Oleh: Miftahul Khaerah( Anggota Unit EdukasiLiterasi SKI VIII)
Ketika kita membuka buku sejarah dunia, pertanyaan sederhana muncul: di mana perempuan? Nama-nama seperti Napoleon, Gandhi, Soekarno, dan Churchill memenuhi halaman demi halaman, namunjejak perempuan nyaris tak terlihat. Padahal merekaada, berjuang, bahkan memimpin. Fatima al-Fihri mendirikan universitas pertama di dunia. Hypatia dariAlexandria menjadi matematikawan dan filsuf di masa Yunani Kuno. Sojourner Truth berpidato tentang hak-hak sipil di tengah diskriminasi ganda sebagaiperempuan dan warga kulit hitam. Mereka nyata, bukan mitos.
Jejak perempuan bukanlah hantu sejarah—mereka nyata, tapi tersembunyi. Penulisan sejarahyang didominasi oleh sudut pandang laki-lakimenyebabkan kisah perempuan sering tertinggal. Ini bukan hanya soal representasi, tapi soal keadilanepistemik. Ketika kontribusi perempuandisembunyikan, maka nilai-nilai dan perjuanganmereka juga ikut tenggelam. Kita kehilangan setengahdari cerita umat manusia. Perempuan selama berabad-abad berkontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, politik, pendidikan, dan perjuangan kemanusiaan. Namun banyak dari mereka yang tak masuk dalamkurikulum resmi, tak terpampang dalam museum, ataubahkan sekadar disebut dalam ruang kelas.
Sebagai perempuan muda yang sedang menimbailmu, penting bagi kita untuk melakukan upayapencarian. Membaca ulang sejarah dari sudut pandanggender. Menggali kisah-kisah yang tersembunyi di balik catatan resmi. Kita bisa memulai dariperpustakaan, artikel jurnal, bahkan dari cerita-ceritakeluarga. Setiap nenek punya kisah perjuangan, setiapibu punya narasi ketangguhan. Narasi-narasi ini, meskipun tak tercatat dalam buku sejarah resmi, menyimpan nilai dan pelajaran yang sangat besar. Bahkan kisah perempuan di ranah domestik yang dianggap ‘biasa’ sejatinya adalah bagian penting dariperadaban. Mengurus keluarga, mendidik anak-anak, mempertahankan kehidupan di masa konflik—itusemua adalah bentuk kontribusi sosial yang tak bisadiremehkan.
Dalam ranah politik, kita bisa melihat bagaimanatokoh seperti Raden Ajeng Kartini, Margaret Thatcher, Indira Gandhi, hingga Angela Merkel menunjukkanbahwa perempuan mampu berada di posisi pengambilkeputusan tertinggi. Di ranah sains, Marie Curie, Rosalind Franklin, dan Jane Goodall membuktikanbahwa sains bukanlah milik satu gender. Di bidangsastra dan pemikiran, tokoh seperti Simone de Beauvoir, Virginia Woolf, dan Pramoedya Ananta Toer—yang menulis tentang perempuan tangguh sepertiNyai Ontosoroh—mengingatkan kita bahwaperjuangan intelektual perempuan memiliki tempatyang kuat.
Namun pertanyaannya, mengapa nama-nama inimasih kalah populer dibandingkan tokoh laki-lakilainnya? Jawabannya ada pada sistem pengetahuanyang selama ini dibangun dan diwariskan secarapatriarkal. Maka dari itu, perlu ada upaya sadar untukmengubah cara kita melihat dan menulis sejarah. Kita tidak hanya butuh mengenali peran perempuan masa lalu, tapi juga menempatkan mereka secara setarasebagai bagian penting dari perjalanan umat manusia.
Kita juga perlu mendorong institusi pendidikanuntuk memasukkan tokoh-tokoh perempuan dalamkurikulum. Mengapa hanya mengenal Galileo tapitidak mengenal Ada Lovelace? Mengapa hanya belajartentang Martin Luther King tapi tidak membahas Rosa Parks? Mengapa kita tahu tentang Albert Einstein tapitak banyak tahu tentang Lise Meitner, yang ikutmenemukan fisi nuklir? Sejarah yang kita pelajariharus lebih inklusif agar siswa-siswi perempuan juga bisa melihat cermin dari dirinya dalam pelajaransejarah. Ketika anak perempuan melihat perempuanlain menjadi ilmuwan, pemimpin, atau pejuang hakasasi manusia, mereka akan lebih percaya dirimenapaki jalan yang sama.
Sebagai Immawati, kita bisa menjadi penulissejarah baru. Kita bisa memilih untuk tidak hanyamembaca sejarah, tapi menulisnya ulang—denganmenempatkan perempuan sebagai subjek yang utuh. Bukan korban semata, tapi juga pemimpin, penggagas, dan penentu arah. Dunia tak pernah dibangun oleh satujenis kelamin. Dan sejarah yang utuh hanya bisadicapai jika kita berani menyuarakan nama-nama yang selama ini terhapus. Perempuan adalah bagian daridenyut nadi peradaban. Suara mereka harus diangkat, pengalaman mereka harus dihargai, dan kisah merekaharus diceritakan berulang-ulang agar tidak lenyapditelan waktu.
Mencari jejak perempuan dalam sejarah bukanhanya soal mengenang masa lalu, tetapi juga membangun masa depan. Jika kita tahu dari mana kitaberasal, kita akan tahu ke mana kita akan pergi. Kita akan lebih percaya diri, lebih sadar akan potensi dan peran kita. Kita akan lebih peka terhadap ketidakadilanyang masih terjadi hari ini. Dengan pencarian ini, kitasedang melakukan kerja cinta kepada kebenaran. Karena sejarah tidak boleh setengah-setengah. Dan dengan menempatkan perempuan secara adil dalamsejarah, kita sedang menyeimbangkan narasi umatmanusia itu sendiri. Pada akhirnya, tugas kita bukansekadar menemukan nama-nama perempuan yang hilang dalam sejarah, tetapi juga memastikan bahwaperempuan hari ini dan esok tidak akan lagi dihapusdari catatan sejarah. Kita menulis agar perempuan hariini dikenang, dan perempuan masa depan mendapattempat yang lebih layak dalam ingatan kolektif kita. Karena perempuan bukan hanya bagian dari sejarah, mereka adalah penciptanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar