Minggu, 12 Oktober 2025

IMMawati di Persimpangan: Menyikapi Tantangan, Menguatkan Identitas

Nurhikmah Rahmadani Roni
Divisi Advokasi dan Media SKI Jilid IX
Sekretaris Bidang Hikmah PKP


Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, demikian pula setiap generasi memiliki ujiannya masing-masing. Immawati sebagai kader perempuan dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak pernah lepas dari pusaran dinamika tersebut. Kehadirannya di tengah arus perubahan sosial, budaya, dan teknologi menempatkan Immawati pada posisi yang strategis sekaligus dilematis. Strategis karena mereka menjadi penopang gerakan perempuan mahasiswa Islam yang memiliki basis ideologis dan historis yang kokoh, namun dilematis karena persimpangan jalan sering kali memunculkan kebingungan arah serta rawan terjebak dalam pragmatisme gerakan.

Tantangan saat ini yang dihadapi Immawati tidak sederhana. Revolusi digital dan media sosial menciptakan pola interaksi baru yang kerap menjauhkan generasi muda dari budaya literasi, diskusi, dan pengabdian. Banyak kader perempuan mahasiswa lebih sibuk mengejar eksistensi personal ketimbang mengembangkan kapasitas diri sebagai kader pergerakan. Selain itu, arus globalisasi membawa budaya populer yang sering bertabrakan dengan nilai-nilai Islam dan keperempuanan yang dijunjung oleh Muhammadiyah. Immawati pun menghadapi tantangan serius: bagaimana tetap tegak menjaga prinsip tanpa teralienasi dari realitas kekinian. Tidak hanya itu, persoalan kepemimpinan perempuan masih sering diwarnai stereotip yang menempatkan perempuan sebatas pelengkap, bukan penggerak utama. Bagi Immawati, semua tantangan ini bukanlah beban semata, tetapi sekaligus peluang untuk menunjukkan eksistensi dan mempertegas arah gerakan.

Persimpangan yang kini dihadapi Immawati tampak dalam tarik-menarik antara idealitas dan realitas. Idealitas menuntut Immawati menjadi teladan dalam berpikir kritis, berakhlak mulia, serta konsisten mengawal nilai-nilai Islam berkemajuan. Namun, realitas menunjukkan bahwa tidak jarang mereka terjebak pada rutinitas organisasi yang seremonial, kurang produktif, dan minim gagasan substantif. Sebagian kader lebih memilih jalur aman dengan mengikuti arus pragmatisme kampus atau politik praktis, sementara yang lain berusaha keras menjaga idealisme meski harus menghadapi risiko. Pada titik inilah, kesadaran kolektif diperlukan agar persimpangan tidak menjadi jalan buntu, melainkan ruang untuk menimbang ulang orientasi gerakan.

Dalam menghadapi situasi ini, menguatkan identitas menjadi kunci utama. Identitas Immawati tidak hanya berakar pada nama besar IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam, tetapi juga pada keunikan posisinya sebagai perempuan. Identitas itu mencakup keislaman yang memperjuangkan nilai mencerahkan, keilmuan yang mengasah kemampuan kritis dan solutif, serta keperempuanan yang menjadikan perempuan sebagai subjek gerakan, bukan sekadar pelengkap. Identitas itu juga mencakup semangat kaderisasi yang melahirkan generasi militan, cerdas, dan berkarakter. Identitas ini tidak boleh berhenti pada simbol, melainkan harus hidup dalam tindakan nyata. Immawati harus hadir di ruang akademik dengan prestasi, di ruang sosial dengan kepedulian, dan di ruang publik dengan gagasan.

Untuk menjaga identitas sekaligus menyikapi tantangan, langkah-langkah strategis perlu ditempuh. Immawati harus menguatkan literasi, membiasakan tradisi membaca, menulis, dan berdiskusi agar tidak mudah tergerus oleh budaya instan. Nilai profetik juga perlu diaktualisasikan, dengan menjadikan Islam sebagai pedoman gerakan melalui humanisasi, liberasi, dan transendensi. Gerakan yang mandiri dan kreatif juga harus dikembangkan, tidak hanya bergantung pada struktur, tetapi dengan menghadirkan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Solidaritas sesama kader perempuan juga mutlak diperlukan, sebab kekuatan kolektif lahir dari ikatan emosional dan intelektual yang terjalin erat. Lebih jauh, keterlibatan sosial menjadi ciri khas Immawati, karena identitas sejati tidak akan hidup tanpa kiprah nyata di masyarakat, baik melalui kegiatan sosial, advokasi, maupun pemberdayaan.

Apabila langkah-langkah ini ditempuh dengan konsisten, Immawati akan lahir sebagai generasi visioner. Generasi yang tidak hanya menjaga nilai, tetapi juga mampu menafsirkan ulang nilai itu dalam konteks zaman. Visioner berarti berani mengantisipasi masa depan, tidak hanya sibuk dengan romantisme masa lalu atau terjebak pada pragmatisme hari ini. Immawati visioner adalah mereka yang mampu memadukan iman, ilmu, dan amal sehingga kiprahnya memberi manfaat bukan hanya bagi organisasi, tetapi juga bagi umat dan bangsa.

Dengan demikian, Immawati di persimpangan bukanlah kisah tentang kebingungan, melainkan cerita tentang pilihan. Pilihan untuk tetap konsisten menjaga nilai atau menyerah pada arus pragmatisme. Pilihan untuk mempertegas identitas atau larut dalam kehilangan arah. Masa depan gerakan Immawati ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu menyikapi tantangan sekaligus mempertegas jati diri. Di tengah dunia yang terus berubah, Immawati harus hadir sebagai peneguh nilai, penggerak gagasan, dan pionir transformasi. Dari titik persimpangan inilah akan lahir Immawati yang lebih matang, kokoh, dan profetik dalam menjalankan peran kebangsaannya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IMMawati di Persimpangan: Menyikapi Tantangan, Menguatkan Identitas

Nurhikmah Rahmadani Roni Divisi Advokasi dan Media SKI Jilid IX Sekretaris Bidang Hikmah PKP Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, dem...