Oleh: Muh. Nur Fikran (Sekretaris Bidang Hikmah Pikom IMM FISIP Unismuh Makassar)
"Anda boleh menggiring kuda-kuda anda ke tepi sungai, tapi anda tidak bisa memaksa kuda-kuda itu untuk minum di sungai tersebut." (Pepatah Inggris)
Pada tulisan kali ini mengutip kalimat diatas sebetulnya penulis berpendapat bahwa ada suatu proses giring-menggiring, kurung-mengurung, dan pada akhirnya penjarahan dengan skenario yang sangat busuk pun dilakukan.
Dalam teori Max Weber dikatakan bahwa: "the state is human society that (successfully) claims themonopoly of the legitimate use of physical force within a given territory." Jadi negara pada dasarnya menurut Weber hakikatnya adalah memenopoli kekuasaan dalam sebuah sistem ketatanegaraan walaupun itu harus menggunakan cara yang represif dalam melegalkan kekuasaannya.
Menurut Maran (2001:190) Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kecenderungan seseorang untuk berperilaku sesuai kehendaknya. Gejala tersebut bersifat alamiah, karena pada hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas akan kepentingan dirinya terhadap orang lain.
Dalam prosesnya, politik banyak dimaknai sebagai kekuasaan dan legitimasi. Bahkan tahap sederhana pun dalam kehidupan manusia sudah terjadi proses politik tanpa disadari. Contohnya, seorang ayah menyuruh istrinya untuk membuatkan secangkir kopi baginya. Hal tersebut merupakan proses sederhana akan adanya politik dalam tahap kekuasaan.
Namun seperti adagium awal yang menjadi tesis dalam tulisan ini bahwa sesungguhnya elit politik dalam sebuah negara mungkin boleh-boleh saja menggiring masyarakatnya ke dalam sistem kekuasaan yang sesuai keinginannya tapi sejatinya kekuasaan negara tidak pernah bisa memaksa masyarakat itu sendiri untuk tunduk dan patuh selaiknya budak tanpa ada perlawanan yang berarti, apalagi jika masyarakatnya memiliki pemikiran yang cerdas sejak dalam pikiran sehingga akan lebih sulit bagi kekuasaan negara untuk memaksakan kehendaknya pada rakyat yang telah kritis nalarnya dan memiliki aksentuasi gerakan yang liberatif pada tindakannya.
"Produk Kekuasaan Politik Yang Otoriter Itu Bernama Omnibus Law"
Berangkat dari kerangka paradigma teoritik diatas maka penulis mencoba mengkontekstualisasikannya pada situasi dan kondisi negara dan kebangsaan Indonesia. Jadi sebenarnya ada fenomena dimana elit (eksekutif dan legislatif) di senayan sana yang memiliki otoritas dan kekuasaan secara politik beberapa waktu terakhir ini berupaya melegitimasi kehendaknya pada 260 juta lebih masyarakat Indonesia dengan proses legislasi kebijakan yang penuh ketertutupan, keterburu-buruan, kecurangan, dan mengatasnamakan rakyat sebagai dalihnya.
Hal ini tentu diafirmasi oleh teori otoritas dan kekuasaan Weber, tapi Indonesia secara ideal adalah negara yang berangkat dari gagasan kebangsaan yang luhur dan dengan tegas menyatakan dalam deklarasi independence of state nya bahwa perbudakan, kemungkaran, kesewenang-wenangan, kecurangan, korupsi, dan segala bentuknya adalah lawan dari manifesto kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan asasi, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, kesejahteraan masyarakat umum, supremasi hukum dan hak-hak sipil politik adalah dasar prinsipil yang menjadi interpretasi dari visi dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang telah dicetuskan 75 tahun lamanya dan wajib hukumnya dipenuhi oleh pemerintah.
Secara sosiologi historis, Indonesia jelas negara yang menganut sistem demokrasi atau lebih tepatnya falsafah negara Pancasila sehingga monopoli kekuasaan demi kepentingan individu elit politik itu tidak benarkan bahkan hal tersebut dinilai inkonstitusional sebab negara Indonesia adalah bangsa yang kompleks dengan musyawarah, kebijaksanaan dan permufakatan menjadi asas utama dalam sistem tata kelola pemerintahan dan sifatnya absolut prinsipil sehingga setiap produk kebijakan baik itu UU dan segala bentuk regulasi yang ada dari pemerintah dan DPR yang menjadi manifestasi politik Indonesia mestilah berdasar pada Pancasila sebagai tujuan hidup bernegara dan berbangsa yang budi dan luhur.
Namun sayangnya, fakta realitas berbanding terbalik dengan tinjauan teoritis sosiologis tersebut sehingga terjadi suatu paradoks nan kontraproduktif bernegara dalam kacamata fenomenologis dimana nyatanya selama ini baik secara prosedural maupun substantif pemerintah dan DPR nir ikhtiar dalam mengakomodasi visi dan cita-cita Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara.
Sehingga 75 tahun lamanya persoalan kemiskinan struktural akut, pengangguran, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan dalam penegakan hukum, kejahatan HAM menjadi problematika kehidupan sehari-hari yang tidak tahu-menahu kapan masalah besar yang mengangkangi masyarakat sipil kelas menengah kebawah seperti buruh, petani, nelayan itu terselesaikan. Apa yang salah dari sistem ketatanegaraan dan tata kelola pemerintahan kita tercinta?
Jawabannya adalah kembali pada tinjauan teoritis sosiologis tadi bahwa secara paradigmatik negara kita yang mendasarkan pada konsep civil society dalam menjalankan amanat konstitusi dan falsafah negara dengan hukum dan politik menjadi instrumen utamanya. Namun dalam dinamikanya terjadi suatu kontradiktif dimana elit politik yang terpilih dalam mekanisme pemilihan umum secara moralitas dan etis menyeleweng, manipulatif dan koruptif dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga setiap keputusan dan kebijakan politik yang diambil elit (baca: eksekutif dan legislatif) kita terus-menerus dan secara massif mengakomodasi kepentingan individual subjektif. Konsekuensi logis dan sistematisnya adalah bahwa kepentingan kolektif objektif menjadi imbasnya karena sederhananya DPR dan pemerintah yang memiliki wewenang dalam melaksanakan dan memastikan bahwa koridor Indonesia tetap dalam navigasinya yaitu berjalan pada amanat konstitusi dan falsafah negara malah mengalami kontrapolasi nir kemaslahatan.
Contoh konkritnya ialah dasar negara berubah makna dan aktualisasi nilai-nilai dimana ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, kebudayaan, dan keadilan sosial secara menyeluruh kini tergantikan dengan intoleransi, kebiadaban, ketidakpastian, ketidakberesan, ketidakadilan serasa menjadi absah ketika melihat sikon negara dan bangsa teraktual ini.
32 tahun masyarakat secara fisik dan psikis pernah mengalami trauma sejarah yang kelam dimana otoritarianisme, militerisme, dan imperialisme menjadi perihal lazim dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sipil dimana hal tersebut menjadi pil pahit dan pelajaran sejarah yang tak akan pernah terlupakan. Namun, mulai dari tahun 1998 sampai sekarang negara telah menata ulang asa dan ikhtiar nya melalui mazhab reformasi yang menjadi instrumen semiotik sistem ketatanegaraan dan tata kelola pemerintahan dengan good governance menjadi outputnya dimana semua pihak bisa mengakses dan bahkan memberikan interupsi jika itu diperlukan.
Sehingga tidak dibetulkan dan ilegal jika ada beberapa pihak yang mencoba untuk membangun dinasti politik yang otoriter dan otokritik di era baru ini karena UUD 1945 sebagai dasar konstitusi dan Pancasila sebagai falsafah negara sebagai legitimasi otoritas dan kekuasaan tertinggi tidak pernah membenarkan cara-cara yang kolot, busuk dan amoral seperti itu.
"Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak." Setelah era orde baru runtuh maka lahirlah neo-orde baru, mungkin intuisi ini agaknya benar ntuk menjelaskan situasi dan kondisi negara hari ini melalui rezim pemerintahan jokowi-ma'ruf dimana cara-cara yang manipulatif dan koruptif menjadi barang yang mudah ditemukan dalam praktek kekuasaan di era modernisasi sekarang.
Dimulai dari inisiatif pemerintah dalam merancang program kebijakan dan diteruskan oleh DPR dalam meloloskannya lalu lahirlah simalakama. Dengan cara yang tidak saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, RUU Omnibus Law disahkan menjadi UU dalam waktu relatif singkat yaitu 100 hari padahal ada 79 UU dan 174 Pasal yang termuat di dalamnya.
Sejak awal UU Omnibus Law yang prosesnya mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan tidak memenuhi tata cara pengukuhan perundang-undangan. UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah proses kecurangan legislasi karena cacat formil dimana Naskah Akademik nya dari sebelum sampai sesudah UU Omnibus Law ini disahkan itu sangat sulit diakses oleh publik dengan adanya privatisasi pemerintah dalam menyusun draf dan membahas RUU nya.
Padahal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sangat jelas menekankan bahwa mazhab hukum negara Indonesia adalah keterbukaan, keterlibatan, serta waktu dalam mekanisme pengukuhan perundang-undangan yang dalam prosesnya sangat prosedural dan substansial sehingga indikator keberhasilannya perlu diuji secara teoritis sosiologis naskah akademiknya, perlu konsultasi sosial dalam ditinjau drafnya secara substantif dan dikaji yurisdiksi nya secara mendalam dan menyeluruh.
Selain itu, dalam pengesahan UU Omnibus Law prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi masyarakat sipil disingkirkan sehingga UU Omnibus Law tidak hanya cacat secara formil namun juga inkonstitusional sebab indikator seperti konsultasi publik atau konsultasi pada pakar tidak terpenuhi di dalam proses pengundangannya.
Secara persepsi yuridis, metodologi penyeragaman kebijakan atau Omnibus Law tidak pernah memiliki dasar hukum karena dalam UU No 12 Tahun 2011 tidak pernah mengakomodir metode atau cara penyusunan kebijakan atau hukum seperti model Omnibus. Sehingga secara yurisprudensi, Omnibus Law intinya tidak berangkat dari ide-ide atau gagasan substansial melainkan berangkat dari kepanikan pemerintah dalam mengatur sistem ketatanegaraannya. Ketergesa-gesaan pemerintah dalam mengelola dana negara yang mulai mengalami resesi akibat pandemi.
Implikasi dari produk kebijakan Omnibus Law ini jelas mengembalikan kekuasaan yang neo-kolonialisme atau neo-orde baru dari persekongkolan elit politik dan oligarki di senayan. Beleidnya terang-terangan yaitu mengantarkan negara pada kebobrokan berbangsa yang amoral dan disintegritas bernegara yang nir etis.
Permasalahannya Omnibus Law Adalah Produk Kebijakan Pemerintah dan DPR Yang Cilaka
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Lagi-lagi peribahasa ini mungkin sangat tepat untuk menjelaskan apa yang pemerintah dan DPR kerjakan dimana mereka secara kompak melakukan pengkhianatan kepada rakyat melalui produk legislasi UU yang disusun menggunakan metodologi penyeragaman atau peleburan-penggabungan berbagai produk kebijakan berdasarkan dalih pemerintah yaitu produk kebijakan perlu diseragamkan karena berbagai kebijakan dianggap tumpang tindih dan berbelit-belit mekanisme pelaksanaannya.
Dengan alasan kuantitas investasi yang lebih namun kualitasnya buruk maka DPR dan pemerintah merasa perlu membuat kebijakan yang membuka keran investasi selebar-lebarnya agar penciptaan lapangan pekerjaan pun terbuka seluas-luasnya.
Paradigma pembangunan ekonomi yang seperti itu terkesan kuno karena sebenarnya ekosistem investasi di Indonesia itu baik-baik saja bahkan Indonesia masuk 20 besar sebagai penerima terbaik investasi asing di dunia pada tahun 2019 lalu. Bahkan, peranan investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di era pemerintahan Joko Widodo mencapai 34 persen dan terbilang yang tertinggi sepanjang sejarah RI.
Di lain sisi, secara faktual investasi yang selama ini dianggap menunjang pertumbuhan ekonomi nasional atau PDB itu tidak berbanding lurus dengan persoalan perbaikan ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia yang dalam kajian ekonomi politik menemukan hasil bahwa investasi masih belum mampu memberdayakan buruh dan kaum pekerja.
Data rasio penambahan modal terhadap pertumbuhan ekonomi atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) membuktikan bahwa efisiensi investasi dalam meningkatkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) masih mengalami kendala.
Masalahnya adalah, kualitas investasi di Indonesia saat ini sangat minim dan hal tersebut bukan disebabkan oleh masalah ketenagakerjaan tetapi karena banyaknya korupsi dan birokrasi di dalam negeri yang berbelit. Namun paradoksnya ialah bukannya pemerintah merevitalisasi lembaga KPK untuk semakin massif dalam memberantas KKN serta menegakkan reformasi birokrasi yang efektif dan efisien dalam upaya memperbaiki kualitas investasi dan ketenegakerjaan.
Malah ketenegakerjaan yang dilemahkan hierarki yurisdiksi nya dimana pengaturan upah, jaminan sosial, pesangon, waktu istirahat dan cuti, serta kontrak kerja dan outsourcing adalah hak-hak buruh yang telah diatur sedemikian rupa fungsi dan substansinya dalam No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan itu kemudian hendak dikebiri dalam UU Omnibus Law.
Agenda reformasi 1998 yang mengeliminasi sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dengan menerapkan konsep otonomi daerah melalui TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Dan dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU Omnibus Law hendak mengkorupsi agenda reformasi dengan mendekonstruksi desentralisasi lalu merevitalisasi sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat. Kedudukannya jelas Omnibus Law hanya bisa di dekonstruksi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah bahkan DPR sekalipun tidak memiliki hak veto atau menjalankan fungsi interupsi kebijakan jika dinilai ada yang bertentangan dengan amanat konstitusi dan falsafah negara.
Pada akhirnya bukan UU per UU dan Pasal per Pasal yang menjadi tolakan dalam produk kebijakan Omnibus Law atau 11 klaster pembahasan yang sarat konflik kepentingan di dalam Omnibus Law. Melainkan #MosiTidakPercaya adalah satu bentuk peringatan keras bahwa ada proses demokratisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat yang gagal di jalankan dengan baik oleh rezim pemerintah dan DPR saat ini karena telah berani dan terang-terangan melakukan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi UUD 1945 dan cita-cita luhur bangsa yang termaktub dalam falsafah negara Pancasila.
Seperti kata politisi Amerika, "Korupsi terbesar dalam pemerintahan itu adalah hilangnya kepercayaan."
Note. Jika ada kesamaan narasi, kutipan kalimat atau tokoh maka sejatinya kita se-frekuensi dan satu tarikan nafas perjuangan.
*Tulisan ini dibuat sebagai bahan refleksi, telaah dan respon kritis terhadap UU Omnibus Law yang disahkan oleh DPR dan Pemerintah melalui Badan Musyawarah pada tanggal 5 Oktober 2020.