Oleh: Miftahul Khaerah( Anggota Unit EdukasiLiterasi SKI VIII)
Perempuan dalam sejarah bukanlah sosok yang absen. Mereka hadir, bergerak, bahkan menentukanarah zaman—namun terlalu sering dilupakan dalamnarasi utama. Sejarah yang kita pelajari di sekolah-sekolah banyak menampilkan pahlawan laki-laki, tokoh revolusi laki-laki, penemu dan pemimpin laki-laki. Padahal, di balik nama-nama besar itu, adaperempuan-perempuan yang juga berperan, yang suaranya tenggelam di balik bias patriarki sejarah.
Marginalisasi terhadap perempuan dalam sejarahbukan karena ketiadaan kontribusi, tetapi karenapenyisihan naratif. Perempuan didorong keluar daripusat panggung, dijadikan pelengkap atau simbolkesetiaan semata. Mereka lebih sering dikenangsebagai “istri dari”, “ibu dari”, atau bahkan hanyasebagai catatan kaki. Namun kenyataan tak bisa terusdisangkal. Kita harus jujur mengakui bahwa sejarahyang timpang adalah sejarah yang belum selesai. Maka tugas generasi kini adalah membangun kembali narasiitu—bukan menciptakan pahlawan baru, tapimenyibak kembali wajah-wajah lama yang terlupakan.
Pemberdayaan perempuan bukan muncul tiba-tiba. Ia adalah hasil dari perjuangan panjang yang sering kali senyap. Rahmah El Yunusiyah, Kartini, atau Dewi Sartika adalah contoh perempuan yang takhanya berani berpikir, tapi juga bertindak dalam sistemyang mengekang. Mereka mencuri ruang dalamstruktur yang tertutup. Mereka menciptakan jalan di tengah dinding penghalang. Kini, kita mewarisikeberanian itu. Sebagai Immawati, kita punya kewajiban moral untuk melanjutkan jejak mereka—dalam bentuk yang relevan di masa kini: lewat tulisan, advokasi, pendidikan, dan keterlibatan aktif dalammasyarakat.
Namun upaya ini bukan tanpa tantangan. Dalam masyarakat patriarkal yang telah terbentuk selamaratusan tahun, resistensi terhadap perubahan sangatkuat. Banyak perempuan yang mengalami hambatanstruktural, seperti akses pendidikan yang terbatas, diskriminasi di tempat kerja, serta stereotip gender yang masih sangat kuat. Untuk itu, membangunkembali sejarah perempuan bukan hanya soalmenggali masa lalu, tetapi juga merancang masa depan. Kita perlu membangun sistem pendidikan yang lebih peka gender, menciptakan ruang-ruang amanbagi perempuan untuk berpendapat dan berkarya, sertamendukung kebijakan-kebijakan publik yang menjamin kesetaraan. Membangun kembali sejarahperempuan berarti menulis ulang buku-buku pelajarankita, membuat film yang menampilkan tokoh-tokohperempuan, dan mengangkat kisah mereka dalamdiskusi kampus, blog, dan ruang publik. Pemberdayaan tidak cukup hanya dalam bentuk angkapartisipasi, tapi harus sampai pada pengakuan dan penghargaan terhadap jejak kontribusi. Inilah revolusisunyi yang bisa kita mulai dari IMM—organisasi kecildengan cita-cita besar.
Di IMM, kita bisa mendiskusikan gagasan dan pengalaman, menghidupkan tradisi intelektual yang peka terhadap persoalan perempuan. IMMawati bukansekadar pelengkap dalam forum, tapi harus menjadiaktor utama dalam narasi perubahan. Kita bukan hanyapengikut gerakan, tapi pencipta gerakan itu sendiri. Dalam setiap diskusi malam, tulisan blog, ataupenelitian kecil yang kita lakukan, kita sedangmenanam benih besar: narasi yang lebih adil dan setara. Dalam masyarakat, kita bisa menjadipenyambung suara perempuan yang selama inidibungkam. Lewat kegiatan pengabdian masyarakat, misalnya, kita bisa mengangkat isu-isu sepertikekerasan dalam rumah tangga, akses pendidikanuntuk perempuan desa, atau ketimpangan ekonomiyang masih membelenggu banyak perempuanIndonesia. IMMawati bisa menjadi agen transformasisosial yang peka dan solutif.
Selain itu, penting juga untuk menjalin jejaringdengan organisasi perempuan lainnya. Kolaborasilintas organisasi dan lintas isu dapat memperkuatgerakan perempuan dan menjadikan advokasi lebihstrategis. Kita bisa belajar dari pengalaman organisasiperempuan yang lebih dulu berdiri dan mengadopsipraktik-praktik terbaik untuk diterapkan dalamkonteks IMM. Soliditas dan solidaritas adalah kuncidalam memperjuangkan narasi perempuan yang inklusif. Sejarah tidak perlu diromantisasi, tapi harusdibuka, dikritisi, dan dituliskan kembali. Sebabpemberdayaan sejati tidak datang dari sanjunganbelaka, melainkan dari pengakuan atas realitas dan keberanian untuk mengubahnya. Kita tidak bisamengandalkan narasi lama yang meminggirkanperempuan, lalu berharap keadilan akan hadir begitusaja. Kita harus hadir dalam cerita itu, menuliskannyadengan tinta pengalaman dan keberanian.
Membangun kembali sejarah perempuan adalahkerja kolektif. Ini adalah undangan bagi seluruhImmawati untuk bangkit dan menyusun ulang fondasipengetahuan dan pergerakan kita. Sejarah adalah miliksemua, dan perempuan punya hak yang sama untukduduk di ruang utama—bukan lagi di balik tirai. Jika sejarah adalah rumah, maka kita harus memastikanbahwa perempuan tidak lagi hanya berdiri di depanpintu, tapi turut menentukan isi dan arah rumah itu. Dan buku ini, barangkali, akan menjadi saksi bahwadari IMM, lahir suara-suara yang menolak dilupakan. Dengan kerja yang konsisten, reflektif, dan penuhcinta, kita dapat memastikan bahwa sejarahperempuan tidak lagi menjadi bagian yang hilang dariperadaban, melainkan pilar penting yang menopangmasa depan yang lebih adil. Kini saatnya perempuanhadir, bukan hanya dalam catatan kaki, tapi sebagaijudul utama dari narasi umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar