Selasa, 24 Desember 2019

Kisah perjuangan dan romantisme sekawan pemuda dalam berjuang mengubah jalan sejarah bangsa

Sekarang aku mau menceritakan padamu satu episode yang begitu membekas. Episode yang makin meneguhkanku bahwa perjuangan itu harus dinyatakan dengan indah, dalam lirik dan nada. Pada suatu malam di bulan November tahun 1991, di tengah-tengah aksi mogok makan kawan kami menutut demokratisasi lembaga pemerintahan mahasiswa di UGM, aku dan beberapa kawan berkumpul di sekretariat organisasi. Di antara mereka terdapat Johnsony Tobing, mahasiswa Filsafat yang sering menjadi komandan lapangan dalam setiap demonstrasi; juga Dadang Juliantara (seorang mahasiswa Geofisika) yang banyak menyusun konsep pergerakan mahasiswa. Di tengah suasana lelah, pada suatu senja yang temaram (ketika batas malam dan siang menaungi kami), John memainkan sebuah nada dan meminta kami yang saat itu berkumpul di situ untuk membuatkan liriknya. Kami pun berkumpul di sekitar John yang memainkan nada lagunya dan Dadang berinisiatif menuliskan idenya di papan tulis. Dia tuliskan syair, kemudian menghapusnya, dan menuliskannya lagi sampai kemudian pada satu jeda, kuusulkan untuk menambahkan kata “Bunda” pada syair lagu itu (ah, betapa saat itu aku sedang merindukan Ibu yang sudah lama tak kute­mui). Pada jelang tengah malam, terciptalah lagu baru yang oleh John diberi judul ”Darah Juang”. Pada tengah malam itu juga kami beramai-ramai menyanyikannya, sebuah lagu yang untuk beberapa tahun kemudian menjelma sebagai kredo kami yang lain. Lagu itu kelak sering mengiringi kami dalam perjuangan demokrasi di Indonesia, menurunkan rezim korup dan otoriter, maupun dalam perjuangan-perjuangan rakyat lainnya. “Darah Juang” adalah kredo untuk mengorbankan apa yang kami punya, untuk mimpi-mimpi besar kami sebagai seorang individu maupun sebuah generasi.

...Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah,
 Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas hak-nya
Tergusur dan lapar
Bunda, relakan Darah Juang kami
Membebaskan rakyat
Mereka dirampas hak-nya
Tergusur dan lapar
Bunda, relakan Darah Juang kami
Padamu kami berjanji

Lagu tersebut dicipta untuk merayakan anak-anak muda dari berbagai pelosok tanah air. Kami tahu mereka mulai terlibat dalam perjuangan demokrasi. Mereka adalah kaum muda yang sedang bergulat di kampus melawan birokrat-birokrat kampus yang merepresi hak demokrasi mahasiswa; kaum muda yang sedang menyebarkan pamflet-pamflet atau mencoretkan grafitti perlawanan di dinding-dinding kota; anak-anak muda yang keluar masuk pabrik, pematang sawah, perkampungan kumuh tengah kota dan tepi laut, perkebunan maupun lereng gunung yang sedang membangun gerakan rakyat; anak-anak muda yang sedang mogok makan atau sedang berada dalam genggaman penyiksa-penyiksa mereka di ruang interogasi. Tak kalah pentingnya juga, lagu tersebut adalah untuk menyemangati diri kami sendiri, yang malam itu kelelahan karena habis berdemonstrasi pada siang harinya.

(Budiman Sudjatmiko)
—Dinukil dari buku Anak-Anak Revolusi Vol.1 karya Budiman Sudjatmiko—

Minggu, 22 Desember 2019

Aksi kemanusian PIKOM IMM FISIP UNISMUH Makassar Kembali Turun Memberdayaakan anak Jalanan

Pimpinan Komisariat Ikatan mahasiswa muhammadiyah fakultas ilmu sosial dan ilmu politik universits muhammadiyah Makassar. Aksi kemanusiaan ini bertujuan untuk memberdayakan anak jalanan di  Area binaan kerung kerung lorong santaria, bara baraya, pikom IMM melaui kerjasama dengan KPAJ (Komunitas pecinta anak jalanan).

Kerja sama ini di harapkan dapat mencakup sasaran yang diharapkan untuk mengatasi permasalahan sosial anak jalanan dengan meningkatkan kemampuan dirinya melalui pendidikan, pelatihan keterampilan dan pendidikan moral. Hal ini diupayakan untuk bisa mendorong dan menstimulasi supaya anak jalanan tersebut bisa mendapatkan hak untuk mendapatkan hidup yang lebih layak, perlindungan, dan bisa menampilkan perilaku positif sesuai dengan norma dan etika yang ada di lingkungan masyarakat. 

Program pemberdayaan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak jalanan sehingga mempunyai pengetahuan keislaman, kemuhammadiyaan dan dapat mandiri sehingga anak jalanan tidak beraktivitas di jalan lagi.

Begitu pula dengan harapan ketua umum KPAJ Hiber berharap bahwa pemerintah dapat lebih melirik anak jalan begitu pula dengan KPAJ agar kedepan nya bisa lebih bersinergi dalam melakukan pemberdayaan aksi kemanusiaan.

#IMM-FISIP-RESPONSIF
#IMM-MADANI
#IMM-JAYA

SIAPAKAH DALANG DIBALIK GERAKAN PEREMPUAN?

SIAPAKAH DALANG DIBALIK GERAKAN PEREMPUAN?
Oleh : IMMawati Heri (Dept.bidang Kader)

Berbicara gerakan perempuan di Indonesia, kita bisa melihatnya dari Masa Colonial (sebelum 1945). Pada masa itu, muncul tokoh-tokoh perempuan di daerah-daerah yang aktif melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan. Misalnya, seperti halnya di aceh ada Cut Nya Dien (komandan perang aceh) dilanjutkan perjuangan Cut Mutia. Ratu Sima (618) menjadi pemimpim perempuan yang jujur di Jateng, selain itu ada juga RA Kartini yang kita kenal sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia.

Kebangkitan gerakan perempuan pada masa kolonial semakin terasa di tahun 1928 dengan diselenggarakannya kongres Perempuan 1 (22-25 Desember) di Yogyakarta dengan tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan. Menurut catatan Susan Blackburn beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi “kaum pribumi”, suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan-perempuan lain.

Pada masa pasca kolonial 1945-1966, gerakan perempuan semakin mewarnai kemerdekaan bangsa Indonesia. Kala itu muncul PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia) yang terbentuk tanggal 17 Desember 1945. Sewaktu berlangsung perang, kegiatan PERWARI merupakan kegiatan “homefront”, mengurus dapur umum dan membantu PMI. Setelah perang kemerdekaan reda, PERWARI menggiatkan diri dalam mengisi kemerdekaan dengan memusatkan perhatiannya dalam bidang pendidikan.

Ada juga GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang aktif di tahun 1950-1960-an. Gerwani merupakan organisasi independen yang memberikan perhatian pada reformasi sistem hukum di Indonesia untuk membuat wanita dan pria sama di mata hukum termasuk hukum perkawinan, hak-hak buruh, dan nasionalisme Indonesia. Pada skala lokal, Gerwani juga memberikan dukungan individu untuk perempuan yang telah disalahgunakan atau ditinggalkan oleh suami mereka.

R.A Kartini
SEJARAH RA KARTINI -- RA. Kartini adalah pahlawan nasional yang sangat berjasa dalam sejarah bangsa Indonesia khususnya kaum wanita. Dalam masa penjajahan Belanda yang sempat menduduki ibu pertiwi, kaum wanita pribumi dikesampingkan hak-hak dalam mendapatkan fasilitas pendidikan dan mengemukakan pendapat. Sejarah perjuangan RA. Kartini berawal saat beliau berumur 12 tahun. Saat itu beliau ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi namun dilarang oleh orang tuanya.
RA. Kartini yang lulusan dari Europese Lagere School (ELS) sangat fasih dalam berbahasa Belanda sehingga beliau merasa sanggup mengikuti jenjang yang lebih tinggi dengan kemampuan tersebut. Namun penjelasan itu tidak dihiraukan oleh ayahnya yang melarang RA.Kartini untuk mengejar cita-cita bersekolah. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena usia beliau yang sudah 12 tahun menandakan bahwa saatnya untuk dipingit dan segera menikah. Saat itu beliau tidak punya pilihan lain selain ikut apa kata orang tuanya yang artinya RA. Kartini harus menjalani pingitan.

Selama dipingit itulah beliau menulis surat-surat kepada teman berkirim suratnya yang sebagian besar orang Belanda. Disitulah beliau kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sangat mendukung perjuangan RA. Kartini untuk mendapatkan hak-hak sebagai manusia meski dia perempuan.

Semetara itu Rosa Abendanon juga sering mengirimkan buku-buku dan surat kabar dari Eropa pada RA. Kartini kecil sehingga pemikirannya menjadi lebih maju. Dalam surat kabar tersebut memberitakan wanita-wanita Eropa memiliki kedudukan yang sama untuk meraih hak-haknya sedangkan di Indonesia wanita berada pada strata sosial yang amat rendah.

Akhir Pingitan dan Awal dari Cita-cita RA. Kartini   
Pada saat RA. Kartini berusia 20 tahun beliau sudah menyelesaikan buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan juga Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli dan Van Eeden, Roman-feminis dari Goekoop de-Jong Van Beek dan Die Waffen Nieder mengenai Roman anti-perang oleh Berta Von Suttner. Buku-buku bertulisan belanda tersebut membuat beliau makin terbuka pikirannya dan semakin maju.

Kemudian pada tanggal 12 November 1903 pingitan berakhir dan beliau harus menikah dengan bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat atas pilihan orang tuanya. Saat itu RA. Kartini berstatus istri kedua bupati Rembang tersebut. Meski begitu suaminya sangat mendukung cita-cita beliau dan bahkan memperbolehkan RA. Kartini membangun sekolah khusus wanita.

Akhir Hayat dan Perjuangan yang Diteruskan
Selama pernikahannya, RA. Kartini dikaruniai satu putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. RA. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya empat hari setelah melahirkan. Beliau wafat pada usia 25 tahun.

Perjuangan RA. Kartini tidak terhenti bahkan setelah beliau wafat. Perjuangan tersebut diteruskan oleh sahabatnya Rosa Abendanon yang membukukan surat-surat keduanya menjadi sebuah buku.Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".

Habis Gelap Terbitlah Terang
Buku Door Duisternis tot Licht buah pikiran RA. Kartini tersebut diterbitkan pada tahun 1911 dan disebarluaskan di eropa dan kemudian di Indonesia dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1922 buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka. Buku terjemahan tersebut diberi judul "Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran".
Selanjutnya pada tahun 1938, sastrawan Armijn Pane menerbitkan terjemahan dalam judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang berisi lima bab cara berpikir RA. Kartini.

Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada tahun 1848. Ia merupakan keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang (golongan bangsawan Aceh yang memimpin sebuah kenegerian/nanggroe setingkat kabupaten) di VI Mukim.
Kendati kalangan bangsawan, keluarga Cut Nyak Dien dikenal sebagai keluarga yang sangat taat melaksanakan perintah atau syariat Islam. Oleh sebab itu, sejak dini Cut Nyak Dien sudah dibekali dengan ilmu agama oleh keluarganya.

Masa perjuangan Cut Nyak Dien dimulai sejak 26 Maret 1873. Kala itu Belanda telah menyatakan perang kepada Aceh. Tak tanggung-tanggung, pasukan yang dikerahkan Belanda untuk berperang melawan rakyat Aceh berjumlah sekitar 3.198 prajurit.
Pada 8 April 1873, pasukan Belanda, di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, mendarat di Pantai Ceureumen, dan berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Tak hanya menguasai, Kohler dan pasukannya pun membakar masjid tersebut di hadapan rakyat Aceh.

Cut Nyak Dien yang melihat peristiwa tersebut seketika memberang. Ia pun berseru, "Lihatlah wahai orang-orang Aceh, tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita menjadi budak Belanda?"
Kendati berhasil memenangkan perang pertama dan menewaskan pimpinan pasukan Belanda, yakni Kohler, pertempuran belum berakhir. Di bawah pimpinan berikutnya, yakni Jenderal Han van Swieten, daerah VI Mukim, yang notabene tempat tinggal Cut Nyak Dien, berhasil dikuasai Belanda. Setahun berikutnya, Keraton Sultan pun jatuh. Hal itu membuat Cut Nyak Dien dan rombongan kaum ibu lainnya di sana mengungsi pada Desember 1875.

Pada 29 Juni 1878, suami Cut Nyak Dien, yakni Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran melawan Belanda ketika tengah berupaya merebut kembali VI Mukim. Hal itu membuat Cut Nyak Dien semakin geram dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Pada momen ini, tokoh pejuang rakyat Aceh lainnya, Teuku Umar, akhirnya melamar Cut Nyak Dien. Pada awalnya Cut Nyak Dien menolak pinangan tersebut. Namun, karena Teuku Umar mengizinkan dan mempersilakannya untuk terjun dalam pertempuran melawan Belanda, Cut Nyak Dien akhirnya menerima dan menikah dengannya pada 1880. Hal tersebut meningkatkan moral semangat perjuangan rakyat Aceh untuk melawan kaphe ulanda (Belanda Kafir).

Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien kembali berjuang untuk melawan pasukan Belanda. Pada 1893, Teuku Umar sempat melakukan siasat dengan berpura-pura menyerahkan diri dan menjalin kerja sama dengan Belanda. Hal itu dilakukan untuk mengetahui berbagai strategi perang Belanda.
Siasat itu berhasil dilaksanakan. Setelah tiga tahun berkamuflase, Teuku Umar kembali berbalik memerangi Belanda. Tak ayal Belanda harus terus menerus mengganti jenderal perangnya di Aceh kala itu. Namun nahas, pada Februari 1899, Teuku Umar harus wafat akibat tertembak oleh pasukan Belanda dan Cut Nyak Dien kembali kehilangan suaminya.

Kepergian Teuku Umar sangat memukul perasaan Cut Gambang, anak Cut Nyak Dien dari pernikahannya dengan Teuku Umar. Di tengah kesedihan Cut Gambang, Cut Nyak Dien sempat berkata, "Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada orang yang sudah syahid."

Kendati kembali harus kehilangan suami, hal itu tak membuat Cut Nyak Dien gamang dan mengerutkan naluri perjuangannya. Ia memimpin pertempuran melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.

Namun, kondisi Cut Nyak Dien memang semakin renta. Matanya pun mulai rabun. Melihat kondisi demikan, sisa pasukan yang dipimpinnya merasa sangat iba dan tak tega padanya. Karena perasaan iba dan tak tega itu, salah satu pasukan Cut Nyak Dien, yakni Pang Laot Ali, akhirnya memberikan informasi terkait keberadaan markasnya bersama Cut Nyak Dien kepada Belanda. 

Cut Nyak Dien akhirnya berhasil ditangkap Belanda dan dibawa ke Banda Aceh, sebelum akhirnya dibuang ke Sumedang Jawa Barat pada akhir 1906. Kendati demikian, Cut Gambang, berhasil melarikan diri ke tengah hutan ketika ibunya dikepung oleh Belanda.

Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien wafat dalam pembuangannya di Sumedang. Berdasarkan keterangan, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959. Pencarian makamnya dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Pada batu nisan makam Cut Nyak Dien, diketahui terangkum riwayat hidupnya, kemudian tertera juga surah at-Taubah dan al-Fajr, serta hikayat rakyat Aceh.
Pergerakan perempuan tidak hanya sampai disitu, ada beberapa tokoh-tokoh yang juga berperan dalam pergerakan dan perjuangan perempuan. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

Dewi Sartika ( Pelopor gerakan wanita di Jawa barat ). Ia mendirikan sekolah dengan nama Sekolah keutamaan istri.

Maria Walanda Maramis ( Pelopor gerakan wanita di Minahasa, Sulawesi Utara ). Ia mendirikan organisasi PIKAT ( Percintaan Ibu kepada anak Temurun nya )
Soewarni Jayasepoetra ( Pelopor gerakan wanita di Bandung, Jawab Barat). Mendirikan organisasi wanita Istri sedar yang bergerak di bidang politik dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mariah Oelfah dan Ibu Soenarjo Mangoenpoespito.  Pendiri organisasi istri Indonesia dengan tujuan mencapai Indonesia Raya.

NYI Hajar Dewantoro ( Istri Hajar Dewantoro, aktif di Taman Siswa)
Ibu Ahmad Dahlan ( Istri pendiri Moehammadijah Haji Ahmad Dahlan, aktif di organisasi wanita dibawah Moehammadijah Aisyah) dan lain-lain.

Jika dibandingkan dengan era sekarang kondisi atau permasalahan perempuan cukup beragam antara lain masih adanya pendeskriminasian dalam hal pendidikan, dibatasinya perempuan dalam mengeluarkan pendapat dan terpengaruhi nya dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih serta kurang nya ruang-ruang bagi para perempuan untuk mengeksploitasi dirinya dengan hal-hal yang bermanfaat.

Adapun solusi atau rekomendasi dari permasalahan tersebut adalah pemerintah berupaya memberikan kebebasan berpendapat dan bertindak baik itu dalam hal pendidikan dan birokrasi serta adanya kesetaraan gender yang artinya tidak ada perbedaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki.

Kamis, 12 Desember 2019


Budaya Literasi sebagai Rahim Generasi dan Tangan Peradaban
Oleh
Immawati Asrini

“ Penguatan budaya literasi adalah kunci memajukan negeri ini ” kata Lenang Manggala, salah satu penulis dan Penggagas gerakan menulis Indonesia.
Berangkat dari kutipan itu, Urgensi daripada budaya Literasi memiliki peran penting dalam memajukan sebuah bangsa dan negara. Untuk menggalakkan gerakan dan budaya Literasi tentunya yang menjadi pelaku utama adalah para tunas bangsa atau generasi muda sebagai pemegang tonggak peradaban. Generasi muda punya tanggung jawab besar untuk membumikan kembali budaya literasi. Budaya literasi harus senantiasa digaungkan oleh mereka yang sadar akan pentingnya literasi di semua lini kehidupan.
Sebelum terlalu jauh membahas tentang seberapan pentingnya generasi muda dalam membangun peradaban melalui budaya literasi, perlu kiranya menelisik kembali seperti apa itu literasi.
Kata Literasi berasal dari Bahasa latin “ Littera ” ( huruf ) yang mempunyai defenisi arti, sesuatu yang melibatkan penguasaan terhadap sistem-sistem tulisan serta konvensi yang menyertainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Literasi sangat erat kaitannya dengan dunia Keberaksaraan, Membaca dan Menulis. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Graff ( 2006 ) bahwa “ Literasi adalah suatu kemampuan untuk menulis dan membaca ”.
Berbicara dalam konteks literasi, sebenarmya bukan hal yang asing lagi untuk diperdengarkan dan diperbincangkan, karena melihat dari sudut pandang sejarahnya, jauh sebelum kita lahir dan mengenal literasi itu sendiri di Era Milennial ini, ternyata Literasi sudah menjadi bagian dari kehidupan dan perkembangan manusia dari Zaman pra sejarah sampai Zaman Modern. Namun pada zaman pra sejarah manusia kala itu hanya mampu membaca tanda-tanda alam untuk berburu, dan mempertahankan diri. Mereka menulis symbol-simbol dan gambar buruannya pada dinding gua. Ini membuktikan bahwa jauh sebelum dicetuskannya nama “ Literasi ” praktik-praktik daripada kegiatan literasi sudah tercerminkan dalam tindakan atau kegiatan manusia pada zaman itu. Akan tetapi seiring perkembangan Zaman, memasuki era sekarang atau biasa dikenal dengan Era Milennial dimana masyarakat terjebak dalam lingkar “ masyarakat multimedia (cyber society) ” mengalami degradasi dalam berliterasi karena mengakarnya budaya instan yang disediakan oleh teknologi yang semakin canggih. Contoh kecil nya saja, generasi muda yang dulu nya gemar membaca dan menulis kini lebih tertarik dengan bermain game dan aktif di dunia medsos yang ada di smartphone nya. Ini membuktikan bahwa di era digital dengan segala  tawaran fitur-fitur nya yang dapat mempermudah dan mengakses berbagai informasi malah menjadi boomerang bagi generasi muda. Hasil penelitian Programme for international  student Assessment ( PISA ) tahun 2016 menyebutkan bahwa minat membaca siswa di Indonesia menduduki urutan ke 69 dari 76 negara yang di survei. Dari indeks membaca, rata-rata penduduk Indonesia hanya membaca 4 judul buku setahun dan masih jauh dari standar UNESCO yaitu 7 judul buku dalam setahun. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih jauh ketinggalan dari negara lain. Masihkah kita sebagai generasi muda, diam melihat hal ini ? tidak bergetar kah jiwa kita untuk bergerak dan memberikan sebuah perubahan melalui literasi ? Memilih menjadi pelaku atau penikmat dari sebuah perubahan ? Sekiranya kita sebagai generasi muda harus sadar akan posisi sebagai agent of change atau pemberi perubahan, semoga saja masih senantiasa terpatri dalam diri. 
Tentunya banyak hal yang harus dilakukan dalam membudayakan dan membumikan gerakan literasi itu sendiri diantaranya ialah menumbuhkan kembali minat baca, menulis, berdiskusi, dsb. Hal yang paling utama ialah berbekal kesadaran, bahwa literasi itu adalah sebuah kebutuhan setiap manusia dan merupakan tangan peradaban.
 “ Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas karakter, kompetensi dan kesejahteraan hidup seseorang adalah dengan menanamkan budaya literasi. Dan cara terbaik untuk menanamkan budaya literasi yang kuat pada seseorang adalah dengan menjadikannya sebagai seorang penulis, karena setiap penulis, secara otomatis akan melewati tahapan membaca, berpikir dan tentu saja menulis serta berkreasi ”. –Lenang Manggala

Sendiri membaca, Berdua berdiskusi dan Bertiga bergerak.

Minggu, 01 Desember 2019

IMM
(Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)


Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ialah organisasi mahasiswa islam di Indonesia yang memiliki hubungan struktural dengan organisasi Muhammadiyah dengan kedudukan sebagai organisasi otonom. Memiliki tujuan Mengusahakana terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) didirikan di Yogyakarta pada tangal 14 Maret 1964, bertepatan dengan tanggal 29 Syawal 1384 H. Dibandingkan dengan organisasi otonom lainya di Muhammadiyah, IMM paling bungsu dilahirkan di bandingkan Seperti. Organisasi otonom lainnya seperti NA, PM, dan IPM.

Kelahiran IMM dan keberadaannya hingga sekarang cukup sarat dengan sejarah yang melatarbelakangi, mewarnai, dan sekaligus dijalaninya. Dalam konteks kehidupan umat dan bangsa, dinamika gerakan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, serta kehidupan organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada, bisa dikatakan IMM memiliki sejarahnya sendiri yang unik.

Hal ini karena sejarah kelahiran IMM tidak luput dari beragam penilaian dan pengakuan yang berbeda dan tidak jarang ada yang menyudutkannya dari pihak-pihak tertentu. Pandangan yang tidak apresiatif terhadap IMM ini berkaitan dengan aktivitas dan keterlibatan IMM dalam pergolakan sejarah bangsa Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an; serta menyangkut keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada waktu itu.

Ketika IMM dibentuk secara resmi, itu bertepatan dengan masa-masanya HMI yang sedang gencar dirusuhi oleh PKI dan CGMI serta terancam mau dibubarkan oleh rezim kekuasaan Soekarno. Sehingga kemudian muncul anggapan dan persepsi yang keliru bahwa IMM didirikan adalah untuk menampung dan mewadahi anggota HMI jika dibubarkan. Logikanya dalam mispersepsi ini, karena HMI tidak jadi dibubarkan, maka IMM tidak perlu didirikan.

Anggapan dan klaim yang mengatakan bahwa IMM lahir karena HMI akan dibubarkan, menurut Noor Chozin Agham, adalah keliru dan kurang cerdas dalam memberi interpretasi terhadap fakta dan data sejarah. Justru sebaliknya, salah satu faktor historis kelahiran IMM adalah untuk membantu eksistensi HMI dan turut mempertahankannya dari rongrongan PKI yang menginginkannya untuk dibubarkan.

Sebenarnya ada dua faktor integral yang menjadi dasar dan latar belakang sejarah berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Yang dimaksud dengan faktor intern adalah faktor yang terdapat dan ada dalam organisasi Muhmmadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern adalah hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada di luar Muhammadiyah, yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta dinamika gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.

Faktor intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis dari dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham, dan cita-cita Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita dan merefleksikan ideologinya itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan dan berinteraksi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang majemuk. Ada masyarakat petani, pedagang, birokrat, intelektual, profesional, mahasiswa. dan sbagainya.

Interaksi dan persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk merealisasikan maksud dan tujuannya itu, cara dan strateginya bukan secara langsung terjun mendakwahi dan memengaruhinya di kampus-kampus perguruan tinggi. Tetapi caranya adalah dengan menyediakan dan membentuk wadah khusus yang bisa menarik animo dan mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan mengenai pentingnya wadah bagi mahasiswa tersebut lahir pada saat Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat Abad Kelahiran Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu dicetuskan pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan universitas atau perguruan tinggi Muhammadiyah.

Namun demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung terwujud, karena pada saat itu Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi sendiri. Untuk menjembataninya, maka para mahasiswa yang sepaham, atau mempunyai alam pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu diwadahi dalam organisasi otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda Muhammadiyah, serta tidak sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal 18 November 1955, Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun 1936, yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang. Pada tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta, kemudian di Yogyakarta berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah, dan Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta, yang kemudian berkembang menjadi Universitas Muhammadiyah Jakarta. Keinginan demikian, cita-cita untuk membentuk organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum bisa terbentuk juga pada waktu itu. Karena kendala utamanya Muhammadiyah yang waktu itu masih menjadi anggota istimewa Masyumi terikat Ikrar Abadi umat Islam yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah satu isinya menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah HMI.

Sejak kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali memunculkan ide tentang perlunya organisasi yang khusus mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu, menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun 1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini pula upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963 mulai diadakan penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang idenya berasal dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh Ir. Margono, dr. Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.

Dorongan untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga datang dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti Nurwijoyo Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang lainnya. Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda Muhammadiyah waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M. Djazman Al Kindi sebagai Sekretaris Umum mengusulkan kepada PP Muhammadiyah yang waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi untuk mendirikan organisasi khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atas usul Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret 1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan “Enam Penegasan IMM” oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:

  1. Menegaskan bahwa IMM adalah gerakan mahasiswa Islam.
  2. Menegaskan bahwa kepribadian Muhammadiyah adalah landasan perjuangan IMM.
  3. Menegaskan bahwa pungsi imm adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah.
  4. Menegaskan bahwa imm adalah Organisasi yang sah dengan mengindahkan segala bentuk uu dan falsafah negara.
  5. Menegaskan bahwa ilmu adalah amaliah dan amala adalah ilmiah.
  6. Menegaskan bahwa IMM adalah lilLahi Ta’ala dan seenantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.

Salah satu Tokoh Pahlawan Nasional Indonesia pelopor perlawanan gerilya Jendral Soedirman mengatakan bahwa "Sungguh berat menjadi kader muhammadiyah bila ragu dan bingbang lebih baik pulang" pesan ini menandahkan bahwa tidak mudah nya menjadi kader muhammadiyah jika kita tidak serius lebih baik mundur, tapi ada satu pesan yang terbesit saat penulis menulis ini "selagi kita masih dalam lingkup dan hidup di Muhammadiyah maka tidak dan bukan mengapa kita harus keluar dalan organisasi kemahasiswaan selain IMM dan ortom kepemudaan yang lain di Muhammadiyah.

 "Hidup hidupilah Muhammadiyah" KH Ahmad Dahlan yang mengartikan bahwa jangan numpang hidup di Muhammadiyah,  ketika saya dapat belajar dan saling mengenal sema sodara saya di karenakan IMM maka tidak ada alasan untuk meninggalkan Ikatan merah maron ku dan satu satu nya yang bisa di lontarkan adalah mengabdi.


IMM-JAYA
JAYALAH-IMM-KU
IMM-FISIP-RESPONSIF

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...