Selasa, 27 Februari 2024

Dinamika Standarisasi Dalam Memandang Fisik Sesama Manusia

Mengapa Manusia Terkadang Dihargai Berdasarkan Fisiknya?


Di era modern ini, di mana nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan didengungkan, ironisnya manusia masih sering dihargai berdasarkan fisiknya. Penampilan luar masih menjadi faktor utama dalam menentukan bagaimana seseorang diperlakukan dan diterima dalam masyarakat.

Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Fisik yang pertama Standar Kecantikan: Media dan budaya populer secara konstan menampilkan standar kecantikan tertentu, yang seringkali tidak realistis dan tidak inklusif. Hal ini menciptakan tekanan sosial untuk mencapai standar tersebut, dan mereka yang tidak memilikinya dianggap kurang menarik dan berharga.

Yang kedua Stereotip: Stereotip tentang penampilan fisik, seperti orang gemuk dianggap malas atau orang berkulit gelap dianggap kurang cerdas, masih melekat di masyarakat. Stereotip ini dapat menyebabkan diskriminasi dan prasangka terhadap orang-orang yang tidak sesuai dengan norma yang ada.

Ketiga Materialisme: Budaya materialisme yang menekankan pada harta benda dan penampilan luar sebagai simbol kesuksesan dan kebahagiaan, turut memperkuat penilaian terhadap fisik seseorang.

Dalam berbagai faktor timbullah masalah yang sangat sering kita jumpai yaitu 

Diskriminasi:Orang-orang yang tidak memiliki fisik ideal dapat mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang, seperti pekerjaan, pendidikan, dan hubungan sosial.

Penurunan Kepercayaan Diri: Penilaian fisik yang negatif dapat menurunkan rasa percaya diri dan harga diri seseorang, yang dapat berakibat pada depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya.

Ketidakadilan Sosial: Penilaian fisik dapat memperparah ketidakadilan sosial yang ada, karena orang-orang yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi often kali memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya untuk meningkatkan penampilan mereka. 

Hal yang bisa menjadi solusi adalah Membangun Masyarakat yang Lebih Inklusif karena dengan membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif, kita perlu:Menentang Standar Kecantikan,Memberantas Stereotip,dan Mendorong Penilaian Berdasarkan Karakter, Dengan mengubah cara pandang dan menghargai manusia seutuhnya, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif, di mana semua orang merasa dihargai dan dihormati.

Beberapa tips untuk menghindari penilaian fisik yakni fokus pada kekuatan dan kemampuan, kenali dan hargai kekuatan dan kemampuan diri, bukan hanya penampilan fisik, kelilingi diri dengan orang yang positif, habiskan waktu dengan orang-orang yang menghargai kita apa adanya, bukan berdasarkan penampilan, berani berbeda, jangan takut untuk menunjukkan jati diri dan menentang standar kecantikan yang tidak realistis.

Marilah kita bersama-sama membangun budaya yang menghargai manusia seutuhnya, bukan hanya berdasarkan fisiknya. Dan penting untuk diingat bahwa penampilan fisik bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan nilai dan penghargaan seseorang.

Kepribadian, kecerdasan, bakat, dan karakter juga merupakan faktor penting yang menentukan bagaimana orang lain memperlakukan kita.

Kita tidak boleh terpaku pada standar kecantikan yang tidak realistis dan harus menghargai diri sendiri apa adanya.

Meskipun penampilan fisik dapat memainkan peran penting dalam cara orang lain menilai dan memperlakukan kita, penting untuk diingat bahwa nilai dan penghargaan seseorang tidak ditentukan solely by their physical appearance penampilan fisiknya saja). Kita harus menghargai diri sendiri dan orang lain berdasarkan kualitas dan karakter yang lebih dalam daripada hanya penampilan fisik.


Ingatlah bahwa kita unik dan berharga apa adanya. Penghargaan terhadap diri sendiri datang dari dalam diri. Dengan menghargai diri sendiri, kita akan memancarkan aura positif dan kepercayaan diri yang menarik orang lain untuk menghargai kita juga.



Oleh :

Musliyani

Unit Edukasi dan Literasi SKI VIII



Selasa, 20 Februari 2024

Pemilu 2024: Terangkum dalam Suara

 Pemilu 2024 menjadi momen krusial dalam menentukan arah politik dan masa depan suatu bangsa. Dengan judul "Terangkum dalam Suara," kita memasuki medan pemikiran yang mencerminkan kompleksitas dan signifikansi pesta demokrasi ini.

Pemungutan suara dalam kontestasi pemilu di Indonesia merupakan fondasi pemahaman demokrasi secara nasional. Dalam konteks pemilu, setiap suara memiliki bobotnya sendiri, mewakili harapan, aspirasi, dan keinginan warga negara. Namun, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana suara-suara ini benar-benar terangkum dan tercermin dalam hasil pemilu? Penggiringan opini publik, black campaign dan pengaruh media sosial memunculkan tantangan baru terkait akurasi dan ke-otentikan suara-suara tersebut.

Aspek kritis lainnya adalah transparansi dan integritas dalam proses pemilihan. Bagaimana suara dihitung dan dianalisis? Adakah upaya yang cukup untuk menghindari praktik-praktik yang dapat merusak integritas pemilu? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada diskusi tentang peran lembaga pemilihan dan tata kelola yang memastikan bahwa proses pemilu berlangsung adil dan terpercaya (dalam hal ini KPU dan juga BAWASLU).

Dalam konteks global, pemilu 2024 juga mencerminkan dinamika geopolitik dan hubungan internasional. Bagaimana interaksi antarnegara dan pilihan-pilihan kebijakan luar negeri dapat memengaruhi pandangan warga negara dan hasil pemilu? Pemilihan bukan hanya tentang siapa yang akan menjadi pemimpin negara belaka, tetapi juga tentang bagaimana negara bersikap di panggung internasional.

Penting juga untuk menyoroti isu-isu kunci yang muncul selama kampanye pemilu. Bagaimana kandidat dan partai politik menghadapi tantangan-tantangan seperti ketidaksetaraan ekonomi, perubahan iklim, dan ketidakpastian global? Pemilu seharusnya menjadi wadah untuk mengeksplorasi solusi-solusi inovatif terhadap masalah-masalah ini.

Dalam keseluruhan analisis ini, perlu ditekankan bahwa kesuksesan pemilu tidak hanya diukur dari hasil akhirnya, tetapi juga dari kekuatan proses demokratis itu sendiri. Keterlibatan aktif warga negara, pemberitaan yang objektif, dan integritas lembaga-lembaga pemilihan adalah pilar-pilar utama yang membuat pemilu mampu mencerminkan kehendak rakyat secara otentik.

Pemilu 2024, yang terangkum dalam suara, memerlukan perhatian kritis dari semua pihak. Hanya dengan melibatkan diri secara aktif dalam proses demokrasi, mempertimbangkan secara bijak isu-isu krusial, dan memastikan integritas proses pemilu, kita dapat memastikan bahwa suara setiap warga negara benar-benar terangkum, menciptakan dasar yang kuat untuk masa depan politik yang inklusif dan berkelanjutan.

Melihat apa yang telah disaksikan oleh masyarakat ramai dalam momentum debat kandidat yang digelar pada 12 Desember 2023 menjadi sebuah titik awal masyarakat melihat dan juga menganalisis serta mempertimbangkan siapa yang layak menjadi seorang pemimpin di negara Republik Indonesia. Tidak hanya yang layak, tetapi juga siapa yang betul-betul mampu mengaktualisasikan gagasan-gagasan yang dikeluarkan selama masa debat itu berlangsung.

Janganlah masyarakat diperhadapkan lagi dengan kalimat-kalimat yang seolah-olah ingin menjatuhkan sesama calon peserta dengan mengeluarkan diksi perlawanan. Seharusnya kita lebih mencermati apa yang telah disampaikan oleh presiden pertama Bapak Ir. Soekarno yang mengatakan bahwa "Perjuangan ku ringan sebab aku melawan penjajah, tetapi perjuangan kalian amatlah berat sebab kalian melawan bangsa kalian sendiri".

Maka dari itu terkhusus kepada lembaga-lembaga yang telah dipercaya oleh rakyat untuk menjalankan amanah rakyat dengan sebaik mungkin dalam kontestasi pemilu 2024 yang akan mendatang, jangan lagi rakyat dipertontonkan dengan hasil suara yang berbeda disetiap media televisi dan juga berita-berita online. Karena jangan sampai kepercayaan rakyat terhadap seluruh lembaga di Indonesia semakin kurang mendapatkan respect dari rakyat itu sendiri.




Oleh :

Nanda Putri Nugraha

Direktur Kajian Kebangsaan SKB X

Dept Bidang Keilmuan



Minggu, 18 Februari 2024

Gagasan Kritis Pendidikan “Paulo Freire” : “Pembebasan, Pemberdayaan, dan Transformasi Sosial” Dalam Mengatasi Kesenjangan Pendidikan antara Kota dan Desa

Memasuki era Industrialisasi yang banyak kita temukan manusia hari banyak menggunakan produk-produk digitalisasi dalam melakukan kesehariannya mulai dari bekerja, berinterkasi, melakukan kesenangan, hingga melakukan proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar tentu kerap kita jumpai dalam aspek pendidikan, yang dimana pendidikan menjadi sebuah hal yang berperan penting dalam membentuk masyarakat dan juga regenerasi pelanjut estafet kehidupan dalam bernegara. Peran pendidikan dalam hal ini menjadi sebuah hal yang menjadi pucuk kesadaran masyarakat dalam bertindak atau melakukan sesuatu agar mampu melihat realitas sosial, tidak hanya dari sisi tapi juga sisi yang lainnya.

Dalam aspek pendidikan tersebut tentunya terdapat beberapa indikator yang kemudian menjadi acuan yang ditetapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, diantaranya ialah pengembangan keterampilan dan pemahaman yang mendalam terhadap dunia dan juga kesenjangan-kesenjangan yang kerap terjadi dalam sosial bermasyarakat. Paulo Freire salah satu tokoh yang berpengaruh pada masanya mempunyai pandangan tersendiri terhadap pendidikan, beliau mengemukakan bahwa :

“Pendidikan tidak hanya sekedar transaksi ilmu atau mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, tetapi juga pendidikan sebagai konsep kebebasan dalam berekspresi/berpendapat untuk membangun dialektika dalam ruang-ruang diskusi, pendidikan sebagai proses pemberdayaan regenerasi ataupun masyarakat yang mampu membantu sesama manusia dalam bernegara, dan pendidikan sebagai sebuah transformasi sosial yang menjadi sebuah pembaharuan dalam struktur sosial.”

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang dipadukan dengan teknologi, seharusnya semakin dewasa juga manusia. Semakin berkembangnya teknologi maka sarana dan prasarana di Kota dan di Desa semakin terpenuhi guna menunjang aspek pendidikan kita di Indonesia. Namun sangat disayangkan, karena hal tersebut hanya menjadi sebuah cita-cita belaka.

Sarana dan prasarana di kota kian hari kian meningkat, hal ini dapat dibuktikan dengan bagaimana ketersediaan komputer ataupun sarana lainnya yang dapat membantu para siswa dalam meningkatkan potensi dan juga dapat dengan mudah beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hari ini. Selain itu, infrastruktur yang menunjang pendidikan di kota juga semakin diperbaharui guna memberikan kenyamanan kepada siswa ataupun murid dalam melakukan proses pembelajaran. Di Desa, ketersediaan sarana dan prasarana sangat jauh berbeda dengan apa yang didapatkan di kota. Di beberapa desa yang terdapat di Indonesia, banyak kita jumpai siswa yang kemudian masih menggunakan alat seadanya dalam melakukan proses belajar mengajar, hal ini menandakan bahwa dalam meraut pendidikan di Desa masih sangat minim untuk mampu bisa bersaing dengan siswa-siswa yang ada di kota, karena ketersediaan fasilitas yang menunjang potensi siswa tidak terpenuhi dengan baik. Bahkan untuk mampu beradaptasi dengan era hari ini mereka harus tertinggal jauh dalam melihat bagaimana kecanggihan dunia pendidikan hari ini. Tidak hanya itu, alokasi dana untuk biaya pendidikan tidak sebanding dengan yang ada di Kota.

Padahal ketika kita melihat bagaimana keadaan pendidikan di Desa sangat memprihatinkan dan harus menjadi perhatian khusus dari pemerintah. Selain ketersediaan sarana dan prasarana yang tidak memadai, infrastruktur bangunan juga masih sangat jauh dari kata nyaman bagi para siswa untuk melakukan proses pembelajaran, jalanan juga yang kemudian masih menjadi kendala bagi siswa-siswi untuk mendapatkan pendidikan. Masih banyak kita jumpai siswa/siswa yang masih kerap menyebrangi sungai dan bagaimana infrastruktur jalan yang sangat kurang layak untuk mampu menunjang keefisienan siswa untuk sampai ke tempat mereka belajar. Tentunya ini bukan lagi menjadi hal yang baru bagi kita hari ini.

Aspek kurikulum dan juga bahan ajar yang disuguhkan dalam dunia pendidikan hari ini berupaya menghantarkan generasi hari ini untuk berupaya menjadi tenaga kerja dalam dunia-dunia industri dan dalam tatanan pemerintahan yang hanya patuh dan tunduk kepada atasan dan dibatasi untuk memberikan saran dan inovasi terhadap kekurangan yang didapatkan dalam ruang-ruang atau sektor pemerintahan yang menjadi peran penting dalam kemajuan bangsa dan negara ini. Tapi bagaimana kurikulum hari ini mampu membuat generasi menyentuh bagaimana kemalangan yang dirasakan oleh masyarakat-masyarakat yang terpinggirkan atas dalih kemajuan negara.

Yang menjadi problematika hari ini juga adalah dalam laporan riset Central Connecticut State University di 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dengan tingkat literasi rendah. Sedangkan data statistik dari The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan minat baca masyarakat Indonesia, sangatlah memprihatinkan yaitu hanya 0,001%. Harusnya inilah yang menjadi fokus utama pendidikan di Indonesia hari ini. Hal ini juga menandakan hanya ada sekian persen orang Indonesia yang rajin membaca dari masyarakat di negeri ini. Mengapa demikian karena Kurangnya literasi dan kesenjangan teknologi informasi di masyarakat desa sehingga rendahnya minat baca dan kurangnya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di desa. Faktor lainnya adalah pengaruh dari perkembangan teknologi informasi elektronik yang canggih, sehingga buku tidak lagi menjadi media utama untuk mendapatkan informasi yang diharapkan. Situs mesin pencari daring dan media sosial dianggap lebih mudah dan praktis, sehingga melunturkan minat literasi masyarakat dan mendorong mereka untuk beralih menggunakan teknologi yang serba instan dan cepat.

Dengan kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan serta minimnya literasi di Indonesia memerlukan solusi yang komprehensif untuk meningkatkan regenerasi dan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Seperti halnya meningkatan Sarana dan Prasarana Pendidikan Pemerintah perlu memprioritaskan alokasi anggaran untuk memperbaiki dan memperluas sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah tertinggal, termasuk memperbaiki gedung sekolah, menyediakan bahan ajar yang memadai, serta memperbaiki aksesibilitas tempat belajar. Dan Mendorong budaya literasi melalui program-program pemerintah dan inisiatif masyarakat, seperti membangun perpustakaan yang memadai dan memfasilitasi akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas. Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan literasi, seperti memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi yang akurat dan mempromosikan budaya membaca.

Pendidikan harusnya menjadi sebuah wadah untuk bagaimana mampu mengasah nalar kritis dan juga menciptakan regenerasi yang memberikan inovasi dan juga pembaharuan sesuai dengan zaman hari ini dalam melihat ketimpangan-ketimpangan sosial, dan dalam mengatasi kesenjangan pendidikan yang ada di Kota dan Juga di Desa. Generasi hari ini tidak hanya hadir sebagai penikmat, tetapi juga sebagai agen pendorong sinergitas pendidikan, agen pembebasan atas ketimpangan dan kesenjangan sosial, agen pemberdayaan terhadap seluruh masyarakat dan juga sebagai agen transformasi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



Oleh :

Sulfika

Sekretaris Devisi Kajian Kebangsaan SKB X

Departemen Bidang IMMawati



Kamis, 15 Februari 2024

Discipulus Anxietatem : Dinamika yang Masih Hangat Dirasakan oleh Mahasiswa

Hari ini kondisi kampus biru khususnya Lantai 5 dapat terbilang memprihatinkan dengan berbagai dinamika senyap yang di rasakan, utamanya kondisi tenaga pengajar (dosen) yang tidak maksimal, akan tetapi mayoritas dari kita (mahasiswa) lebih memilih untuk bungkam dengan realita yang terjadi.

Seorang dosen bukan hanya tentang menyampaikan materi tetapi juga tentang menginspirasi dan menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri mahasiswa. Dalam beberapa kasus, kinerja dosen mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan.

Masalah yang pertama, kerap terjadi ialah komunikasi yang tidak berjalan dengan baik antara dosen dengan mahasiswa, hal ini terjadi karena kurangnya respon komunikasi yang aktif dengan mahasiswa dan kurangnya mahasiswa untuk menghubungi dosen di luar jam kelas, hal ini dikarenakan kebanyakan dosen memilih untuk tidak diganggu.

kedua adalah kurangnya efektivitas dalam menjelaskan materi. Materi yang disampaikan kurang terstruktur, sulit dipahami, istilah yang rumit, contoh dan ilustrasi yang tidak relevan dengan materi.

yang ketiga sistem penilaian yang tidak jelas keluar dari kesepakatan pada saat di awal perkuliahan. Sistem penilaian dosen yang tidak transparan, feedback yang kurang, beban tugas yang berlebihan, dan tidak seimbang dengan materi.

keempat yaitu sikap yang apatis terhadap mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi dan aktif mengkritik. Dalam hal ini mahasiswa lebih memilih untuk diam dan tidak lagi aktif karena nilai yang menjadi ancaman sehingga nalar kritis para mahasiswa perlahan hilang karena secara tidak langsung hal tersebut menandakan bahwa dosen menolak untuk dikritik. 

Yang terkahir adalah kampus sekarang sudah tidak jauh beda dengan Sekolah Menengah Atas atau SMA, kenapa? 

karena proses interaktif diskusi antara dosen dan mahasiswa semakin dibatasi dengan waktu. Hingga hari ini kampus tidak jauh berbeda dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Mengenai kinerja dosen khususnya di lantai 5 dari beberapa mahasiswa yang kemudian saya ajak untuk berdiskusi, mayoritas mereka mengatakan bahwa, nilai hanya di tentukan dari bagaimana kehadiran, kesopanan, kerapihan. Dan minim menilai mahasiswa dari aktifnya mahasiswa dalam menanggapai materi yang dibawakan oleh dosen.

Dengan banyaknya dinamika yang terjadi disini kami sebagai mahasiswa mengharapkan agar dosen mampu untuk Menyusun materi pembelajaran yang lebih terstruktur, Menggunakan metode pembelajaran yang lebih variatif dan interaktif, Memberikan feedback yang konstruktif guna membantu mahasiswa berkembang, dan Meningkatkan komunikasi dengan mahasiswa, serta penting Menunjukkan sikap yang profesional. Dengan kritik yang konstruktif, dosen dapat terus belajar dan berkembang untuk memberikan pendidikan yang berkualitas bagi mahasiswanya.

"Ultimately, this will create a more conducive learning environment and contribute to the overall success of the students."



Oleh :

Galo Purwatiy

Direktur SKI Jilid VIII



Senin, 12 Februari 2024

GAMBARAN KETIDAKADILAN GENDER PADA “NOVEL LITTLE WOMEN”: DALAM KONTEKS FEMINISME REVOLUSI 2024

     Konsep  mengenai  gender  masih  dianggap  tabu  dan  jarang  dibicarakan  bagi  sebagian  masyarakat Indonesia. Hal  ini  menyebabkan  kesalahan pemahaman  tentang  gender  yang  sering  terjadi  disebabkan oleh kurangnya  informasi  dan pengetahuan  tentang  isu tersebut.  Artikel  dalam  website  Kemenpppa  yang  terbit tahun  2018  menyatakan  bahwa  masyarakat  masih  menyalah  artikan  gender  dengan  jenis  kelamin. Kesalahpahaman  tersebut  membuat  gender  menjadi  suatu  bahasan  dengan  konteks  yang  kurang  tepat sehingga dianggap tabu atau  bahkan  tidak penting. Lisnawati (2021)  mengungkapkan,  kesalahpahaman  yang terjadi ini  dapat  mengakibatkan  terjadinya ketidakadilan  gender,  untuk  meminimalisirnya  haruslah  dipahami terlebih dahulu bahwasanya gender merujuk pada kelompok atribut perilaku yang dibentuk secara sosial yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial dan atau kultural. Namun sebaliknya gender tidak akan menjadi suatu  masalah  apabila  terjadi  sebuah kesepakatan antara laki-laki  dan  perempuan dalam pembagian  tugas  dan kedua  belah pihak  tersebut memiliki kesempatan  yang sama  untuk  berkegiatan dan memenuhi kebutuhan bermasyarakat dan mengembangkan diri (Wiasti, 2017).

      Konsep  ketidakadilan  gender  sering dikaitkan  dengan  konstruksi  peran  pihak  laki-laki dan  perempuan dalam sistem masyarakat, yang kemudian meluas dan berkaitan dengan relasi yang terjadi diantara kedua belah pihak.  Ketimpangan  relasi  yang  terjadi  antara  laki-laki  dan  perempuan  inilah  yang  menyebabkan  sebuah hubungan  yang  disebut  subordinatif.  Adji  (2016)  mengungkapkan  ketimpangan  ini  terjadi  karena  adanya sistem  patriarki  dari  pihak laki-laki  terhadap  pihak perempuan.  Hubungan  antara  laki-laki  dan  perempuan dalam  sistem  ini  tidak  digambarkan  sebagai  hubungan  yang  mandiri,  dimana  identitas  perempuan  akan ditempelkan  dengan  identitas  laki-laki sehingga  perempuan  hanya  hadir  sebagai  pelengkap  laki-laki.  Sistem patriarki  tidak  memberikan  kesempatan  kepada  perempuan  untuk  dapat mendeskripsikan  identitas  dirinya sendiri.  Selain  itu  pihak  laki-laki  selalu  menjadi  ukuran  dan  standar  bagaimana  kodrat  perempuan  dapat didefinisikan dan ditentukan, bukan dari ukuran kualitas yang dimiliki perempuan itu sendiri. Sejalan dengan yang diungkapkan Priyatna dalam Adji (2016) yang menyatakan pandangan mengenai sistem patriarki ini telah membawa  konsekuensi  bahwa  konsep  mengenai perempuan  hanyalah  pantulan  dari  konsep  laki-laki  yang menjadi diri.

       Ketidakadilan  gender  terjadi  dalam  berbagai  bentuk.  Kekerasan  merupakan  salah  satu  dari  bentuk ketidakadilan gender  dan  dapat terjadi kepada laki-laki atau perempuan. Merujuk data dari Catatan Tahunan (CATAHU)  Komisi  Nasional  Anti  Kekerasan  terhadap  Perempuan  tahun  2022,  mencatat  338.496  kasus kekerasan  berbasis  gender  terhadap  perempuan.  Angka  ini  meningkat  dari  tahun  2021  sebesar  80%. Kekerasan  juga  tidak  jarang  terjadi pada  laki-laki,  studi  yang  dilakukan  oleh  Indonesia Judicial Research Society (IJRS)  dan  International  NGO  Forum  on  Indonesian  Development  (INFID)  pada  tahun  2020  menunjukkan kekerasan seksual  terjadi  33%  pada  laki-laki dan  67%  pada perempuan.  Walaupun  kekerasan  seksual  dapat terjadi  pada  perempuan  maupun  laki-laki,  melalui  data  tersebut  dapat  dilihat  perempuan  menjadi  korban terbanyak di Indonesia.
Novel Little Women karya Louisa May Alcott adalah Novel  yang mengangkat  isu  tentang perjuangan  perempuan  dalam  mewujudkan  mimpi  dan  cita-citanya.  Novel  ini  juga  menggambarkan permasalahan  perempuan  yang  terjadi  pada  abad  ke-19.  Pada  masa  itu  budaya  Amerika  masih  menjadi problematik  bagi  perempuan  karena  memengaruhi  cara  berpakaian,  status  sosial  dan  kental  akan  budaya patriarki. Pada masa itu kesetaraan gender  masih merupakan hal yang sangat sensitif dibicarakan di kalangan masyarakat.  Perempuan  masih  memiliki  peran  dan  kesempatan  yang  terbatas  dibandingkan  laki-laki. Perempuan  terjebak  dalam  kontekstual  yang  tumbuh  dari  budaya  dan  lingkungan,  sehingga  hal  tersebut menyebabkan  adanya  cara  pandang  masyarakat  yang  berbeda  antara  seorang  perempuan  dan  laki-laki. Pandangan ini juga yang melahirkan sebuah  konstruksi yang banyak menyudutkan  pihak  perempuan. 

Gambaran  ketidakadilan  gender dalam  novel  Little Women karya Louisa May Alcott yaitu sebagai berikut:

1. Subordinasi  merupakan  anggapan  bahwa  perempuan  tidak  rasional dan  emosional  sehingga tidak  bisa tampil  memimpin  sehingga  menempatkan  perempuan  pada  posisi yang  tidak  penting. 
2. Stereotip Gender Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotip yang terjadi merupakan  bentuk  dari  konstruksi sosial  dan  budaya  masyarakat  yang  terus  turun  menurun.  Dalam  hal  ini stereotip  gender  seringkali  bersifat  negatif  dan  merugikan  satu  pihak,  baik  itu  pihak  laki-laki  maupun perempuan. Dalam novel  Little Women karya  Louisa  May Alcott  digambarkan  beberapa stereotip  yang  ditempelkan pada perempuan.  Stereotip  gender ini  muncul dari  anggapan bahwa  perempuan  tidak boleh  berpenampilan atau bersikap seperti laki-laki.
3. Kekerasan Umniyyah (2021)  berpendapat  bahwa  kekerasan (violence)  adalah  serangan  atau  invasi  (assault)  terhadap fisik  maupun  integritas  mental  psikologis  seseorang.  Kekerasan  terhadap  sesama  manusia  pada  dasarnya berasal  dari  berbagai  sumber,  namun  salah  satu  kekerasan  terhadap  satu  jenis  kelamin  tertentu  yang disebabkan oleh anggapan gender yang disebut gender-related violence.

         Melalui novel ini, pembaca dapat memahami dinamika kehidupan perempuan pada masa tersebut dan relevansinya dengan isu-isu kesetaraan gender yang masih relevan hingga saat ini. Dalam novel ini, tokoh perempuan ditampilkan sebagai kuat dan berpikir mandiri, serta menunjukkan kehangatan keluarga dengan saling menyayangi satu sama lain. Oleh karena itu, novel “Little Women” dapat dianggap sebagai karya yang relevan dalam konteks feminisme dan perjuangan perempuan abad ke-19. Dalam konteks Revolusi 2024, novel ini dapat menjadi inspirasi bagi perempuan untuk terus berjuang dalam mencapai kesetaraan gender dan mengatasi ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat.



Oleh :
Nurul Atika
Unit Advokasi Media SKI Jilid VIII


Minggu, 11 Februari 2024

Membangun Masa Depan yang Merdeka: Perempuan dan Pembebasan Patriarki

Patriarki telah lama mengakar dalam struktur sosial kita, menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang dihargai dan diberi kesempatan yang sama dengan kaum pria. Namun, semangat perempuan untuk membebaskan diri dari belenggu patriarki telah menjadi semakin kuat dan menimbulkan perubahan yang signifikan dalam masyarakat kita.

 Pendidikan Sebagai Kunci Pembebasan

Pendidikan memainkan peran penting dalam pembebasan perempuan dari patriarki. Dengan memberikan akses yang sama terhadap pendidikan bagi perempuan, kita dapat memperkuat kemampuan mereka untuk mandiri dan mengambil kendali atas kehidupan mereka sendiri. Pendidikan memberdayakan perempuan untuk membangun karir, memperjuangkan hak-hak mereka, dan menjadi agen perubahan dalam masyarakat.

 Partisipasi Politik yang Aktif

Partisipasi politik perempuan merupakan kunci untuk melawan patriarki dalam ranah politik. Dengan menduduki posisi politik yang penting, perempuan dapat mempengaruhi kebijakan dan membuat suara mereka didengar dalam pembuatan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka dan masyarakat secara keseluruhan. Pemilu adalah momen penting di mana perempuan dapat menunjukkan kekuatan kolektif mereka dan memperjuangkan perubahan yang lebih adil dan inklusif.

 Pemecahan Stereotip Gender

Patriarki juga tercermin dalam stereotip gender yang melekat dalam budaya kita. Penting bagi kita untuk terus memecahkan stereotip ini dan memperjuangkan kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan. Hal ini dapat dilakukan melalui pendidikan, kesadaran masyarakat, serta dukungan untuk peran-peran yang tidak terbatas oleh batasan gender.

Solidaritas dan Dukungan Bersama

Pembebasan dari patriarki memerlukan solidaritas dan dukungan bersama antara perempuan. Dengan mendukung satu sama lain, kita dapat memperkuat suara kita dan memperjuangkan perubahan yang lebih besar dalam masyarakat. Solidaritas perempuan melintasi batas-batas sosial, budaya, dan ekonomi untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif dan adil bagi semua orang.

 Pemberdayaan Ekonomi

Pemberdayaan ekonomi perempuan merupakan aspek penting dalam pembebasan dari patriarki. Melalui kesetaraan akses terhadap pekerjaan, pendapatan yang setara, dan dukungan untuk kewirausahaan perempuan, kita dapat membantu mengurangi ketimpangan gender dalam bidang ekonomi dan memungkinkan perempuan untuk menjadi lebih mandiri secara finansial.

Pembebasan perempuan dari patriarki bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan komitmen kolektif dan tindakan nyata, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang. Melalui pendidikan, partisipasi politik, pemecahan stereotip gender, solidaritas, dan pemberdayaan ekonomi, kita dapat membangun masa depan di mana perempuan dapat hidup dengan merdeka dan dihargai sepenuhnya dalam semua aspek kehidupan.



Oleh :

MIPTAHUL HAERA 

UNIT LITERASI EDUKASI SKI JILID VIII



Senin, 05 Februari 2024

Pemberantasan Kekerasan Terhadap Perempuan: Mengungkap Realitas Ketidakadilan Gender

 Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tema di atas, kita mengetahui ada beberapa macam pertanyaan yang kerap kali kita dengar, salah satunya adalah "Mengapa perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual?"

Perempuan sering kali menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual karena beberapa faktor yang meliputi :

- Patriarki dan ketimpangan kekuasaan: Dalam masyarakat yang dipenuhi dengan struktur patriarki, laki-laki sering kali memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada perempuan. Hal ini dapat menciptakan budaya yang menguntungkan kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan.

- Stereotip Gender: Stereotip gender yang berlaku di masyarakat sering kali membawa dampak negatif terhadap perempuan. Misalnya, pandangan bahwa perempuan lemah atau inferior dapat memicu perilaku merendahkan dan penindasan.

Untuk menghilangkan berbagai statement di atas, telah dilakukan berbagai macam upaya atau gerakan yang berfungsi untuk mengedukasi perempuan perempuan diluar sana. 

Pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, yang dikenal juga sebagai perlawanan terhadap kekerasan berbasis gender, merupakan upaya yang dilakukan timbul sebagai respons atas tingginya angka kekerasan yang dialami oleh perempuan di seluruh dunia. Konsep ini memiliki tujuan utama untuk memerangi dan menghilangkan segala bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, serta menghasilkan perubahan sosial yang positif melalui pengungkapan dan penghapusan realitas ketidakadilan gender yang terjadi.

Realitas ketidakadilan gender merujuk pada berbagai bentuk ketidaksetaraan dan diskriminasi yang dihadapi oleh perempuan di segala bidang kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan sosial. Pada skala global, statistik menunjukkan adanya kesenjangan gender yang jelas, baik dalam hal kesempatan, akses, maupun perlakuan terhadap perempuan.

Salah satu bentuk pemberantasan kekerasan terhadap perempuan adalah mendorong upaya yang fokus pada pencegahan dan perlindungan terhadap perempuan yang berada dalam risiko kekerasan. Pencegahan dilakukan melalui pendidikan dan kesadaran akan hak-hak perempuan, memberikan pelatihan yang berkaitan dengan isu gender dan kekerasan, serta melakukan kampanye untuk menggugah kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menghormati hak-hak perempuan.

Perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan melibatkan berbagai langkah, seperti memberikan akses ke lembaga penegak hukum yang dapat memberikan keadilan dan melindungi hak-hak perempuan, menyediakan tempat perlindungan sementara bagi perempuan yang berisiko tinggi, serta memberikan dukungan psikologis dan rehabilitasi bagi korban kekerasan.

Selain pendekatan yang bersifat preventif dan intervensi, pemberantasan kekerasan terhadap perempuan juga melibatkan upaya untuk merubah pandangan, sikap, dan perilaku yang merugikan perempuan. Hal ini melibatkan masyarakat secara keseluruhan, terutama pria dan anak laki-laki, dengan cara meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghormati dan menghargai perempuan, mengubah stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat, serta mendukung perempuan dalam memperoleh kesetaraan hak dan perlindungan yang setara.

Penanganan kekerasan terhadap perempuan juga harus melibatkan perubahan kebijakan yang berorientasi pada gender. Ini termasuk perubahan dalam hukum dan regulasi yang melindungi perempuan dari kekerasan, serta penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku kekerasan. Kebijakan-kebijakan ini juga harus mendukung akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan keadilan sosial.

Pemberantasan kekerasan terhadap perempuan bukan hanya sebuah isu perempuan semata, melainkan sebuah isu kemanusiaan yang harus mendapatkan perhatian dan dukungan dari seluruh masyarakat. Dibutuhkan kerjasama yang kuat antara pemerintah, LSM, akademisi, individu, dan kelompok masyarakat lainnya untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam mengungkap dan menghapus realitas ketidakadilan gender yang melanda perempuan.


Catatan : 

"Kita sepenuhnya sadar akan hal buruk yang telah dilakukan oleh orang lain terhadap diri kita. Seberapa banyak pelecehan, manipulasi, kekejaman yang kita terima dari orang lain. Tapi terkadang beberapa di antara kita merasa biasa saja hanya karna berasal dari orang-orang yang kita percaya, yakni orang-orang terdekat kita sendiri. 

Jangan hanya karna hal tersebut mengguncang kita, terguncang boleh namun jangan karena guncangan itu mempengaruhi dan merusak dunia kita sendiri"




Oleh :

ILA ARMILA

Depertemen Bidang SPMK, Unit Edukasi dan Literasi



Merefleksi Kisah inspiratif perjuangan Raden Adjeng Kartini dan Khadijah dalam memperjuangkan hak perempuan

  Raden Adjeng Kartini dan Khadijah adalah dua sosok perempuan yang memiliki peran penting dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Kartini adalah seorang tokoh perempuan asal Indonesia yang dikenal sebagai pelopor gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. Khadijah adalah istri pertama Nabi Muhammad SAW yang juga dikenal sebagai seorang pengusaha sukses dan pemimpin masyarakat. Keduanya tokoh ini memiliki banyak kesamaan dalam perjuangannya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Keduanya sama-sama berasal dari keluarga bangsawan dan memiliki akses terhadap pendidikan. Keduanya juga sama-sama memiliki cita-cita untuk memajukan derajat perempuan.

Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tulisan-tulisannya. Ia menulis surat kepada teman-temannya di Belanda untuk berbagi pemikirannya tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan dan kesetaraan gender. Khadijah memperjuangkan hak-hak perempuan melalui tindakannya. Ia menjadi seorang pengusaha sukses yang mampu menghidupi keluarganya dan juga menjadi pemimpin masyarakat yang disegani. Meskipun memiliki banyak kesamaan, kedua tokoh ini juga memiliki perbedaan. Kartini berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk dari keluarga dan masyarakat. 

Khadijah berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di Arab Saudi pada masa awal Islam. Ia menghadapi tantangan dari tradisi dan budaya yang masih sangat patriarki terhadap perempuan. Meskipun berbeda dalam konteks perjuangannya, Kartini dan Khadijah tetaplah sosok inspiratif yang telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan perempuan di dunia. Perjuangan mereka telah membuka jalan bagi perempuan untuk memperoleh hak-hak yang sama dengan laki-laki.

Kartini dan Khadijah juga sama-sama menghadapi tantangan dalam perjuangannya. Kartini menghadapi tantangan dari budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia pada masanya. Khadijah menghadapi tantangan dari masyarakat Arab yang masih menganggap perempuan sebagai makhluk yang inferior

Kartini dan Khadijah sama-sama menyadari pentingnya pendidikan bagi perempuan karena pendidikan akan memampukan perempuan untuk mengembangkan diri dan meraih cita-citanya. Kartini dan Khadijah sama-sama berjuang untuk kesetaraan gender. Dengan kesadaran bahwa perempuan harus memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan politik.perempuan harus memiliki peran aktif dalam masyarakat. 

Kedua tokoh yang hebat perempuan, menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin, pengusaha, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh. Gerakan Kartini dan Khadijah memiliki pengaruh yang besar bagi kemajuan perempuan di Indonesia. Kartini telah menginspirasi perempuan Indonesia untuk menuntut hak-hak mereka, sedangkan Khadijah telah memberikan teladan bagi perempuan dalam bidang kepemimpinan dan entrepreneurship.

Perjuangan mereka mengajarkan kepada kita bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan, bekerja, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dari keteguhan hati Kartini dan Khadijah dalam menghadapi  tantangan budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia pada masanya dan tantangan masyarakat Arab yang masih menganggap perempuan sebagai makhluk yang inferior. Perjuangan keduanya telah membuka jalan bagi perempuan untuk memperoleh hak-hak yang sama dengan laki-laki. Perjuangan mereka juga telah menginspirasi perempuan di seluruh dunia untuk terus maju dan meraih cita-citanya.



Oleh :

GALO PURWATIY

Departemen Bidang Hikmah PKP, Direktur keuangan SKB 10, Direktur SKI 8



Perempuan dalam Budaya Patriarki dan Pengaruh Betty Friedan serta Feminisme Gelombang Kedua

Budaya patriarki adalah suatu struktur sosial yang memberikan kekuasaan utama untuk laki-laki dan menetapkan perempuan dalam posisi subordin...