SIAPAKAH DALANG DIBALIK GERAKAN PEREMPUAN?
Oleh : IMMawati Heri (Dept.bidang Kader)
Berbicara gerakan perempuan di Indonesia, kita bisa melihatnya dari Masa Colonial (sebelum 1945). Pada masa itu, muncul tokoh-tokoh perempuan di daerah-daerah yang aktif melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan. Misalnya, seperti halnya di aceh ada Cut Nya Dien (komandan perang aceh) dilanjutkan perjuangan Cut Mutia. Ratu Sima (618) menjadi pemimpim perempuan yang jujur di Jateng, selain itu ada juga RA Kartini yang kita kenal sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia.
Kebangkitan gerakan perempuan pada masa kolonial semakin terasa di tahun 1928 dengan diselenggarakannya kongres Perempuan 1 (22-25 Desember) di Yogyakarta dengan tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan. Menurut catatan Susan Blackburn beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi “kaum pribumi”, suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain.
Pada masa pasca kolonial 1945-1966, gerakan perempuan semakin mewarnai kemerdekaan bangsa Indonesia. Kala itu muncul PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang terbentuk tanggal 17 Desember 1945. Sewaktu berlangsung perang, kegiatan PERWARI merupakan kegiatan “homefront”, mengurus dapur umum dan membantu PMI. Setelah perang kemerdekaan reda, PERWARI menggiatkan diri dalam mengisi kemerdekaan dengan memusatkan perhatiannya dalam bidang pendidikan.
Ada juga GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang aktif di tahun 1950-1960-an. Gerwani merupakan organisasi independen yang memberikan perhatian pada reformasi sistem hukum di Indonesia untuk membuat wanita dan pria sama di mata hukum termasuk hukum perkawinan, hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia. Pada skala lokal, Gerwani juga memberikan dukungan individu untuk perempuan yang telah disalahgunakan atau ditinggalkan oleh suami mereka.
R.A Kartini
SEJARAH RA KARTINI -- RA. Kartini adalah pahlawan nasional yang sangat berjasa dalam sejarah bangsa Indonesia khususnya kaum wanita. Dalam masa penjajahan Belanda yang sempat menduduki ibu pertiwi, kaum wanita pribumi dikesampingkan hak-hak dalam mendapatkan fasilitas pendidikan dan mengemukakan pendapat. Sejarah perjuangan RA. Kartini berawal saat beliau berumur 12 tahun. Saat itu beliau ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi namun dilarang oleh orang tuanya.
RA. Kartini yang lulusan dari Europese Lagere School (ELS) sangat fasih dalam berbahasa Belanda sehingga beliau merasa sanggup mengikuti jenjang yang lebih tinggi dengan kemampuan tersebut. Namun penjelasan itu tidak dihiraukan oleh ayahnya yang melarang RA.Kartini untuk mengejar cita-cita bersekolah. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena usia beliau yang sudah 12 tahun menandakan bahwa saatnya untuk dipingit dan segera menikah. Saat itu beliau tidak punya pilihan lain selain ikut apa kata orang tuanya yang artinya RA. Kartini harus menjalani pingitan.
Selama dipingit itulah beliau menulis surat-surat kepada teman berkirim suratnya yang sebagian besar orang Belanda. Disitulah beliau kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sangat mendukung perjuangan RA. Kartini untuk mendapatkan hak-hak sebagai manusia meski dia perempuan.
Semetara itu Rosa Abendanon juga sering mengirimkan buku-buku dan surat kabar dari Eropa pada RA. Kartini kecil sehingga pemikirannya menjadi lebih maju. Dalam surat kabar tersebut memberitakan wanita-wanita Eropa memiliki kedudukan yang sama untuk meraih hak-haknya sedangkan di Indonesia wanita berada pada strata sosial yang amat rendah.
Akhir Pingitan dan Awal dari Cita-cita RA. Kartini
Pada saat RA. Kartini berusia 20 tahun beliau sudah menyelesaikan buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan juga Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli dan Van Eeden, Roman-feminis dari Goekoop de-Jong Van Beek dan Die Waffen Nieder mengenai Roman anti-perang oleh Berta Von Suttner. Buku-buku bertulisan belanda tersebut membuat beliau makin terbuka pikirannya dan semakin maju.
Kemudian pada tanggal 12 November 1903 pingitan berakhir dan beliau harus menikah dengan bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat atas pilihan orang tuanya. Saat itu RA. Kartini berstatus istri kedua bupati Rembang tersebut. Meski begitu suaminya sangat mendukung cita-cita beliau dan bahkan memperbolehkan RA. Kartini membangun sekolah khusus wanita.
Akhir Hayat dan Perjuangan yang Diteruskan
Selama pernikahannya, RA. Kartini dikaruniai satu putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. RA. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya empat hari setelah melahirkan. Beliau wafat pada usia 25 tahun.
Perjuangan RA. Kartini tidak terhenti bahkan setelah beliau wafat. Perjuangan tersebut diteruskan oleh sahabatnya Rosa Abendanon yang membukukan surat-surat keduanya menjadi sebuah buku.Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Habis Gelap Terbitlah Terang
Buku Door Duisternis tot Licht buah pikiran RA. Kartini tersebut diterbitkan pada tahun 1911 dan disebarluaskan di eropa dan kemudian di Indonesia dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1922 buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka. Buku terjemahan tersebut diberi judul "Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran".
Selanjutnya pada tahun 1938, sastrawan Armijn Pane menerbitkan terjemahan dalam judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang berisi lima bab cara berpikir RA. Kartini.
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada tahun 1848. Ia merupakan keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang (golongan bangsawan Aceh yang memimpin sebuah kenegerian/nanggroe setingkat kabupaten) di VI Mukim.
Kendati kalangan bangsawan, keluarga Cut Nyak Dien dikenal sebagai keluarga yang sangat taat melaksanakan perintah atau syariat Islam. Oleh sebab itu, sejak dini Cut Nyak Dien sudah dibekali dengan ilmu agama oleh keluarganya.
Masa perjuangan Cut Nyak Dien dimulai sejak 26 Maret 1873. Kala itu Belanda telah menyatakan perang kepada Aceh. Tak tanggung-tanggung, pasukan yang dikerahkan Belanda untuk berperang melawan rakyat Aceh berjumlah sekitar 3.198 prajurit.
Pada 8 April 1873, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, mendarat di Pantai Ceureumen, dan berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya menguasai, Kohler dan pasukannya pun membakar masjid tersebut di hadapan rakyat Aceh.
Cut Nyak Dien yang melihat peristiwa tersebut seketika memberang. Ia pun berseru, "Lihatlah wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita menjadi budak Belanda?"
Kendati berhasil memenangkan perang pertama dan menewaskan pimpinan pasukan Belanda, yakni Kohler, pertempuran belum berakhir. Di bawah pimpinan berikutnya, yakni Jenderal Han van Swieten, daerah VI Mukim, yang notabene tempat tinggal Cut Nyak Dien, berhasil dikuasai Belanda. Setahun berikutnya, Keraton Sultan pun jatuh. Hal itu membuat Cut Nyak Dien dan rombongan kaum ibu lainnya di sana mengungsi pada Desember 1875.
Pada 29 Juni 1878, suami Cut Nyak Dien, yakni Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan Belanda ketika tengah berupaya merebut kembali VI Mukim. Hal itu membuat Cut Nyak Dien semakin geram dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Pada momen ini, tokoh pejuang rakyat Aceh lainnya, Teuku Umar, akhirnya melamar Cut Nyak Dien. Pada awalnya Cut Nyak Dien menolak pinangan tersebut. Namun, karena Teuku Umar mengizinkan dan mempersilakannya untuk terjun dalam pertempuran melawan Belanda, Cut Nyak Dien akhirnya menerima dan menikah dengannya pada 1880. Hal tersebut meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan kaphe ulanda (Belanda Kafir).
Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien kembali berjuang untuk melawan pasukan Belanda. Pada 1893, Teuku Umar sempat melakukan siasat dengan berpura-pura menyerahkan diri dan menjalin kerja sama dengan Belanda. Hal itu dilakukan untuk mengetahui berbagai strategi perang Belanda.
Siasat itu berhasil dilaksanakan. Setelah tiga tahun berkamuflase, Teuku Umar kembali berbalik memerangi Belanda. Tak ayal Belanda harus terus menerus mengganti jenderal perangnya di Aceh kala itu. Namun nahas, pada Februari 1899, Teuku Umar harus wafat akibat tertembak oleh pasukan Belanda dan Cut Nyak Dien kembali kehilangan suaminya.
Kepergian Teuku Umar sangat memukul perasaan Cut Gambang, anak Cut Nyak Dien dari pernikahannya dengan Teuku Umar. Di tengah kesedihan Cut Gambang, Cut Nyak Dien sempat berkata, "Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada orang yang sudah syahid."
Kendati kembali harus kehilangan suami, hal itu tak membuat Cut Nyak Dien gamang dan mengerutkan naluri perjuangannya. Ia memimpin pertempuran melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.
Namun, kondisi Cut Nyak Dien memang semakin renta. Matanya pun mulai rabun. Melihat kondisi demikan, sisa pasukan yang dipimpinnya merasa sangat iba dan tak tega padanya. Karena perasaan iba dan tak tega itu, salah satu pasukan Cut Nyak Dien, yakni Pang Laot Ali, akhirnya memberikan informasi terkait keberadaan markasnya bersama Cut Nyak Dien kepada Belanda.
Cut Nyak Dien akhirnya berhasil ditangkap Belanda dan dibawa ke Banda Aceh, sebelum akhirnya dibuang ke Sumedang Jawa Barat pada akhir 1906. Kendati demikian, Cut Gambang, berhasil melarikan diri ke tengah hutan ketika ibunya dikepung oleh Belanda.
Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien wafat dalam pembuangannya di Sumedang. Berdasarkan keterangan, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959. Pencarian makamnya dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Pada batu nisan makam Cut Nyak Dien, diketahui terangkum riwayat hidupnya, kemudian tertera juga surah at-Taubah dan al-Fajr, serta hikayat rakyat Aceh.
Pergerakan perempuan tidak hanya sampai disitu, ada beberapa tokoh-tokoh yang juga berperan dalam pergerakan dan perjuangan perempuan. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Dewi Sartika ( Pelopor gerakan wanita di Jawa barat ). Ia mendirikan sekolah dengan nama Sekolah keutamaan istri.
Maria Walanda Maramis ( Pelopor gerakan wanita di Minahasa, Sulawesi Utara ). Ia mendirikan organisasi PIKAT ( Percintaan Ibu kepada anak Temurun nya )
Soewarni Jayasepoetra ( Pelopor gerakan wanita di Bandung, Jawab Barat). Mendirikan organisasi wanita Istri sedar yang bergerak di bidang politik dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mariah Oelfah dan Ibu Soenarjo Mangoenpoespito. Pendiri organisasi istri Indonesia dengan tujuan mencapai Indonesia Raya.
NYI Hajar Dewantoro ( Istri Hajar Dewantoro, aktif di Taman Siswa)
Ibu Ahmad Dahlan ( Istri pendiri Moehammadijah Haji Ahmad Dahlan, aktif di organisasi wanita dibawah Moehammadijah Aisyah) dan lain-lain.
Jika dibandingkan dengan era sekarang kondisi atau permasalahan perempuan cukup beragam antara lain masih adanya pendeskriminasian dalam hal pendidikan, dibatasinya perempuan dalam mengeluarkan pendapat dan terpengaruhi nya dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih serta kurang nya ruang-ruang bagi para perempuan untuk mengeksploitasi dirinya dengan hal-hal yang bermanfaat.
Adapun solusi atau rekomendasi dari permasalahan tersebut adalah pemerintah berupaya memberikan kebebasan berpendapat dan bertindak baik itu dalam hal pendidikan dan birokrasi serta adanya kesetaraan gender yang artinya tidak ada perbedaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki.