Jumat, 22 November 2024

Melawan Sunyi: Mengungkap Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia

 

  PUTRI RAHMADANI HASMAR
  ( DEPARTMEN BIDANG IMMAWATI)

Kekerasan berbasis gender (KBG) di Indonesia terus menjadi masalah serius yang sering kali tersembunyi di balik stigma, budaya patriarki, dan ketidakadilan struktural. Pada 2024, data dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan signifikan dalam laporan KBG, terutama dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, dan kekerasan berbasis teknologi atau cyberbullying. Meski ada peningkatan kesadaran dan upaya untuk membuka diskusi mengenai KBG, banyak korban yang masih "sunyi" karena takut akan stigma, penilaian negatif, atau ketidakpastian mengenai dukungan yang akan mereka terima.

Salah satu aspek yang membuat korban enggan untuk berbicara adalah minimnya dukungan hukum yang komprehensif. Meskipun Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 2022, implementasinya masih menemui tantangan besar, terutama di daerah terpencil. Banyak kasus yang masih sulit diproses karena hambatan birokrasi dan kurangnya edukasi masyarakat tentang hak-hak perempuan dan korban KBG. Selain itu, stigma yang menganggap korban sebagai "pelaku" atau penyebab kekerasan yang mereka alami membuat banyak korban lebih memilih untuk diam.

KBG di era digital juga menjadi tantangan baru yang kompleks. Revenge porn atau penyebaran konten intim tanpa persetujuan telah menjadi bentuk pelecehan digital yang kian umum di online) meningkat hampir 40% pada tahun ini, dan kebanyakan korban adalah perempuan berusia muda. Untuk benar-benar melawan "kesunyian" ini, upaya dari berbagai pihak diperlukan. Komunitas digital seperti SAFEnet dan Komnas Perempuan terus memperjuangkan hak-hak korban dengan mengedukasi masyarakat tentang literasi digital dan pentingnya melaporkan kasus KBGO. Di samping itu, media dan organisasi nonpemerintah juga berperan penting dalam mengangkat isu ini ke ruang publik, membuka ruang aman bagi korban untuk bersuara, dan menekan pemerintah untuk memperkuat kebijakan perlindungan bagi korban KBG.

Pada akhirnya, perjuangan untuk melawan sunyi dan mengungkap KBG di Indonesia adalah tugas bersama. Dengan adanya edukasi publik yang lebih luas, perlindungan hukum yang kuat, dan dukungan dari masyarakat, diharapkan korban tidak lagi merasa sendiri atau terisolasi. KBG bukanlah masalah pribadi korban saja, tetapi masalah sosial yang memerlukan kesadaran dan respons aktif dari seluruh elemen bangsa Indonesia. Kasus ini menghancurkan reputasi sosial dan mental korban, yang sering kali kehilangan privasi dan merasa terisolasi akibat perlakuan dari pelaku yang memanfaatkan teknologi untuk menekan korban. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menyebutkan bahwa kasus KBGO (kekerasan berbasis gender).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dari Layar ke Kehidupan Nyata : Efek Catcalling Digital pada Kesehatan Mental Perempuan”

 FATIMAH AZZAHRA (Direktur SKI Jilid IX)   Di era digital saat ini, Interaksi sosial telah bergeser ke platform-platform online. Namun, bers...