Kamis, 09 April 2020

Dilema dan Diorama Lockdown Sebagai Solusi dari Rakyat dan Kebijakan Darurat Sipil Yang diterapkan Pemerintah Indonesia Sebagai Kebijakan Yang Gagap-Gugup dan Semrawut dalam menghadapi Zaman Pagebluk Covid-19

“Dilema dan Diorama Lockdown Sebagai Solusi dari Rakyat dan Kebijakan Darurat Sipil Yang diterapkan Pemerintah Indonesia Sebagai Kebijakan Yang Gagap-Gugup dan Semrawut dalam menghadapi Zaman Pagebluk Covid-19”

Oleh: 
IMMawan Muh. Nur Fikran (Bung Mufin)



           Setiap anak muda itu kritis, yang membedakannya adalah ada yang bergerak dan ada yang diam atau kurang bergerak. Kritis tidak diukur dari pemikiran karena semua orang mampu untuk berpikir, kritis harus di ukur dari seberapa mampu seseorang menempatkan dan mengkomposisikan antara aksi dan reaksi nya. Dalam hal ini seseorang yang mampu beraksi tapi tak mampu membuat orang bereaksi dalam aksinya dan sebaliknya pun begitu maka ke kritisan nya sebagai anak muda hanyalah sebuah permainan pemikiran belaka saja seperti keadaan saya saat ini.

Sekapur Sirih dari Bung Mufin

             “Virus Corona berjalan melalui pintu depan sebagai monster yang tidak asing”, sebut Mike Davis, penulis buku Planet of Slums. Dia ingin mengatakan bahwa sistem ekonomi kita saat ini, telah mengakibatkan terus munculnya wabah penyakit baru atau bentuk mutasi yang baru. Wabah tersebut bukan akibat eksternalitas produksi, akan tetapi konsekuensi dari produksi, sehingga digambarkan bahwa monster itu datang melalui “pintu utama”, tidak melalui “jendela” atau bahkan “atap rumah”. Kini wabah Covid-19 telah menyebar di lebih dari 190 negara di dunia. Orang-orang mengalami kepanikan sekaligus ketakutan. Tidak sedikit dari mereka yang kebingungan dalam menjelaskan fenomena apa yang sedang mereka hadapi saat ini. Baru seumur hidupnya masyarakat menyaksikan tentang kota yang sebelumnya riuh tak kenal waktu, menjadi begitu sepi, dan tentang mesin-mesin industri yang akhirnya berhenti beroperasi. Jika perang senjata memaksa pemerintah memobilisasi warga, perang melawan Covid-19 warga justru didemobilisasi agar diam di rumah.   
             Zaman pagebluk (atau pandemi) yang saat ini sedang terjadi dan sedang berlangsung benar-benar telah menghantui umat manusia. Baru-baru ini, virus Covid-19 atau Sars-CoV-2 menyebar ke penjuru dunia dengan korban telah mencapai 532.936 orang dan 24.094 orang di antaranya meninggal dunia. Sekitar 35 lembaga akademik dan perusahaan tengah berpacu dengan waktu untuk membuat vaksin demi mencegah terus jatuhnya korban. Dengan vaksin, maka akan menumbuhkan antibodi yang berfungsi melindungi sel tubuh manusia dari serangan patogen Covid-19. Meskipun secara normal dibutuhkan waktu sampai satu dasawarsa untuk melakukan uji coba vaksin hingga akhirnya imunisasi secara global dapat dilakukan, namun di tengah bahaya virus ini, pengembangan vaksin sembari juga pengembangan obat untuk penderita Covid-19 terus dipercepat.
            Sejarah telah menunjukan kepada kita, bahwa Covid-19 bukanlah wabah pertama yang memangsa banyak korban. Selama sekitar seabad terakhir, bermunculan wabah penyakit jenis baru atau bentuk mutasi baru. Pada tahun 1918, pagebluk Flu Spanyol yang dipercaya berasal dari patogen di unggas, menginfeksi seperlima populasi manusia di dunia dan menewaskan sekitar 50 juta orang. Pada tahun 1976, wabah Ebola yang berasal dari patogen di kelelawar buah Afrika Barat menginfeksi 33.577 korban dan 13.562 orang meninggal dunia; pada awal abad 21 tepatnya tahun 2002, wabah SARS menyebar, menginfeksi 8.096 orang dan menewaskan 774 orang; tidak berselang lama muncul wabah H1N1 yang berasal dari patogen di babi pada tahun 2009, virus ini menginfeksi 1.632.258 korban dan 284.500 orang meninggal dunia; tiga tahun berselang muncul wabah MERS yang berasal dari patogen di kelelawar, menjangkiti 2.494 orang dan menewaskan 858 orang.
             Berbagai virus yang disebutkan di atas berubah menjadi penyakit bukan tetiba muncul tanpa sebab, tetapi merupakan hasil hubungan antara manusia dengan non-manusia (alam semesta selain manusia, karena manusia bagian dari alam, sebagaimana juga virus, hewan, dan tumbuhan). Berbagai penelitian, salah satunya dilakukan oleh Rob Wallace, menyebutkan bahwa patogen yang merupakan bibit virus atau bakteri yang hidupnya membutuhkan medium atau berparasit di hewan (dijadikan inang), saat ini semakin terdesak di habitat aslinya yaitu di hutan-hutan atau lautan yang berusia ribuan atau bahkan jutaan tahun. Oleh karena hutan-hutan semakin menipis karena dijadikan sebagai area perkebunan atau pertambangan, sementara tempatnya berparasit semakin punah, maka patogen itu terus bermutasi. Hewan tempat patogen berparasit juga sering diburu dan dijadikan makanan bagi manusia. Setelah sebelumnya dapat dikalahkan oleh antibodi atau imun di tubuh manusia, mutasi patogen itu akhirnya bisa berparasit di tubuh manusia hingga membuat manusia sakit. Proses ini yang memicu wabah Covid-19 sebagaimana juga penyakit yang disebabkan oleh virus Ebola, SARS, H1N1, dan MERS.
             Penyakit jenis lain yang sekarang juga terus mengintai manusia, adalah penyakit yang dihasilkan oleh industri pertanian dan peternakan modern—yang sebelumnya merusak ruang hidup patogen. Kedua industri ini melakukan mutasi genetik terhadap tanaman dan hewan agar menjadi lebih produktif dan cepat menghasilkan keuntungan. Bahan-bahan kimia bahkan digunakan untuk semakin menyuburkan tanaman atau menggemukkan ternak, sehingga dampaknya bagi manusia sudah jelas, bahwa kesehatan mereka dipertaruhkan. Penggunaan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) atau pestisida dalam industri pertanian contohnya, telah menyebabkan jenis penyakit baru bagi manusia dan merusak ekologi. Begitupula dengan logika efisiensi dan efektifitas untuk memaksimalisasi keuntungan dalam industri peternakan, membuat hewan dipaksa tumbuh dan besar diluar habitat serta tanpa makanan alaminya. Pertanian, penernakan, dan industri modern ini telah menciptakan keretakan metabolisme sosial. Keretakan terjadi karena metabolisme alam terganggu akibat penjarahan yang dilakukan oleh manusia secara berlebihan, sehingga terjadi kerusakan alam dan kepunahan flora-fauna. Alam dan hewan (termasuk patogen) yang sebelumnya dapat hidup beriringan dengan manusia, pada titik tertentu menjadi tidak beriringan lagi. Akibatnya, dalam bahasa Engels, terjadi “pembalasan” dari alam semesta sehingga menimbulkan bencana alam hingga wabah yang mengancam kehidupan manusia.
             Kemunculan wabah ini menjadi semakin berbahaya karena ketidakmampuan pemerintah dalam hal pencegahan dan penanganan. Kita dapat melihat pada pagebluk Covid-19 ini, dikedepankannya pertumbuhan ekonomi, telah membuat keselamatan warga digadaikan. Jejak digital kelas penguasa di media sosialnya atau pernyataan dan kebijakan mereka yang diliput media memperlihatkan ideologi mereka kepada kita. Bencana pagebluk Covid-19 ini membuka tabir gelap kekuasaan dan menunjukan keberpihakan mereka yang sebenarnya. Aparatus pemerintahan Jokowi contohnya, mereka seperti memancing di air keruh. Di saat virus mulai menyebar dengan cepat menjangkiti warga Wuhan sejak Desember 2019, kemudian pada Januari 2020 mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia, pemerintah justru memanfaatkan situasi dengan mempromosikan pariwisata Indonesia di hadapan dunia—yang sedang dilanda bahaya. Kelas penguasa berupaya menutupi wabah ini justru demi mendongkrak ekonomi. Dampaknya begitu fatal, pada saat korban pertama mulai diumumkan secara resmi oleh pemerintah pada 02 Maret 2020, penanganan kesehatan dan pencegahan agar pagebluk ini tidak menyebar tampak begitu amburadul. Dampak dari ketidaksiapan pemerintah telah membuat delapan tenaga kesehatan yang menangani korban Covid-19 harus meninggal karena minimnya fasilitas medis untuk upaya penanganan. Sementara korban lain diping-pong karena ketidakjelasan alur penanganan dan pembiayaan. Hal ini jelas menjadi tanggungjawab pemerintah, karena sedari awal cenderung abai dan mementingkan kepentingan bisnis semata.
             Saat ini, pasar saham mengalami kehancuran, resesi semakin meluas dan mengarah ke krisis ekonomi. Covid-19 dituding oleh kelas penguasa sebagai penyebab ambruknya ekonomi kapitalisme. Pemerintah Amerika Serikat bahkan menggelontorkan 2 Trilun USD (jika dirupiahkan adalah 32 Beliun rupiah) dana talangan kepada dunia bisnis untuk menyangga tiang ekonomi yang semakin rapuh. Alih-alih digunakan untuk menyelamatkan warga dari bahaya Covid-19, dana tersebut justru digunakan untuk menutupi kerugian korporasi. Harvey dengan seksama menunjukan bahwa krisis tidak terjadi karena Covid-19, akan tetapi karena sejak awal ekonomi kapitalisme pasca krisis tahun 2008 sudah semakin rapuh. Cepat atau lambat, krisis itu akan terjadi, Covid-19 datang sebagai penyulutnya.
          Dampak dari resesi ekonomi ini, diperkirakan membuat 25 juta pekerja terancam dipecat atau dipotong upahnya. Ketakutan terjadi bukan hanya karena Covid-19, namun lebih dari itu, bagi kelas pekerja yang bergantung dengan upah, mereka lebih takut jika harus dipecat. Hal yang sama dialami oleh pekerja informal, di tengah himbauan untuk tidak keluar rumah, membuat pendapatan harian mereka macet karena semakin sedikitnya pembeli atau pengguna jasa mereka. Ketakutan terkait kerjaan ini, membuat kelas pekerja yang tidak memungkinkan untuk Work from Home (kerja dari rumah) tetap berangkat kerja ke pabrik. Mereka seperti bertarung di tengah ancaman virus yang setiap detik bisa jadi menikamnya. Mereka terus dipaksa bekerja oleh pengusaha yang tidak mau menutup pabriknya, karena jika itu dilakukan, maka potensi keuntungan yang didapat menghilang. Di tengah semakin cepatnya penularan pagebluk Covid-19, perdebatan yang muncul adalah apakah lockdown diperlukan atau tidak. Dari sini kita dapat melihat di sisi mana pemerintah dan masing-masing kelompok berpihak. Pemerintah menyatakan sikap menolak lockdown, dengan alasan bahwa akan memperburuk kondisi ekonomi, walaupun ada isyarat, bahwa lockdown akan dilakukan ketika jumlah korban meninggal semakin besar dan tidak terkendali. Sekali lagi kita dihadapkan dengan sebuah fakta, bahwa kepentingan ekonomi dijadikan pertimbangan utama dibanding dengan keselamatan warga. Itu mengapa pemerintah membiarkan para pekerja formal tetap bekerja di tengah marabahaya seperti ini. Dalam tulisan ini, kita dapat melihat bahwa dunia sedang dalam marabahaya dan spesies manusia terancam punah sebagaimana flora-fauna yang telah punah sebelumnya. Kemunculan Covid-19 bukanlah virus terakhir yang sangat berbahaya bagi manusia, akan tetapi ketika mutasi patogen terus terjadi (karena tempatnya berparasit semakin punah), bukan tidak mungkin virus yang lebih mengerikan akan kembali muncul. Kondisi ini disebabkan oleh pola hubungan antara manusia dengan non-manusia yang tidak lagi selaras, karena manusia melakukan perusakan terhadap alam semesta. Tidak semua dari kita melakukan perusakan tersebut, yang melakukan adalah segelintir orang yang digerakan oleh hukum umum sistem ekonomi yang berjalan saat ini, yaitu kapitalisme.
          Dalam hukum umum ekonomi kapitalis, dorongan akumulasi menjadi roh utama di tengah hukum memaksa dari kompetisi di pasar, bahwa yang kalah akan bangkrut dan yang menang akan berakumulasi. Itu sebabnya, kita melihat bagaimana sistem ini bersifat rakus, membabat hutan, menjarah alam, mengeksploitasi manusia, hingga menggunakan bahan kimia dan memutasi gen ternak untuk mencapai tujuan utamanya: keuntungan sebesar-besarnya. Kita dapat melihat bahwa dorongan akumulasi telah berperan dalam dua lapis bagi kelahiran bencana kapitalisme ini. Pertama, sistem ini berkontribusi pada munculnya virus yang menyerang manusia. Kedua, karena sistem ini mengutamakan aspek ekonomi, maka mengabaikan keselamatan warga pada saat virus menyebar menjadi pagebluk. Oleh karena itu, jika sistem ekonomi ini masih terus berjalan, maka zaman pagebluk yang semakin parah akan terus menghantui kita. Untuk menghentikan hantu-hantu krisis itu, maka kita perlu menghentikan pula kapitalisme dan sudah saatnya membangun sistem ekonomi alternatif: ekososialisme.
           Pagebluk Covid-19 telah merugikan semua orang, akan tetapi, mungkin salah satu penerima manfaatnya adalah “Bumi” yang saat ini kita tinggali. Selama proses karantina berlangsung di beberapa tempat, polusi udara di Bumi berkurang begitu drastis; sungai di Venesia (Italia) yang sebelumnya keruh, menjadi bening dengan ikan-ikan yang menampakan diri ke permukaan; dan langit yang biru akhirnya dapat dinikmati di Kota Jakarta, Wuhan, hingga Manhattan. Bumi secara alami memulihkan tubuhnya. Perubahan iklim yang mengancam seluruh kehidupan yang ada di planet ini akhirnya dapat direm. Menyaksikan kondisi Bumi tampak sejuk nan asri, beberapa orang menyatakan bahwa “virus corona adalah vaksin untuk menyembuhkan Bumi dari kerusakan yang diakibatkan oleh virus yang bernama manusia.” Pernyataan tersebut mendapatkan respon positif di media sosial dan bahkan sempat trending di twitter pada pertengahan Maret 2020. Ada cuitan yang menulis bahwa “jika manusia musnah, maka Bumi pasti akan indah.” Mereka seolah bersorak riang merayakan pagebluk ini.
           Dari pertanyataan tersebut sebenarnya kita mendapati argumentasi yang kontradiktif: mengapa mereka yang mengklaim dirinya virus dan merusak Bumi, tidak mengakhiri hidupnya atau moksa, namun justru begitu senang menyaksikan Bumi begitu nyaman dan layak huni? Apakah benar kita semua bertanggungjawab atas kerusakan di Bumi? Apakah benar bahwa kita virus sementara Covid-19 adalah vaksin untuk menyingkirkan manusia yang berparasit di Bumi?
            Anggapan di atas pada kenyataannya keliru dan justru menyederhanakan masalah yang ada. Sebuah studi pada tahun 2017 menunjukan bahwa hanya 100 perusahaan yang bertanggung jawab atas 71% emisi gas rumah kaca secara global. Perusahaan-perusahaan besar di bidang perkebunan kelapa sawit dan kedelai dalam perhitungan Greenpeace bahkan akan menghancurkan sekitar 50 juta hektar hutan hanya dalam tahun 2020. Penghancuran hutan dan ekosistem alami lainnya oleh industri pertanian ini juga memusnahkan keanekaragaman hayati Bumi, diperkirakan sekitar satu juta spesies terancam punah. Dari data ini, kita dapat melihat bahwa tidak semua manusia menjadi pelaku penghancuran ekologi. Dengan gamblang kita dapat menyebut bahwa pelaku perusakan adalah perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki oleh para konglomerat (atau disebut juga sebagai kapitalis). Perusahaan-perusahaan milik satu persen orang terkaya itu yang saat ini menguasai lebih dari separuh ekonomi dunia. Para petani kecil, tukang becak, pedagang asongan, hingga tukang bangunan, yang Soekarno menyebutnya sebagai kaum marhaen, bukanlah “virus” yang menyakiti Bumi sebagaimana yang turut dituduhkan. Untuk bisa makan bergizi seminggu sekali saja mereka kesusahan bagaimana mungkin mereka turut berkontribusi pada rusaknya metabolisme alam. Jika berbicara dalam konteks konsumsi, 10% konsumen terkaya setiap harinya menggunakan lebih dari setengah sumber daya energi di dunia hanya untuk bepergian. Jet pribadi yang orang super kaya gunakan mengeluarkan karbon dioksida 20 kali lebih banyak dari pada pesawat komersial biasa.] Sementara itu, sebagian besar orang, terutama di Bumi Selatan, menginjakan kakinya ke pesawat saja bahkan tidak pernah. Artinya, dalam ranah produksi hingga konsumsi, hanya segelintir manusia saja yang merusak Bumi.
          Kita perlu bertanya, apakah orang-orang kaya misal Jeff Bezos bersalah sebagai individu? Artinya ketika mereka telah tiada maka Bumi dapat aman dari perusakan?
          Mari kita berandai-andai, anggap saja 100 orang terkaya di dunia meninggal dalam waktu yang berdekatan, apakah membuat tidak ada lagi manusia yang menghancurkan ekologi? Coba kita balik pertanyaannya, jika kaum marhaen yang sebelumnya miskin, kita kembali berandai-andai, tetiba salah seorang dari mereka diberi kepemilikan pabrik batu bara atau pabrik semen, apakah mereka tetap tidak merusak lingkungan seperti ketika dia masih miskin?
          Tentu jawabannya adalah tidak. Mengubah siapa yang memiliki properti tanpa mengubah cara properti itu dikelola adalah jalan buntu. Kita dapat menganalisisnya dengan pendekatan materialisme historis, bahwa selama manusia mendiami Bumi, tidak selama itu pula Bumi ini dirusak dan dihancurkan dengan membabi buta. Keberadaan manusia awal (hominid) di Bumi sudah berlangsung jutaan tahun. Sebagian besar kehidupan manusia di Bumi dihabiskan dengan cara selaras bersama alam. Dalam catatan sejarah, menunjukan kerusakan ekologi telah berpengaruh terhadap kehidupan manusia sejak masa peradaban kuno, masyarakat kuno Mesopotamia dan Maya diyakini runtuh akibat masalah ekologi. Pada masa Yunani Kuno, Plato (427-347 SM) menulis tentang adanya kerusakan hutan yang mengakibatkan tanah menjadi gersang. Kerusakan lingkungan pasti akan berakibat pada rusaknya metabolisme alam, sehingga alam tidak mampu memperbaiki dirinya secara alami. Kerusakan lingkungan ini yang dengan gamblang kita saksikan saat ini. Proses perusakan alam secara besar-besaran baru terjadi secara sistematis pada abad ke delapan belas, pada saat kapitalisme mulai lahir.
            Sebelum kapitalisme, hubungan manusia dengan alam semesta non-manusia berjalan tidak saling meniadakan. Itu karena secara esensial, manusia adalah bagian dari alam semesta. Tanpa alam semesta, manusia tidak akan dapat hidup. Manusia mengambil (apropriasi) sesuatu dari Bumi (bahan mineral, tumbuhan, atau hewan) untuk kebutuhan mendasarnya, yaitu makan-minum dan sarana berekspresi. Dengan itu, manusia dapat menjalankan tugas historisnya: kerja. Itu mengapa Marx menyebut kerja pada dasarnya adalah “tindakan alam semesta”, karena kerja merupakan ekspresi dari energi alam.
             Bagian dari Bumi yang diambil oleh manusia, karena dengan besaran sebatas untuk tujuan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten), dapat kembali diperbaiki oleh metabolisme alam. Cara kerjanya seperti metabolisme di tubuh manusia, karena metabolisme tubuh manusia adalah bagian dari metabolisme alam. Ketika tubuh kita tergores pisau dan berdarah, maka metabolisme tubuh bekerja untuk menyembuhkan luka tersebut. Namun, ketika luka di tubuh kita begitu dalam dan begitu parah, maka metabolisme tubuh kita kesulitan untuk menyembuhkannya. Begitupula ketika patogen (virus atau mikroorganisme) berparasit di tubuh manusia, jika kita dalam kondisi normal, maka sistem imun dari metabolisme tubuh dapat mengalahkan virus tersebut. Akan tetapi ketika patogen terus bermutasi dan menjadi lebih kuat, maka imun tubuh mengalami kesulitan menyingkirkannya. Patogen itu menjadi semakin kuat dan menyebar hingga merusak organ tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian. Dalam sejarah dunia, hanya pada era kapitalisme, manusia melakukan perampokan secara besar-besaran terhadap alam semesta non-manusia. Itu bukan karena jumlah manusia masih sedikit sebagaimana perspektif Malthusian dan juga bukan karena teknologi belum berkembang pesat seperti sekarang. Sebelum kapitalisme, yaitu para era perbudakan dan feodalisme, cara produksi yang berlangsung tidak mendorong manusia untuk terus merampok alam, berbeda dengan kapitalisme. E.M. Wood dengan presisi menunjukan bahwa kelahiran kapitalisme dimulai ketika muncul dorongan untuk akumulasi akibat adanya hukum memaksa dari pasar di perdesaan Inggris pada abad ke delapan belas. Dorongan tersebut yang berkembang dan meluas mengakibatkan adanya akumulasi primitif. Proses akumulasi primitif ini yang melahirkan kelas sosial baru, yaitu kelas kapitalis yang memiliki sarana produksi (modal), dan kelas buruh (proletariat) yang hanya memiliki tenaga kerjanya untuk bertahan hidup, sehingga mereka harus menjualnya ke kapitalis untuk mendapatkan upah.
            Dengan dorongan akumulasi, maka ekonomi kapitalisme berjalan dengan brutal. Bagi Marx, modal adalah nilai yang mengembangkan dirinya untuk mencapai tingkat akumulasi yang begitu besar dan tanpa mengenal batas. Oleh karenanya, modal menerjang setiap penghalang bagi tujuan ekspansinya, termasuk hukum metabolisme alam. Itu mengapa para kapitalis saling bertarung untuk mendapatkan sumber kekayaan di dunia, yaitu alam dan tenaga kerja. Mereka dipaksa oleh mekanisme pasar untuk terus berkompetisi. Untuk dapat memenangkan kompetisi, maka mereka harus menjarah sebanyak-banyaknya alam dan mengeksploitasi sebanyak mungkin manusia. Liebig mencatat pada awal abad ke 19, terjadi perampokan besar-besaran guano (kotoran burung) di Peru untuk keperluan pertanian modern yang dikembangkan oleh para kapitalis pertanian di Inggris. Guano digunakan sebagai pupuk alami. Kritik Liebig ada dua hal, pertama bahwa penggunaan guano telah memaksa tanah menjadi subur diluar kapasitas alaminya sehingga pada titik tertentu akan merusak unsur hara dalam tanah; kedua, perampokan guano secara besar-besaran untuk menunjang sistem pertanian modern di Inggris akan merusak kondisi reproduksi untuk generasi mendatang. Di era kapitalisme modern saat ini, perusakan ekologi terjadi dengan sangat begitu mengkhawatirkan dan lebih intensif dibanding gambaran Liebig pada awal abad ke 19. Perusahaan-perusahaan besar seakan tidak ada lelahnya untuk mengambil apapun yang memiliki potensi menjadi keuntungan.
            Dalam sistem yang berjalan saat ini, tidak akan pernah ada pemilik modal yang puas dengan kekayaan yang dimilikinya. Modal harus terus mereka gerakkan untuk terus mendulang keuntungan. Ketika mereka berhenti saja berakumulasi, artinya mereka tengah bunuh diri. Para pesaingnya dengan mudah merebut pangsa pasarnya; bahan baku mereka dapat kapan saja habis; teknologinya akan ketinggalan jika tidak inovasi; para pekerja mereka akan terus menua; kekayaan mereka di bank akan tergerus inflasi; dan bagi kapitalis super kaya, sistem politik yang berubah dapat kapan saja mengadilinya atas kejahatan perusakan alam atau eksploitasi manusia yang mereka lakukan.
            Tindakan barbar sistem ekonomi yang berlangsung saat ini, telah merusak segala lini alam semesta. Di bagian sebelumnya, saya telah menunjukan tentang kemunculan wabah penyakit bagi manusia. Patogen yang hidupnya berparasit pada media tertentu—habitat alaminya adalah di hewan liar—karena perusakan alam yang masif, telah membuat tempatnya berparasit semakin punah. Untuk dapat bertahan hidup patogen ini terus bermutasi, itu mengapa jenis virus corona ada begitu banyak (salah satunya Coronavirus Diseases 2019 atau Covid-19). Saat ini, habitat patogen begitu dekat dengan manusia, apalagi makanan dari hewan liar menjadi sektor yang terus menerus dikapitalisasi karena potensi keuntungan yang besar. Berbagai wabah seperti flu spanyol, Ebola, SARS, MERS, H1N1, hingga Covid-19 terjadi sebagai dampak dari proses sirkulasi modal yang memaksa patogen berparasit di tubuh manusia. Para pemilik modal telah mengakumulasi modal kekayaan dengan cara merampok alam hingga rusak dan mengeksploitasi pekerja hingga reproduksi sosialnya terganggu. Dua hal itu dilakukan demi mencapai maksimalisasi keuntungan. Atas dorongan akumulasi, kita dapat melihat bahwa hampir seluruh hal yang ada di Bumi ini berupaya dikapitalisasi untuk menjadi keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Namun, keuntungan dari segelintir orang itu telah mengakibatkan malapetaka bagi seluruh kehidupan di planet ini—terutama bagi kelas pekerja. Dampaknya, perubahan iklim membawa planet ini terus mendekati kehancuran dan wabah penyakit akibat mutasi patogen terus mengancam populasi manusia. Kita harus menyadari bahwa masalah ekologis saat ini terkait dengan sistem ketidaksetaraan global yang mensyaratkan penghancuran ekologis dan eksploitasi pekerja. Dengan demikian, kelas pekerja bukanlah “virus” yang merusak Bumi, tetapi justru kelas pekerja adalah korban dari sistem ekonomi kita saat ini. Pada saat krisis ekonomi atau krisis ekologi, kelas pekerja adalah orang yang paling menerima dampaknya padahal mereka tidak menjadi penyebab krisis tersebut.
           Krisis diproduksi oleh cara kerja kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi-politik, bukan oleh individu per individu. Sehingga untuk melindungi keberlanjutan kehidupan manusia di masa depan dan alam semesta secara keseluruhan, maka kita perlu menghentikan sistem kapitalisme ini. Tanpa itu, sistem ini akan terus memproduksi keuntungan materi untuk segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang.
            Kembali ke judul essay yang saya tulis, Wacana karantina wilayah atau lockdown semakin berhembus kencang paska peningkatan dan persebaran Covid-19 di Indonesia yang dinilai telah sangat mengkhawatirkan. Namun jika benar-benar diterapkan, apakah Indonesia telah siap dengan seluruh konsekuensi terburuk yang berpotensi terjadi termasuk chaos?
             Pekan lalu, India mengalami situasi yang bisa dikategorikan sebagai kekacauan atau chaos setelah implementasi lockdown baru bergulir kurang dari satu minggu. Kalangan yang rentan seperti buruh migran mengalami PHK massal, sementara kaum ekonomi bawah mengalami kelaparan, hingga terjadinya eksodus besar-besaran. Sebuah konsekuensi logis dari implementasi kebijakan dengan fundamental yang rapuh. Beberapa negara di dunia belakangan telah mengambil langkah lockdown untuk meminimalisir sekaligus menghentikan penyebaran Covid-19. Terminologi lockdown yang telah diimplementasikan negara-negara tersebut dapat dikategorikan kepada dua jenis yaitu total lockdown dan partial lockdown.
               Total lockdown sebagai protokol kedaruratan sendiri telah diterapkan di Tiongkok yang merupakan episentrum Covid-19. Di sana, karantina diterapkan dengan cakupan wilayah yang besar serta melarang seluruh aktivitas warganya tanpa terkecuali. Tercatat 14 kota selain Wuhan, dan sekitar 60 juta penduduk terdampak lockdown ini. Selain itu, Italia dan Perancis sebagai negara yang juga terdampak parah pandemi inipun menerapkan jenis lockdown yang sama, bahkan menerapkan karantina total negara. Sementara partial lockdown merupakan karantina wilayah dengan pembatasan aktivitas masyarakat yang potensial bagi penyebaran virus seperti sekolah dan perkantoran, perkumpulan publik, dan penagguhan penerbangan keluar dan masuk negara. Namun, beberapa aktivitas masih dapat dilakukan dengan tetap menjaga jarak antar satu dengan yang lain seperti berbelanja kebutuhan hingga olahraga luar ruangan. Malaysia dan Filipina telah menerapkan lockdown jenis ini.
               Namun, definisi dan penerapan lockdown sendiri cenderung variatif di berbagai negara sesuai dengan situasi serta kebijakan pemerintah masing-masing. Hal ini dapat diinterpretasikan pula sebagai perbedaan pertimbangan teknis hingga kemampuan setiap negara dalam menilai seluruh konsekuensi dari penerapan lockdown. Ketika pandemi terjadi dan opsi lockdown diterapkan oleh sebuah negara atau wilayah, tentu akan berdampak langsung kepada seluruh masyarakatnya tanpa terkecuali. Antoine Flahault, kepala unit epidemiologi populasi Geneva University Hospitals Swiss mengatakan bahwa wilayah Lombardy di Italia adalah salah satu wilayah terkaya di Eropa dengan segala fasilitas yang sangat baik, sumber daya manusia dan perawatan kesehatan yang juga sangat baik. Namun, saat ini penduduknya justru harus berjuang untuk bertahan dalam kesulitan terburuk di tengah total lockdown dan terus meningkatnya kasus Covid-19 di Italia.
            Fakta  tersebut menunjukkan, ketika situasi sudah diluar prediksi, berbagai kalangan dapat terdampak dan menderita dengan kombinasi situasi pandemi dan lockdown. Wilayah dengan tingkat masyarakat kalangan atas serta ekonomi yang tinggipun dapat turut terpuruk ketika pandemi berujung penerapan lockdown. Jika wilayah dengan tingkat ekonomi penduduk serta fasilitas yang sangat baik turut terguncang cukup hebat ketika lockdown diterapkan dalam upaya penanganan pandemi Covid-19, bagaimana dengan konsekuensi terhadap penduduk di wilayah atau negara dengan tingkat ekonomi, ketahanan serta fasilitas yang rendah?
              Mengenai konteks konsekuensi lockdown sendiri sangat beragam di berbagai negara di dunia. Dan jika berbicara mengenai konsekuensi, tentu tidak lagi hanya terkait dengan penanggulangan virus itu sendiri saja, namun juga merambah ke persoalan yang jauh lebih kompleks seperti potensi krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, hingga kekacauan (chaos) horizontal maupun vertikal.
              Jika ditelaah secara mendalam, pandemi Covid-19 saat ini telah mempengaruhi aspek psikis hampir seluruh masyarakat di dunia. Terutama jika kita kaitkan dengan terus memuburuknya atmosfer perekonomian dan turunannya yang terkait erat dengan kelangsungan hidup masyarakat. Efek lockdown akibat Covid-19 yang dapat dipahami terjadi di masyarakat saat ini adalah kecemasan massal atau collective anxiety. Eyal Winter dalam “Collective Anxiety: Why Bad News Turns Us on and Good News Bores Us” mengungkapkan bahwa dalam situasi sulit akibat Covid-19 ini, kecemasan massal di masyarakat cenderung meningkat ke level yang tidak bisa diprediksi. Selain ketiadaan pilihan lain dalam situasi sulit, kecemasan massal juga mempengaruhi kualitas pengambilan keputusan rasional serta perlakuan kita terhadap sesama.
             Konteks yang disebutkan oleh Winter terlihat jelas di India, di mana meskipun baru berjalan lima hari sejak diterapkan, India langsung terhantam telak akibat efek lockdown yang diterapkan di negara tersebut untuk menekan terus bertambahnya kasus Covid-19. Di Delhi khususnya, kekacauan terjadi pada saat warga yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh mulai dilanda kepanikan akibat kehilangan pekerjaan dan penghasilan sehingga tidak punya cukup uang untuk bertahan hidup. Jutaan pekerja migran itu kemudian berbondong-bondong memadati terminal bus untuk eksodus ke kampung halaman atau wilayah lainnya.
            Dibatasinya akses transportasi kemudian memicu penumpukan masif ribuan orang di terminal-terminal bus dan otomatis tidak ada physical distacing sebagai salah satu upaya paling efektif saat ini untuk mencegah penyebaran Covid-19. Bahkan banyak di antaranya yang memilih eksodus dengan berjalan kaki dalam kondisi kehausan dan kelaparan. Situasi memprihatinkan tersebut sampai saat ini telah menewaskan puluhan orang. Problematika itu menjadi semakin ironis ketika mereka mau tidak mau harus membawa keluarga mereka eksodus dengan kondisi memprihatinkan, namun justru dipukul mundur ketika sampai perbatasan antar negara bagian.
            Tidak hanya mengakibatkan terjadinya eksodus, kepanikan massal juga mengakibatkan terjadinya fenomena pembelian masif atau panic buying seluruh kebutuhan pokok oleh masyarakat di India. Hal ini dikhawatirkan oleh para pedagang akan menimbulkan peningkatan harga dan kelangkaan yang parah, setidaknya hal tersebut dinilai telah mulai terasa saat ini. Berdasarkan karakteristiknya, India dan Indonesia sebenarnya memiliki kesamaan sebagai sebuah negara dalam beberapa aspek di antaranya kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di Ibu Kota, sama-sama mengalami pertumbuhan ekonomi namun ketimpangan masih jamak terjadi, hingga pada banyaknya pekerja yang masih mengandalkan upah harian. Kemudian apakah dengan adanya kesamaan beberapa aspek dengan India, apakah penerapan lockdown di Indonesia nantinya juga akan berbuntut kekacauan?
            Penanganan Covid-19 di India dan Indonesia menampilkan beberapa kesamaan, namun sayangnya dengan kecenderungan negatif. Pemerintah India di bawah Perdana Menteri Narendra Modi dianggap mentolerir pemikiran tidak ilmiah serta telah meremehkan para ahli dan pakar, dan merusak upaya kementerian kesehatan untuk memerangi informasi yang salah. Serupa, pemerintah Indonesia di awal cenderung mengabaikan rekomedasi dan peringatan para ahli akan potensi Covid-19 yang telah masuk beserta dampaknya jika tidak segera terdeteksi. Nirtransparansi juga menjadi isu yang dinilai acapkali diperagakan pemerintahan Jokowi. Akibatnya, hingga saat ini deteksi serta penanganan Covid-19 di Indonesia belum maksimal.
             Berdasarkan beberapa similaritas tersebut, tentu wacana lockdown oleh pemerintah Indonesia harus merefleksikannya dengan kekacauan yang terjadi di India. Ketahanan atau resilience secara konkret dari setiap komponen bangsa, mulai dari masyarakat hingga seluruh pihak terkait yang terlibat selama lockdown diterapkan, harus benar-benar kuat jika tidak ingin kekacauan terjadi. Mengutip Trenton A. Williams dalam “Organizational Response to Adversity: Fusing Crisis Management and Resilience Research Streams”, ketahanan umumnya digunakan untuk menggambarkan organisasi, sistem, ataupun individu yang mampu bereaksi dan pulih dari tekanan atau gangguan dengan efek minimal serta stabilitas yang baik.
              Di Indonesia sendiri, konsep ketahanan nasional telah secara komprehensif dikaji oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) untuk diimplementasikan ketika dibutuhkan. Astagatra sebagai model ketahanan nasional yang dimiliki Indonesia sangat relevan dan dapat diterapkan di saat-saat genting di mana mengatur aspek-aspek fundamental seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan dan keamanan.
           Dari aspek ekonomi misalnya, Indonesia harus cermat merealokasi anggaran sebelum melakukan lockdown, baik total maupun partial, yang belum diputuskan hingga kini, dan justru dinilai menimbulkan kesan lamban. Membandingkan dengan India, khusus demi lockdown, pemerintah di bawah kepemimpinan Modi menggagarkan Rp 353 triliun dari jumlah penduduk yang mencapai 1,3 miliar orang. Sementara dari sisi pertahanan dan keamanan, India cenderung semakin menerapkan upaya represif di bidang ketertiban di masa-masa lockdown yang kian berdampak buruk. Dan jika lockdown diterapkan di Indonesia kemudian terjadi turbulensi, komponen keamanan yang kita miliki harus difungsikan agar seminimal mungkin melakukan tindakan represif dalam menegakkan kondusifitas lockdown. Hal inilah yang sampai saat ini juga belum terlihat perencanaannya.
         Tentu dari fakta itu kita bisa melihat bagaimana India dengan anggaran besar yang sudah disiapkan masih mengalami serangkaian kekacauan ketika lockdown diterapkan. Dengan kondisi yang ada saat ini, Indonesia sebenarnya dinilai belum siap menerima potensi guncangan serta kekacauan yang mungkin timbul dari penerapan lockdown. Terbaru, Presiden Jokowi menyatakan bahwa lockdown tidak akan dilakukan, yang ada adalah kombinasi social dan physical distancing atau disampaikan dengan sebutan “pembatasan sosial berskala besar” disertai kebijakan darurat sipil. Hal itu tentu dinilai membingungkan dan berpotensi memunculkan ambiguitas pada saat penerapannya, terutama momok istilah darurat sipil di masa lalu.
        Dari sisi masyarakat, pengelolaan kesadaran dan aspek psikis untuk tetap berada di titik rasional menjadi sangat penting agar ketika kebijakan lockdown akhirnya diterapkan. Itu tentunya untuk menjamin agar lockdown ala Indonesia ini dapat berjalan optimal serta dapat terhindar dari potensi kekacauan atau chaos yang destruktif. Agar nantinya Pemerintah tidak menyebabkan kita semua sebagai warga dan pemangku kepentingan yang paling fundamental bagi negara Indonesia itu berada dalam keadaan yang dilematis karena kesimpangsiuran akan usulan yang ditawarkan oleh masyarakat  dan solusi yang diterapkan oleh Pemerintah dalam menanggapi Pandemi Covid-19 yang pada faktanya dinilai negatif karena kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah berupa pembatasan dalam skala besar disertai kebijakan darurat sipil tersebut mandek untuk menghentikan ataupun mencegah penyebaran virus SARS-Cov-2 yang semakin hari pun semakin menjadi-jadi. Tentu menyikapi kenyataan ini kita semua sebagai rakyat merasa resah, gelisah dan ketakutan akan kenyataan pahit tersebut, namun tentunya kita sebagai rakyat dan sebagai pemangku kepentingan yang paling fundamental dalam kehidupan bernegara seyogyanya perlu bersikap tegas dan tenang dan juga harus turut membantu pemerintah dalam menanggapi Pandemi Covid-19 dengan tetap mengikuti arahan yang dinilai positif dari pemerintah sembari tetap berusaha semaksimal mungkin mengusulkan solusi yang terbaik untuk mengakhiri pagebluk Covid-19  ini. Begitu pun sebaliknya, pemerintah tentu harus lebih sigap dan hati-hati serta tidak boleh menutup mata dan telinga dalam menentukan formulasi kebijakan dan implementasi yang tepat dengan tetap mendengar dan mempertimbangkan dengan serius usulan rakyat demi untuk mencapai niat dan hajat baik bersama-sama dan menciptakan suasana pemerintahan yang positif sesuai dengan asas demokrasi dan tentunya dalam rangka untuk mengakhiri penderitaan rakyat sembari membina dan menjaga stabilitas negara ihwal ekonomi politik negara akibat butterfly effect dari resesi ekonomi kapitalisme global yang melanda dunia termasuk negara bagian ketiga seperti negara Indonesia negara kita yang tercinta ini. Kebijakan darurat sipil kiranya perlu direvisi atau kalo perlu di batalkan saja karena masyarakat menilai utamanya penulis menilai kebijakan tersebut  tidak sesuai dengan urgensi dan realitas yang di hadapi masyarakat yang lebih membutuhkan kebijakan dan tindakan nyata dari pemerintah untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar rakyat yang saat ini berada dalam keadaan krisis dibanding kebijakan pengamanan dan penertiban berupa kebijakan darurat sipil yang pada kemungkinan implikasinya akan menyebabkan tindakan represif dan diskriminatif terhadap rakyat seperti di negara India. Jadi sekali lagi, pengkajian dan pertimbangan kebijakan apa yang perlu diambil oleh Pemerintah harus berdasarkan pada falsafah negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas bernegara dan sebagai dasar konstitusi negara, agar nantinya dan tentunya sekarang juga ketika pemerintah mengambil dan menerapkan kebijakan atas nama rakyat dan negara Indonesia tidak menghasilkan diorama yang berbau negatif dan kondisi di lapangan yang dilematis yang pada akhirnya menempatkan nasib rakyat alih-alih sejahtera dan terselamatkan dari pagebluk SARS-COV-2 justru terkatung-katung dan luntang-lantung seperti saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...