Minggu, 30 April 2023

BURUH BUKAN TUMBAL KESEJAHTERAAN

Mayday 


Mayday dalam bahasa Prancis diartikan dengan kata "tolong saya". Sejak awal abad ke-19 Mayday diperingati sebagai hari para buruh. Hari untuk menghargai serta mengapresiasi tangan para pahlawan yang menopang kemajuan di berbagai lini.


Sejarah panjang bangsa Indonesia telah mencatat, perjalanan buruh kerap menjadi polemik, sebab acapkali bertentangan dengan asas-asas pancasila. Bahkan sampai hari ini.


Keadilan Sosial, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, adalah kata absolut yang mestinya menjamin sepenuhnya atas hak-hak buruh.

Hak untuk menerima perlakuan positif, hak untuk mendapatkan keadilan, bahkan hak atas kelayakan upah. Semua ini demi mewujudkan cita-cita yang sedari dulu dirintis. Namun nyatanya semua itu kontradiktif. Bukannya digali justru semakin dikubur. Bukannya dibangun justru semakin dirobohkan. Amanat Pancasila dan cita-cita dalam alinea ke IV, tidak lain hanyalah bukti administratif bahwa negara ini merdeka demi mendapatkan kedaulatan. 


Nyatanya, ruang gerak buruh hari ini semakin dipersempit. Hak mereka dikubur sedikit demi sedikit. Kesejahteraannya direnggut satu persatu. Semuanya semakin jelas semenjak UU CIPTA KERJA disahkan beberapa bulan lalu. UU yang terus menjadi polemik. Bagaimana tidak, didalamnya diuraikan secara gamblang pasal-pasal setan. Pasal yang mengisyaratkan bahwa perancangnya kontra terhadap buruh. Entah dengan siapa mereka bersekongkol, yang jelas ini mencederai cita-cita luhur bangsa indonesia.


Dari berbagai pasal yang multitafsir, dua diantaranya adalah : Pasal 88B memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menetapkan upah berdasarkan satuan waktu atau hasil (upah per satuan)(88B) serta pada Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan upah tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan. 


Meskipun terkesan multitafsir, namun jelas bahwa undang-undang ini hanya akan memberikan ruang bagi pemilik pabrik untuk berlaku sewenang-wenang. Kenyataannya, sebelum UU CIPTA KERJA ini disahkan, buruh sudah banyak mengalami ketidakadilan. kasus kekerasan Seksual, upah yang tidak layak, permohonan cuti yang diabaikan, dan lebih konyolnya lagi, mereka akan di PHK bila menyuarakan suara itu kepada pimpinannya. Tidak sampai disitu, saat mereka berdemonstrasi menuntut keadilan kepada pemerintah mereka justru ditabrakkan dengan aparat berseragam dan bersenjata. Saat membuat laporan polisi, mereka justru ditertawakan. Disinilah keanehan terpampang secara nyata. Lalu dimana janji dan cita-cita keadilan itu? Kemana kemudi bangsa ini mencari wujud kesejahteraan? Fana.


Kasus-kasus diatas terjadi sebelum UU CIPTA KERJA disahkan. Dan saya yakin, persentase kasus serupa akan meningkat seiring UU ini melewati tahap peninjauan. Lalu kita akan diam dengan semua itu dan memilih apatis? terdengar jahat namun demikianlah realitanya. Memang sejatinya manusia hanya akan paham apa itu penindasan ketika mereka berada di posisi yang sama. 


Memperingati Hari Buruh ini, saya ingin menyampaikan kepada semua pembaca bahwa, buruh bukanlah budak atau hamba sahaya. Bukan pula hewan yang semaunya saja dimanfaatkan tenaganya. Buruh adalah makhluk sosial yang dipinjam jasanya dan wajib dikembalikan dengan upah selayaknya. Mereka punya keluarga, yang harapannya kerap menjadi beban di kepala. Mereka juga punya cita-cita, yang harus dicapai sebelum hari tua. Semua tidak lain hanya demi kelangsungan hidupnya. Dan mereka sama seperti kita, hanya hidup di dunia menuju sirna, Akhirat.


Oleh :

Aghil Adrian Aryananda (Sekbid Hikmah PKP Pikom IMM Fisip Periode 2022-2023)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...