Sabtu, 31 Oktober 2020

Melalui Program Care of kader, PIKOM IMM FISIP Salurkan bantuan untuk Alika



Oleh : Bidang MK PIKOM IMM FISIP

Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (PIKOM IMM FISIP) Universitas Muhammadiyah Makassar, menyalurkan donasi untuk Nur Alika balita yang menderita tumor pada lidahnya yang berasal dari Kmp.Tiamampua Kel. Manggalekana Kec. Labakkang Kab. Pangkep Sulawesi Selatan, Sabtu (31/10/2020).

Open donasi yang di lakukan PIKOM IMM FISIP berlangsung selama seminggu melalui sosial media.

Penyaluran bantuan ini terlaksana melalui program Care of kader, sebagai gerakan humanisasi atau kepekaan sosial kader kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mahasiswa tidak hanya fokus pada peningkatan intelektual dan spiritual nya namun perlu kecerdasan sosial.

Hal senada disampaikan oleh Ketua PIKOM IMM FISIP, Immawati Aqidatul Izzah N.

"Ini merupakan bentuk rasa kepedulian kami dan rasa cinta kami sebagai mahasiswa sosial dan politik, yang sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu sesama," tandasnya.

Bantuan diterima langsung oleh Ibunda Alika di rumahnya, ia sangat berterima kasih atas bantuan yang di berikan dan kepada orang orang yang senantiasa peduli.

"Kami mengucapkan terima kasih banyak karena sudah peduli, dan meminta doanya agar anak kami Nur Alika bisa diberikan kesembuhan," katanya.

Ibunda Alika juga sedikit bercerita bahwa Alika trauma bertemu dengan orang baru.

"Ini Alika trauma ketemu orang baru, karena perkiraannya dia klo ada orang nakira mau disuntik untuk di ambil darahnya," ucapnya.

Rabu, 28 Oktober 2020

92 Tahun Sumpah Pemuda di Era Digital: Sebuah Catatan Bijakisme

Oleh: Muh. Nur Fikran (Sekretaris Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik Pikom IMM FISIP Unismuh Makassar)



28 Oktober 1928, bangsa Indonesia mengenalnya sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda yang merupakan peristiwa bersejarah dikenal sebagai salah satu tonggak bersatunya bangsa Indonesia. Para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul bersama di Kongres Pemuda.

Pada saat itulah dihasilkan tiga hal penting: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pada Kongres Pemuda ini pula lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan oleh Wage Rudolf Soepratman melalui gesekan biolanya.

Menurut Kepala Eksekutif RSPH, Shirley Cramer CBE, mengatakan candu media sosial lebih berbahaya bagi mental ketimbang kecanduan rokok dan alkohol yang merasuki kehidupan anak muda saat ini.

Semua jenis media sosial, terutama Instagram menurut survei RSPH, diasosiasikan dengan meningkatnya kadar gangguan kesehatan mental. Media sosial membawa pengaruh negatif, seperti merusak kualitas tidur, memicu perundungan, pencitraan tubuh, dan fobia FOMO (fear of missing out).

Memondialisasikan Jiwa Nasionalisme Pemuda di Era Digital

Nasionalisme pada zaman dahulu adalah cerita tentang kepahlawanan yang lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Lalu bagaimana dengan nasionalisme di era digital saat ini?

Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, membuat generasi muda Indonesia menjadi asing, dan seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi sosial yang sebelumnya terjadi secara tatap muka, kini telah berubah ke arah digital. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang nilai-nilai kebangsaan dan rasa nasionalisme kepada pemuda agar tidak melupakan identitas dan sejarah bangsa.

Kita Ketahui lebih dari 50 persen atau 143 juta orang terutama generasi muda terhubung dengan internet. Maka dari itu nasionalisme generasi muda dalam bidang teknologi harus ada. Misalnya, bagaimana inovasi yang dilakukan mampu memberikan dampak ekonomi yang besar, mempermudah dalam berbagai urusan kehidupan, dan mengangkat kedaulatan teknologi bangsa Indonesia. 

Ada 143,26 juta jiwa penduduk Indonesia sudah mengakses internet. Di era digital ini, orang-orang rela mengeluarkan biaya seperti paket data internet atau memasang wi-fi untuk memperoleh informasi.

Bahkan saat ini informasi masuk ke dalam kebutuhan pokok. Kalau dulu kebutuhan pokok kita ada 3 yaitu sandang, pangan, dan papan, sekarang kebutuhan pokok kita bertambah jadi 4, yaitu sandang, pangan, papan, dan informasi. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus meningkat sebesar 11 juta orang per tahunnya.

Tapi sayangnya pemuda di era digital saat ini, belum bisa mengendalikan teknologi, akan tetapi malah dikendalikan oleh teknologi. Sumpah pemuda merupakan salah satu tonggak perjuangan nasional yang digagas oleh para pemuda di nusantara. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaaan bahwa pemuda adalah warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan.

Pemuda Pengendali Kemajuan Bangsa

Dalam perjalanannya, para pemuda memegang peranan penting bagi kemajuan bangsa. Tidak terkecuali di era digital, dimana peran pemuda tidak bisa dipisahkan dengan internet dan media sosial. Di era digital, internet hampir dapat diakses oleh siapa saja tidak terkecuali oleh golongan pemuda. Faktanya hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2017 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa 63,47 persen pemuda pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir.

Faktanya, berdasarkan tipe daerah, 76,60 persen pemuda yang tinggal di daerah perkotaan pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir dan hanya 23,40 persen pemuda di daerah perkotaan yang tidak pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir.

Sementara pada daerah perdesaan pemuda yang mengakses internet tidak sampai setengahnya, yaitu hanya 47,39 persen. Hal ini dikarenakan kurangnya infrastruktur penunjang internet seperti akses sinyal provider telekomunikasi mempengaruhi angka penggunaan internet yang kecil.

Sedangkan jika dilihat dari tujuan mengakses internet  83,13 persen bertujuan untuk mengakses media sosial atau jejaring sosial dan hanya 16,87 persen yang mengakses internet tidak untuk media sosial. Selain itu, 66,09 persen mengakses internet untuk mendapatkan informasi/berita.

Data-data di atas mengindikasikan bahwa internet merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pemuda. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase pemuda yang sudah mengakses internet.

Menanamkan Nasionalisme di Era Digital

Sementara itu, informasi diperoleh dari internet sangat beragam, baik informasi yang bersifat fakta maupun informasi yang menjurus pada kebohongan (hoax). Oleh karena itu, pengguna internet harus dapat menyaring informasi yang diterima agar tidak terjebak dalam arus informasi yang meruntuhkan jiwa nasionalisme kebangsaan. Salah satunya adalah fenomena ujaran kebencian dan berita hoax yang mudah sekali diakses.

Potensi penggunaan internet di Indonesia memang semakin besar, dengan menumbuhkan nasionalisme kepada pengguna internet khususnya pemuda menjadi soal yang sangat penting untuk dijawab. Sehingga muaranya, pemuda mampu menggunakan internet dengan pertimbangan yang bijak demi kepentingan bangsa dan negara. Untuk itulah harus ada tindakan yang dilakukan pemerintah, yang mampu menyasar kaum muda (baca: millenial) tersebut yaitu;  Pertama – kampanye besar-besaran untuk menumbuhkan dan membangkitkan nasionalisme di berbagai media, baik of air maupun on air.

Kedua diadakan training untuk pemuda khususnya Pelajar dan Mahasiswa tentang nilai-nilai kebangsaan. Ketiga – mengubah sistem yang saat ini terjadi di SD, SMP dan SMA dan bahkan di perguruan tinggi, untuk berpendidikan dengan tidak mengejar hasil tapi proses. Hal yang ketiga paling berat dilaksanakan, karena terbatasnya infrastruktur pendidikan, Sehingga antara kurikulum dan kenyataan selalu berbeda. Pada akhirnya nilai lah yang berkuasa dan menentukan masa depan pelajar dan mahasiswa. Karena soal nilai lah maka tumbuhnya bisnis bimbingan belajar yang mencapai ratusan triliun rupiah.

Akhirnya hasil yang menentukan segalanya, karena aspek perilaku dan karakter pelajar dipinggirkan dan kalah dengan aspek kognitif. Bahkan dibuatlah test paling sulit, agar bisa menyeleksi pelajar yang memiliki hasil nilai ujian tinggi, bukan moral atau perilakunya yang tinggi. Karena masyarakat digital senang dengan yang instan, maka pada akhirnya nasionalisme tergusur akibat hasilisme, sehingga menyebabkan terpecah belahnya Indonesia di era digital.

Oleh karena itu penting melakukan tiga langkah di atas, karena pemuda lah dengan Sumpah Pemudanya, berhasil menjadikan Indonesia satu, jangan sampai Indonesia hancur di tangan pemuda, karena pemuda mampu berbuat segalanya. 

Tidak ada alasan bagi pemuda untuk mengelakkan diri dari perbenturan-perbenturan ataupun dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sebab di tangan pemuda ada obor api yang akan dibawa dan dijaga untuk masa depan bangsa dan negara. Jangan biarkan bunga itu layu di tangan anda saudara-saudara seperjuangan. 

Dengan adanya sistem digital, maka hal itu bisa menjadi problem solving untuk membuka kanal perjuangan baru dalam menyampaikan aspirasi, menjadi resolusi dalam memaksimalkan gerakan. Sehingga kegelisahan dan kegundahan pemuda mengenai sikon dan realitas sosial politik yang semakin kontraproduktif dengan konstitusi dan falsafah negara dapat terdengar, terkabar, dan terasa hingga di sanubari segenap masyarakat Indonesia agar seterusnya menjadi resolusi dalam mereformasi (baca: perubahan riil) sistem yang selama ini mengangkangi kedaulatan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.


“Keterbatasan itu jangan dijadikan sebuah pembenaran untuk tidak memberikan kontribusi pada bangsa.”


Selamat hari Sumpah Pemuda. Bangun Pemuda, Satukan Indonesia.


*Bila ada kesamaan narasi, kutipan kalimat, atau kata yang sama maka sejatinya kita se-frekuensi dan satu tarikan nafas perjuangan.






Minggu, 25 Oktober 2020

Catatan Kader Kebangsaan: Merefleksi 1 Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf

Oleh: Muh. Ari Fahmi (Direktur Kajian Kebangsaan SKB 7 PIKOM IMM FISIP)



1 Tahun sudah kita merasakan kepemimpinan Presiden dan Wakilnya (periode 2019-2024) yang sangat penuh dengan dinamika. Dalam bahtera kepemimpinan yang dinahkodai oleh Jokowi-Ma’ruf melahirkan konstelasi politik yang sangat dinamis.

Tentunya di dalam suatu birokrasi yang demokratis akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat terhadap kinerja para birokrat.

Di masa pemerintahan Presiden Jokowi memang patut kita apresiasi kinerjanya yang dimana salah satu programnya yang sangat kita rasakan, yaitu dengan pembangunan infrastruktur yang merata, dikarenakan infrastruktur inilah yang akan menunjang pertumbuhan perekonomian.

Namun dengan begitu masih banyak kinerja pemerintah yang belum memuaskan sehingga banyak mendapat sorotan dan kritikan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu problem yang kita hadapi dari awal kemerdekaan hingga reformasi saat ini, yaitu terkait dengan pengelolaan SDM yang belum efektif.

Pengelolan potensial SDM menjadi salah satu faktor utama untuk kemajuan sebuah negara, agar nantinya SDA dapat terkelolah dengan tujuan mensejahterakan masyarakat bisa tercapai, yang dimana sudah jelas termaktum dalam konstitusi dasar negara kita (UUD tahun 1945).

Dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Tentunya inilah menjadi dasar yuridis hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Subtansi dan esensi UU tersebut harus mampu dipertanggungjawabkan dan diimplementasikan oleh intansi terkait.

Belakangan ini di masa pandemi Covid-19 negara kita mengalami begitu banyak problematika, mulai dari gelombang PHK yang besar-besaran hingga ekonomi kita mengalami resesi. Tentunya ini menjadi PR besar bagi pemerintah agar menimalisir dampak dari pandemi ini.

Di masa krisis saat ini sebagian masyarakat menganggap bahwa pemerintah kurang kompeten dalam penaganan pemutusan rantai penyebaran wabah penyakit dan dampak dari pandemi Covid-19. Ratusan Terliunan anggaran yang dialokasikan belum sepenuhnya terkelolah dan terealisasi dengan efektif.

Merujuk ke persoalan RUU Omnibus Law yang saat ini di berbagai wilayah mendapat penolakan untuk disahkan, dikarenakan seharusnya pemerintah terlebih dahulu fokus terhadap pemutusan rantai penyebaran virus ini, namun justru sangat bernafsu untuk mengesahkan Omnibus Law.

Berdasarkan rencana awal, pengesahan Omnibus Law menjadi UU dilakukan pada Kamis (8/10/2020). Akan tetapi DPR dan pemerintah mempercepat. Baik proses pembahasan hingga legalitasnya. Dengan alasan pandemi, penutupan masa sidang dipercepat. Sehingga rapat paripurna pengesahan di tingkat legislatif dipercepat pada tanggal (5/10/2020).

Tentunya dengan agenda tersebut yang terkesan terburu-buru untuk dilaksanakan, menuai banyak kecurigaan sehingga menjadi paradoks dan polemik saat ini.

Subtansi produk hukum tersebut membahas 11 klaster, yaitu: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi.

Dengan banyaknya UU yang akan di bahas dalam Omnibus Law tentunya memerlukan waktu yang tidaklah singkat, diperlukannya kajian yang radikal dan fundamental, serta turut melibatkan seluruh elemen masyarakat yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut, untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan ini. Agar nantinya kebijakan yang dikeluarkan bisa terimplementasi dengan efektif. 

Dalam hal ini pentingnya pemerintah melakukan sosialisasi, transparansi, dan akuntabilitas terhadap seluruh masyarakat dalam pembahasan ini. Agar tidak terjadinya miskomunikasi yang berpeluang untuk menimbulkan hoax yang akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.

RUU yang telah di ketok palu pada rapat Paripurna, sampai saat ini  sangat sulit draft finalnya di akses oleh publik, jadi  wajar-wajar saja jika terjadi miskomunikasi, sehingga pemerintah tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang mendapat informasi menyimpang dari subtansi RUU tersebut, dikarenakan bisa saja pemerintah yang kurang memberikan edukasi terkait dengan hal ini.

Begitu banyaknya kejanggalan dalam proses pembuatan hingga pengesahan dalam regulasi tersebut di tingkat legislatif, sehingga gelombang massa Mahasiswa turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi sebagai representasi penyambung lidah rakyat.

Eksistensi solidaritas pergerakan Mashasiswa saat ini murni untuk menyuarakan aspirasi masyarakat agar kemesraan lembaga legislatif dan eksekutif terhadap oligarki tidak berlarut-larut. Pergerakan yang berangkat dari niat untuk menuntut keadilan tanpa di tunggangi dari pihak manapun.

Yang juga menjadi paradoks kita saat ini, yaitu sistem pemerintahan kita yang menganut sistem demokrasi namun Trias Politica yang tidak jalan sebagaimana mestinya, belum adanya pembagian kekuasaan yang real.

Lembaga-lembaga yang seharusnya independen yang mesti memprioritaskan kepentingan masyarakat banyak, namun masih saja bisa di intervensi.

Sistem Demokrasi yang identik dengan kebebasan berpendapat namun nyatanya kritikan di bungkam secara perlahan menggunakan pasal-pasal karet yang tumpang-tindih dengan dasar yuridis tertinggi dalam Pasal 28 UUD 1945 menyatakan bahwa: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya”.

Widji Thukul seorang penyair dan aktivis hak asasi manusia mengatakan: “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!"

Maka dari itu kita sebagai Mahasiswa tetap dalam satu ritme pergerakan yang murni untuk menegakkan keadilan di garda terdepan, namun dengan tatacara menyampaikan pendapat yang sudah di atur dalam UU No 9 Tahun 1998.

Mahasiswa yang dikenal dengan kaum yang berintekletual tentunya menyampaikan aspirasi dengan cara yang elegan, bukan dengan cara yang anarkis.

Jumat, 09 Oktober 2020

Omnibus Law: Sebuah Beleid Menuju Bobroknya Sistem Tata Kelola Negara

Oleh: Muh. Nur Fikran (Sekretaris Bidang Hikmah Pikom IMM FISIP Unismuh Makassar)


"Anda boleh menggiring kuda-kuda anda ke tepi sungai, tapi anda tidak bisa memaksa kuda-kuda itu untuk minum di sungai tersebut." (Pepatah Inggris)

Pada tulisan kali ini mengutip kalimat diatas sebetulnya penulis berpendapat bahwa ada suatu proses giring-menggiring, kurung-mengurung, dan pada akhirnya penjarahan dengan skenario yang sangat busuk pun dilakukan.

Dalam teori Max Weber dikatakan bahwa: "the state is human society that (successfully) claims themonopoly of the legitimate use of physical force within a given territory." Jadi negara pada dasarnya menurut Weber hakikatnya adalah memenopoli kekuasaan dalam sebuah sistem ketatanegaraan walaupun itu harus menggunakan cara yang represif dalam melegalkan kekuasaannya.

Menurut Maran (2001:190) Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kecenderungan seseorang untuk berperilaku sesuai kehendaknya. Gejala tersebut bersifat alamiah, karena pada hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas akan kepentingan dirinya terhadap orang lain.

Dalam prosesnya, politik banyak dimaknai sebagai kekuasaan dan legitimasi. Bahkan tahap sederhana pun dalam kehidupan manusia sudah terjadi proses politik tanpa disadari. Contohnya, seorang ayah menyuruh istrinya untuk membuatkan secangkir kopi baginya. Hal tersebut merupakan proses sederhana akan adanya politik dalam tahap kekuasaan. 

Namun seperti adagium awal yang menjadi tesis dalam tulisan ini bahwa sesungguhnya elit politik dalam sebuah negara mungkin boleh-boleh saja menggiring masyarakatnya ke dalam sistem kekuasaan yang sesuai keinginannya tapi sejatinya kekuasaan negara tidak pernah bisa memaksa masyarakat itu sendiri untuk tunduk dan patuh selaiknya budak tanpa ada perlawanan yang berarti, apalagi jika masyarakatnya memiliki pemikiran yang cerdas sejak dalam pikiran sehingga akan lebih sulit bagi kekuasaan negara untuk memaksakan kehendaknya pada rakyat yang telah kritis nalarnya dan memiliki aksentuasi gerakan yang liberatif pada tindakannya.


"Produk Kekuasaan Politik Yang Otoriter Itu Bernama Omnibus Law"

Berangkat dari kerangka paradigma teoritik diatas maka penulis mencoba mengkontekstualisasikannya pada situasi dan kondisi negara dan kebangsaan Indonesia. Jadi sebenarnya ada fenomena dimana elit (eksekutif dan legislatif) di senayan sana yang memiliki otoritas dan kekuasaan secara politik beberapa waktu terakhir ini berupaya melegitimasi kehendaknya pada 260 juta lebih masyarakat Indonesia dengan proses legislasi kebijakan yang penuh ketertutupan, keterburu-buruan, kecurangan, dan mengatasnamakan rakyat sebagai dalihnya.

Hal ini tentu diafirmasi oleh teori otoritas dan kekuasaan Weber, tapi Indonesia secara ideal adalah negara yang berangkat dari gagasan kebangsaan yang luhur dan dengan tegas menyatakan dalam deklarasi independence of state nya bahwa perbudakan, kemungkaran, kesewenang-wenangan, kecurangan, korupsi, dan segala bentuknya adalah lawan dari manifesto kemerdekaan Indonesia. 

Kemerdekaan asasi, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, kesejahteraan masyarakat umum, supremasi hukum dan hak-hak sipil politik adalah dasar prinsipil yang menjadi interpretasi dari visi dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang telah dicetuskan 75 tahun lamanya dan wajib hukumnya dipenuhi oleh pemerintah.

Secara sosiologi historis, Indonesia jelas negara yang menganut sistem demokrasi atau lebih tepatnya falsafah negara Pancasila sehingga monopoli kekuasaan demi kepentingan individu elit politik itu tidak benarkan bahkan hal tersebut dinilai inkonstitusional sebab negara Indonesia adalah bangsa yang kompleks dengan musyawarah, kebijaksanaan dan permufakatan menjadi asas utama dalam sistem tata kelola pemerintahan dan sifatnya absolut prinsipil sehingga setiap produk kebijakan baik itu UU dan segala bentuk regulasi yang ada dari pemerintah dan DPR yang menjadi manifestasi politik Indonesia mestilah berdasar pada Pancasila sebagai tujuan hidup bernegara dan berbangsa yang budi dan luhur.

Namun sayangnya, fakta realitas berbanding terbalik dengan tinjauan teoritis sosiologis tersebut sehingga terjadi suatu paradoks nan kontraproduktif bernegara dalam kacamata fenomenologis dimana nyatanya selama ini baik secara prosedural maupun substantif pemerintah dan DPR nir ikhtiar dalam mengakomodasi visi dan cita-cita Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara.

Sehingga 75 tahun lamanya persoalan kemiskinan struktural akut, pengangguran, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan dalam penegakan hukum, kejahatan HAM menjadi problematika kehidupan sehari-hari yang tidak tahu-menahu kapan masalah besar yang mengangkangi masyarakat sipil kelas menengah kebawah seperti buruh, petani, nelayan itu terselesaikan. Apa yang salah dari sistem ketatanegaraan dan tata kelola pemerintahan kita tercinta?

Jawabannya adalah kembali pada tinjauan teoritis sosiologis tadi bahwa secara paradigmatik negara kita yang mendasarkan pada konsep civil society dalam menjalankan amanat konstitusi dan falsafah negara dengan hukum dan politik menjadi instrumen utamanya. Namun dalam dinamikanya terjadi suatu kontradiktif dimana elit politik yang terpilih dalam mekanisme pemilihan umum secara moralitas dan etis menyeleweng, manipulatif dan koruptif dalam menjalankan tugasnya.

Sehingga setiap keputusan dan kebijakan politik yang diambil elit (baca: eksekutif dan legislatif) kita terus-menerus dan secara massif mengakomodasi kepentingan individual subjektif. Konsekuensi logis dan sistematisnya adalah bahwa kepentingan kolektif objektif menjadi imbasnya karena sederhananya DPR dan pemerintah yang memiliki wewenang dalam melaksanakan dan memastikan bahwa koridor Indonesia tetap dalam navigasinya yaitu berjalan pada amanat konstitusi dan falsafah negara malah mengalami kontrapolasi nir kemaslahatan.

Contoh konkritnya ialah dasar negara berubah makna dan aktualisasi nilai-nilai dimana ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, kebudayaan, dan keadilan sosial secara menyeluruh kini tergantikan dengan intoleransi, kebiadaban, ketidakpastian, ketidakberesan, ketidakadilan serasa menjadi absah ketika melihat sikon negara dan bangsa teraktual ini.

32 tahun masyarakat secara fisik dan psikis pernah mengalami trauma sejarah yang kelam dimana otoritarianisme, militerisme, dan imperialisme menjadi perihal lazim dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sipil dimana hal tersebut menjadi pil pahit dan pelajaran sejarah yang tak akan pernah terlupakan. Namun, mulai dari tahun 1998 sampai sekarang negara telah menata ulang asa dan ikhtiar nya melalui mazhab reformasi yang menjadi instrumen semiotik sistem ketatanegaraan dan tata kelola pemerintahan dengan good governance menjadi outputnya dimana semua pihak bisa mengakses dan bahkan memberikan interupsi jika itu diperlukan.

Sehingga tidak dibetulkan dan ilegal jika ada beberapa pihak yang mencoba untuk membangun dinasti politik yang otoriter dan otokritik di era baru ini karena UUD 1945 sebagai dasar konstitusi dan Pancasila sebagai falsafah negara sebagai legitimasi otoritas dan kekuasaan tertinggi tidak pernah membenarkan cara-cara yang kolot, busuk dan amoral seperti itu. 

"Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak." Setelah era orde baru runtuh maka lahirlah neo-orde baru, mungkin intuisi ini agaknya benar ntuk menjelaskan situasi dan kondisi negara hari ini melalui rezim pemerintahan jokowi-ma'ruf dimana cara-cara yang manipulatif dan koruptif menjadi barang yang mudah ditemukan dalam praktek kekuasaan di era modernisasi sekarang.

Dimulai dari inisiatif pemerintah dalam merancang program kebijakan dan diteruskan oleh DPR dalam meloloskannya lalu lahirlah simalakama. Dengan cara yang tidak saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, RUU Omnibus Law disahkan menjadi UU dalam waktu relatif singkat yaitu 100 hari padahal ada 79 UU dan 174 Pasal yang termuat di dalamnya. 

Sejak awal UU Omnibus Law yang prosesnya mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan tidak memenuhi tata cara pengukuhan perundang-undangan. UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah proses kecurangan legislasi karena cacat formil dimana Naskah Akademik nya dari sebelum sampai sesudah UU Omnibus Law ini disahkan itu sangat sulit diakses oleh publik dengan adanya privatisasi pemerintah dalam menyusun draf dan membahas RUU nya.

Padahal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sangat jelas menekankan bahwa mazhab hukum negara Indonesia adalah keterbukaan, keterlibatan, serta waktu dalam mekanisme pengukuhan perundang-undangan yang dalam prosesnya sangat prosedural dan substansial sehingga indikator keberhasilannya perlu diuji secara teoritis sosiologis naskah akademiknya, perlu konsultasi sosial dalam ditinjau drafnya secara substantif dan dikaji yurisdiksi nya secara mendalam dan menyeluruh.

Selain itu, dalam pengesahan UU Omnibus Law prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi masyarakat sipil disingkirkan sehingga UU Omnibus Law tidak hanya cacat secara formil namun juga inkonstitusional sebab indikator seperti konsultasi publik atau konsultasi pada pakar tidak terpenuhi di dalam proses pengundangannya.

Secara persepsi yuridis, metodologi penyeragaman kebijakan atau Omnibus Law tidak pernah memiliki dasar hukum karena dalam UU No 12 Tahun 2011 tidak pernah mengakomodir metode atau cara penyusunan kebijakan atau hukum seperti model Omnibus. Sehingga secara yurisprudensi, Omnibus Law intinya tidak berangkat dari ide-ide atau gagasan substansial melainkan berangkat dari kepanikan pemerintah dalam mengatur sistem ketatanegaraannya. Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengelola dana negara yang mulai mengalami resesi akibat pandemi.

Implikasi dari produk kebijakan Omnibus Law ini jelas mengembalikan kekuasaan yang neo-kolonialisme atau neo-orde baru dari persekongkolan elit politik dan oligarki di senayan. Beleidnya terang-terangan yaitu mengantarkan negara pada kebobrokan berbangsa yang amoral dan disintegritas bernegara yang nir etis.


Permasalahannya Omnibus Law Adalah Produk Kebijakan Pemerintah dan DPR Yang Cilaka

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Lagi-lagi peribahasa ini mungkin sangat tepat untuk menjelaskan apa yang pemerintah dan DPR kerjakan dimana mereka secara kompak melakukan pengkhianatan kepada rakyat melalui produk legislasi UU yang disusun menggunakan metodologi penyeragaman atau peleburan-penggabungan berbagai produk kebijakan berdasarkan dalih pemerintah yaitu produk kebijakan perlu diseragamkan karena berbagai kebijakan dianggap tumpang tindih dan berbelit-belit mekanisme pelaksanaannya.

Dengan alasan kuantitas investasi yang lebih namun kualitasnya buruk maka DPR dan pemerintah merasa perlu membuat kebijakan yang membuka keran investasi selebar-lebarnya agar penciptaan lapangan pekerjaan pun terbuka seluas-luasnya.

Paradigma pembangunan ekonomi yang seperti itu terkesan kuno karena sebenarnya ekosistem investasi di Indonesia itu baik-baik saja bahkan Indonesia masuk 20 besar sebagai penerima terbaik investasi asing di dunia pada tahun 2019 lalu. Bahkan, peranan investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di era pemerintahan Joko Widodo mencapai 34 persen dan terbilang yang tertinggi sepanjang sejarah RI.

Di lain sisi, secara faktual investasi yang selama ini dianggap menunjang pertumbuhan ekonomi nasional atau PDB itu tidak berbanding lurus dengan persoalan perbaikan ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia yang dalam kajian ekonomi politik menemukan hasil bahwa investasi masih belum mampu memberdayakan buruh dan kaum pekerja. 

Data rasio penambahan modal terhadap pertumbuhan ekonomi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) membuktikan bahwa efisiensi investasi dalam meningkatkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih mengalami kendala. 

Masalahnya adalah, kualitas investasi di Indonesia saat ini sangat minim dan hal tersebut bukan disebabkan oleh masalah ketenagakerjaan tetapi karena banyaknya korupsi dan birokrasi di dalam negeri yang berbelit. Namun paradoksnya ialah bukannya pemerintah merevitalisasi lembaga KPK untuk semakin massif dalam memberantas KKN serta menegakkan reformasi birokrasi yang efektif dan efisien dalam upaya memperbaiki kualitas investasi dan ketenegakerjaan. 

Malah ketenegakerjaan yang dilemahkan hierarki yurisdiksi nya dimana pengaturan upah, jaminan sosial, pesangon, waktu istirahat dan cuti, serta kontrak kerja dan outsourcing adalah hak-hak buruh yang telah diatur sedemikian rupa fungsi dan substansinya dalam No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan itu kemudian hendak dikebiri dalam UU Omnibus Law. 

Agenda reformasi 1998 yang mengeliminasi sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dengan menerapkan konsep otonomi daerah melalui TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Dan dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 

UU Omnibus Law hendak mengkorupsi agenda reformasi dengan mendekonstruksi desentralisasi lalu merevitalisasi sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat. Kedudukannya jelas Omnibus Law hanya bisa di dekonstruksi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah bahkan DPR sekalipun tidak memiliki hak veto atau menjalankan fungsi interupsi kebijakan jika dinilai ada yang bertentangan dengan amanat konstitusi dan falsafah negara.

Pada akhirnya bukan UU per UU dan Pasal per Pasal yang menjadi tolakan dalam produk kebijakan Omnibus Law atau 11 klaster pembahasan yang sarat konflik kepentingan di dalam Omnibus Law. Melainkan #MosiTidakPercaya adalah satu bentuk peringatan keras bahwa ada proses demokratisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat yang gagal di jalankan dengan baik oleh rezim pemerintah dan DPR saat ini karena telah berani dan terang-terangan melakukan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi UUD 1945 dan cita-cita luhur bangsa yang termaktub dalam falsafah negara Pancasila.

Seperti kata politisi Amerika, "Korupsi terbesar dalam pemerintahan itu adalah hilangnya kepercayaan." 



Note. Jika ada kesamaan narasi, kutipan kalimat atau tokoh maka sejatinya kita se-frekuensi dan satu tarikan nafas perjuangan.


*Tulisan ini dibuat sebagai bahan refleksi, telaah dan respon kritis terhadap UU Omnibus Law yang disahkan oleh DPR dan Pemerintah melalui Badan Musyawarah pada tanggal 5 Oktober 2020.

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...