feminis sendiri tidak dapat ditindas ataudihancurkan dengan hal ini. Di seluruh dunia, kesadaran akan penindasan semakin meningkat. Disadari atau tidak, para patriark yang seringkali merendahkan martabat kemanusiaan perempuan telah didorong oleh gerakan feminis. Wardana (2022)menyatakan bahwa pemikiran feminis telah mengubahstruktur sosial masyarakat secara signifikan. Gagasan ini diterapkan untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan peran dan kedudukan perempuandalam berbagai bidang kehidupan. Wibowo dkk. (2022) menyatakan bahwa gagasan ini juga digunakan sebagai senjata untuk memerangi ketidaksetaraan gender. Perempuan berupaya menjadi subjek penelitian setelah sekian lama dipinggirkan, diabaikan, dan akhirnya dikesampingkan oleh patriarki. Kaum feminis sering kali mengubah teori-teori konvensional untuk menjelaskan cara berpikir perempuan. Dengan menekankan dan mengarahkan kesetaraan perempuan dalam kerangka teori sejarah dan menyoroti kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.
Rafiq (2020) mengartikan perubahan sosial sebagai sesuatu yang terjadi sesekali dengan cara yang berbeda atau sebelum dan sesudah suatu kegiatan. Setiap tindakan akan membawa perubahan. Semua alasan berikut mungkin terlibat dalam perubahan ini: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam Manullang (2021), Selo Soemardjan mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan pranata sosialyang mempengaruhi sistem sosial, meliputi perilaku, sikap, dan nilai kelompok. Sistem sosial rentan terhadap perubahan nilai, sikap, dan pola perilaku antarkelompok, serta aspek lain dari institusi masyarakat. Semua ini dapat digolongkan sebagai gagasan transformasi sosial. Ada undang-undang yang mengatur hubungan antara manusia dengan orang lain, serta antara manusia dengan masyarakat dan komunitas lain. Undang-undang ini dapat berkisar dari undang-undang negara bagian hingga hukum keluarga. Banyak faktor, termasuk pertumbuhan penduduk, yang dapat berkontribusi terhadap terbentuknya perubahan sosial. Faktor-faktor tersebut dapat mengubah dinamika sosial dan hubungan antar kelompok sosial.
Pergeseran ideologi fundamental suatu masyarakat atau cara masyarakat memandang masa lalu dalam kaitannya dengan masa depan yang pada akhirnya akan mengarah pada kekuasaan juga dapat mengakibatkan perubahan. Kita bisa saja menganggap proses menghilangkan kebiasaan lama sebagai sebuah konsep perubahan masyarakat, dan seiring dengan itu, inovasi pun tumbuh. Penyebab perubahan tersebut antara lain kemajuan ilmu pengetahuan (mentalitas manusia), teknik dan penerapannya dalam masyarakat, pergeseran harapan dan tuntutan masyarakat, komunikasi, transportasi, dan urbanisasi. Semua faktor tersebut mempunyai dampak terhadap munculnya perubahan-perubahan dalam masyarakat yang disebut juga dengan perubahan sosial.
Kesetaraan gender mengacu pada pemberian kesempatan dan hak yang sama kepada laki-laki dan perempuan sebagai umat manusia, yang memungkinkan mereka untuk terlibat dalam upaya politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan pertahanan keamanan nasional, serta mendapatkan manfaat yang sama dari hasil-hasil upaya tersebut. perkembangan. Untuk mencapai kesetaraan gender, diskriminasi dan ketidakadilan struktural terhadap laki-laki dan perempuan harus dihapuskan.
Kemampuan laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan manfaat dari pembangunan dikenal sebagai akses, dan ini merupakan salah satu ukuran kesetaraan gender. Keikutsertaan laki-laki dan perempuan dalam suatu program atau kegiatan disebut dengan partisipasi. Peran yang dimainkan oleh keduajenis kelamin dalam mengalokasikan sumber daya danmengambil keputusan dikenal sebagai kontrol. Peran laki-laki dan perempuan dalam memanfaatkan dan memperoleh manfaat dari suatu kebijakan, program, atau kegiatan dikenal dengan istilah manfaat.Ketidaksetaraan gender di Indonesia secara khususditangani melalui Kebijakan Gender Nasional, yang menggantikan dan memperkuat Kebijakan Nasional Perempuan sebelumnya. Mengingat permasalahan di atas, sejarah kebijakan pembangunan Indonesia tampaknya diwarnai dengan sikap lemah terhadap variabel gender. Ketika Indonesia menjadi negara republik pada tahun 1963, misalnya, perencanaan pembangunan pada dua dekade pertama sebagian besar ditentukan oleh kebijakan pembangunan yang buta gender dan tidak peka gender. Demikian pula, Indonesia telah menerapkan kebijakan ekonomi yang bias gender, dengan kepentingan perempuan dimasukkan ke dalam kepentingan nasional dan sensitivitas gender sangat minim dan tidak menjadi isu. Kebijakan ini telah diterapkan sejak kebangkitan negara ini pada tahun 1980 an.
Kebijakan sensitif gender telah mendapat perhatian dan perhatian yang meningkat di tingkat nasional dan internasional sejak PBB mengadopsiTujuan Pembangunan Milenium pada bulanSeptember 2000. Tujuan ketiga, khususnya yangberpusat pada pemberdayaan perempuan dankesetaraan gender, merupakan hal mendasar untuk mencapai tujuan-tujuan lain. tujuan dan mempunyai nilai yang melekat. Konstruksi sosial kekerasan seksual di masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari kejadian kekerasan seksual di lembaga pasca sekolah menengah. Menyalahkan korban adalah praktik melimpahkan tanggung jawab kepada korban ataskejadian yang terjadi. Selain itu, masyarakat seringkali mendukung kesenjangan kekuasaan berbasisgender dan mendukung pemerkosa
dengan mencoba menyalahkan korban, gagasan menyalahkan korban berfungsi sebagai pembelaan atas ketidakadilan.
Sophia Hage, direktur kampanye Lentera Sintas,menyatakan bahwa banyaknya insiden pemerkosaan di Indonesia yang tidak dilaporkan adalah akibat dari persepsi masyarakat yang terus berlanjut bahwa topik tersebut terlalu sensitif untuk dibahas. Lebih lanjut Sophia mengungkapkan, stigma masyarakat dan ketakutan dimintai pertanggungjawaban atas pengalamannya menjadi dua alasan lagi mengapa korban kekerasan seksual takut untuk bersuara (victim blaming). Oleh karena itu, para korban memutuskan untuk tidak berbicara di depan umum. Informasitersebut menunjukkan adanya norma atau konstruksimasyarakat yang melanggengkan viktimisasi terhadap korban kekerasan seksual. Insiden kekerasan seksual, khususnya yang melibatkan perempuan, masih terjadi karena adanya stigma masyarakat yang menganggap topik tersebut tabu dan tidak mendorong diskusi mengenai hal tersebut. Korban juga merasa takut untuk melaporkan atau mendiskusikan pengalamannya di depan umum.
“Feminisme adalah gerakan sosial dan ideologi yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan mencapai kesetaraan gender. Sejarah feminisme dapat dibagi menjadi beberapa fase, masing-masing dengan fokus dan tantangan yang berbeda. Dalam konteks modern, feminisme tidak hanya berperan dalam memperjuangkan hak-hak politik dan sosial perempuan, tetapi juga berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih luas.
Gerakan feminisme dimulai pada akhir abad ke-18, dengan karya-karya awal seperti A Vindication ofthe Rights of Woman oleh Mary Wollstonecraft, yangmengkritik ketidakadilan terhadap perempuan dalam konteks politik dan sosial. Di Indonesia, Raden Ajeng Kartini menjadi salah satu tokoh penting yangmengadvokasi pendidikan untuk perempuan padaawal abad ke-20, menyoroti pentingnya akses pendidikan sebagai langkah menuju kesetaraan. Feminisme berkembang pesat sepanjang abad ke-20, terutama selama tahun 1960-an ketika gerakan ini mendapatkan momentum global. Tokoh-tokoh seperti Betty Friedan berperan penting dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di bidang pekerjaan dan politik di Amerika Serikat, mendorong lahirnya organisasi seperti National Organization for Women (NOW) yang berfokus pada kesetaraan upah dan hak suara. Dalam kehidupan modern, feminisme berfungsi sebagai alat untuk mendorong kesadaran akan ketidakadilan gender dan mempromosikan perubahan sosial. Penelitian menunjukkan bahwaketerlibatan perempuan dalam pendidikan danaktivitas sosial telah meningkat, mencerminkan pergeseran dalam peran gender tradisional. Misalnya, penelitian di Universitas Negeri Surabaya menunjukkan bahwa mahasiswi aktif terlibat dalam perencanaan kegiatan kampus, menandakan perubahan positif dalam status dan peran perempuan di masyarakat.
Feminisme juga berperan dalam mengubah struktur sosial dengan menyoroti isu-isu seperti kekerasan berbasis gender, ketidakadilan ekonomi, dan diskriminasi di tempat kerja. Gerakan ini tidakhanya berfokus pada hak-hak individu tetapi jugapada perubahan sistemik yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil. Feminisme telah mengalami evolusi yang signifikan dari gerakan awal hingga aplikasi modernnya. Dengan terus mendorong kesetaraan gender dan keadilan sosial, feminisme berkontribusi pada perubahan positif dalam masyarakat saat ini. Masyarakat diharapkan untuk lebih memahami dan mendukung perjuangan iniagar dapat menciptakan lingkungan yang lebihinklusif bagi semua gender”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar