Jumat, 31 Oktober 2025
Immawati: Dari Identitas Menuju Kesadaran Gerakan
Senin, 27 Oktober 2025
Ketuk Kesadaran Tamparan Generasi yang Lupa Literasi dan Jiwa Kebangsaan
Direktur SKI Jilid IX
Sekretris bidang SPM IMM FISIP
Hari Sumpah Pemuda seharusnya
menjadi cermin tajam bagi generasi masa kini, bukan sekadar seremoni, bukan juga
rutinitas yang diulang tanpa makna. Delapan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda
Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda dengan semangat membakar: satu tanah air,
satu bangsa, satu bahasa. Mereka tidak sekadar bersumpah, tetapi berjuang
dengan seluruh jiwa untuk memerdekakan bangsa dari kebodohan, perpecahan, dan
ketertinggalan. Namun kini, hampir seabad kemudian, semangat itu seakan pudar
di tengah layar gawai dan gemerlap tren digital. Kita menyaksikan ironi: bangsa
dengan jumlah pemuda terbanyak di Asia Tenggara justru menghadapi krisis
literasi dan kemerosotan kesadaran kebangsaan.
Realitas di lapangan menampar
nurani. Data nasional memperlihatkan bahwa meskipun tingkat melek huruf
Indonesia sudah mencapai 96,67% pada tahun 2025, masih ada sekitar 9,41 juta
jiwa yang belum mampu membaca dan menulis secara memadai. Indeks Pembangunan
Literasi Masyarakat (IPLM) yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional RI pada
tahun 2022 juga baru mencapai angka 64,48 dari 100, jauh dari target ideal
untuk bangsa yang ingin melompat menuju visi Indonesia Emas 2045. Angka-angka
ini tidak sekadar statistik; ia adalah potret mental bangsa yang mulai
kehilangan daya kritis dan semangat belajar dua hal yang dulu menjadi bahan
bakar utama perjuangan pemuda 1928.
Di ruang akademik, terutama di Universitas
Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar), fenomena ini sangat jelas. Kampus
yang dikenal aktif dalam kegiatan riset dan pengabdian masyarakat kini mencatat
ratusan penelitian dalam beberapa tahun terakhir, dengan ribuan mahasiswa baru
setiap tahunnya. Namun di balik capaian itu, muncul pertanyaan mendasar sudahkah
semangat intelektual tersebut benar-benar mengakar dalam diri mahasiswa,
ataukah hanya sekadar tuntutan administratif akademik? Banyak mahasiswa yang
masih melihat kegiatan ilmiah sebatas tugas kuliah, bukan tanggung jawab moral
untuk membangun masyarakat. Seminar dan lomba ilmiah sering kali ramai di awal,
namun tindal lanjutan setelahnya itu tidak berjalan sesuai perencanaan awal.
Ini bukan sekadar masalah minat, tetapi gejala menurunnya kepekaan sosial dan
idealisme mahasiswa dua hal yang seharusnya menjadi ciri utama generasi
berdampak.
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa sebagian pemuda hari ini lebih sibuk mengikuti tren global ketimbang memahami sejarah bangsanya. Sumpah Pemuda menjadi tema pidato tahunan, bukan inspirasi untuk bertindak. Mereka hafal slogan “pemuda harapan bangsa,” tetapi enggan berpikir kritis atau berkontribusi nyata di lingkungan sekitarnya. Padahal, bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini dengan lebih dari 64 juta jiwa pemuda bisa menjadi kekuatan dahsyat bila diarahkan melalui jalur pendidikan yang mencerahkan dan literasi yang membangun. Tanpa itu, bonus demografi justru akan berubah menjadi beban sosial yang menghambat kemajuan.
Peringatan Sumpah Pemuda semestinya
menjadi momentum untuk menghidupkan kembali jiwa literasi dan semangat juang di
kalangan mahasiswa. Literasi tidak hanya berarti membaca buku, tetapi juga
kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan bertindak berdasarkan pengetahuan
yang diperoleh. Mahasiswa Unismuh Makassar dan seluruh perguruan tinggi di
Indonesia perlu menjadikan kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan
arena pengabdian dan perubahan sosial. Kegiatan riset harus mampu menyentuh
kebutuhan masyarakat, bukan hanya mengejar publikasi akademik. Seminar,
diskusi, dan organisasi mahasiswa perlu diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan,
nasionalisme, dan kesadaran kritis terhadap realitas bangsa. Pendidikan tinggi
seharusnya menjadi dapur peradaban, tempat ide-ide segar dipanggang menjadi
aksi nyata. Bila kampus hanya menjadi tempat mengejar gelar tanpa nilai, maka
makna Sumpah Pemuda telah tereduksi menjadi upacara tanpa jiwa. Saat ini,
bangsa membutuhkan mahasiswa yang bukan hanya pandai berbicara tentang
perubahan, tetapi berani menciptakan perubahan itu sendiri. Mahasiswa yang
tidak hanya menulis esai kebangsaan, tetapi juga menjadikan ilmunya sebagai
alat pengabdian di masyarakat.
Sumpah Pemuda adalah api yang
seharusnya terus menyala, bukan bara yang padam di bawah tumpukan rutinitas. Ia
menuntut kita untuk menegaskan kembali jati diri sebagai pemuda yang berani
berpikir, berani bermimpi, dan berani bertindak. Generasi muda harus memahami
bahwa perjuangan hari ini tidak lagi di medan perang, melainkan di ruang-ruang
literasi, laboratorium, ruang kelas, dan forum-forum publik. Tantangan terbesar
bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan pikiran dan ketergantungan
terhadap budaya konsumtif yang membuat kita lupa berpikir kritis. Kini, saat
bangsa kembali menatap cita-cita Indonesia Emas 2045, tamparan ini perlu kita
terima dengan lapang dada. Kita perlu mengakui bahwa semangat juang banyak yang
pudar, tetapi pengakuan itu bukan untuk menyesali, melainkan untuk membangun
ulang kesadaran. Mahasiswa dan akademisi di seluruh Indonesia, termasuk di
Unismuh Makassar, memiliki peran penting untuk menjadi katalis perubahan.
Mereka harus berani memimpin gerakan literasi, menggagas penelitian yang
relevan bagi masyarakat, serta membangun jejaring sosial yang mencerdaskan.
Pada akhirnya, refleksi Sumpah
Pemuda bukanlah nostalgia, melainkan tanggung jawab moral untuk menghidupkan
kembali nilai persatuan, semangat belajar, dan keberanian untuk berubah. Setiap
mahasiswa yang menginspirasi berpikir kritis, setiap pemuda yang menulis dan
berdiskusi demi kemajuan bangsanya mereka adalah pewaris sejati semangat 1928.
Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar hanya karena jumlah penduduknya,
tetapi karena kualitas generasi mudanya yang berani berpikir dan bertindak. Dan
jika hari ini Sumpah Pemuda kembali kita maknai dengan sepenuh kesadaran, maka
tamparan itu akan berubah menjadi nyala yang dapat menuntun kita menuju bangsa
yang tercerahkan dan bermartabat.
Jumat, 24 Oktober 2025
Bunga yang Tumbuh dari Akar Perjuangan
SRIKANDI
Srikandi bukan sekadar nama tokoh dalam epos besar. Ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan kecerdasan seorang perempuan yang tidak hanya berdiri di belakang, tetapi juga berdiri di garis depan perjuangan. Dalam konteks gerakan hari ini, Srikandi adalah cermin yang seharusnya memantulkan semangat perjuangan dan kesadaran kritis, bukan sekadar simbol yang dimaknai secara sempit. Maka, dalam perjalanan satu dekade Sekolah IMMawati (SKI) PIKOM IMM FISIP, sudah saatnya seluruh IMMawati bercermin pada makna sejati itu.
SKI tidak pernah dimaksudkan hanya untuk bersemayam dalam lingkup PIKOM IMM FISIP, atau sekadar berkiprah di dalam struktur keorganisasian. SKI hadir sebagai ruang yang lebih luas dari sekadar forum internal: ruang yang memberi manfaat, menciptakan dampak, dan melahirkan gagasan-gagasan segar yang mampu menembus batas-batas struktural. SKI seharusnya menjadi pelita yang menyalakan kesadaran kolektif, bukan hanya api kecil yang redup di dalam ruangan sendiri.
Gerakan IMMawati hari ini sedang dihadapkan pada kenyataan yang tidak bisa lagi diabaikan. Semangat perjuangan perlahan meredup, tulisan-tulisan kritis jarang dijumpai, suara perlawanan seolah dibungkam oleh kenyamanan, dan ruang-ruang kajian kehilangan ruhnya. Buku yang dahulu menjadi senjata intelektual tak lagi dijadikan wadah untuk mempertajam pikiran dan menguatkan narasi perlawanan. Sementara itu, realitas di luar terus bergerak cepat dalam arus globalisasi dan banjir informasi.
Pertanyaannya: apa urgensi mencetak kader jika hanya sekadar memenuhi kewajiban keberlanjutan program kerja? Untuk apa setiap tahun mengulang rutinitas seremonial jika hasilnya tak pernah melahirkan perubahan mendasar? Apakah IMMawati akan terus terjebak dalam lingkaran formalitas yang steril dari kebermaknaan? Ataukah benar-benar ingin mencetak peradaban melalui tangan-tangan yang berani, cerdas, dan berintegritas?
IMMawati tidak dilahirkan hanya untuk menjadi simbol keshalehaan, tetapi untuk menjadi “Srikandi” perempuan yang membawa makna perjuangan, daya kritis, dan kekuatan perubahan. Srikandi bukan sekadar berhijab dan menutup aurat, melainkan juga membuka cakrawala berpikir dan mempertegas keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Personal branding IMMawati sejatinya tidak ditentukan oleh pakaiannya semata, tetapi oleh ketajaman pikiran dan narasi, keberdampakan gerakan, serta keluasan relasi dalam membangun mimbar-mimbar peradaban. Identitas sejati IMMawati terletak pada daya dobrak pemikirannya, bukan pada simbol semata. Maka menjadi IMMawati bukan hanya tentang tampil syar’i, melainkan tentang bagaimana menghadirkan keberanian berpikir, keberanian bersuara, dan keberanian bergerak.
Dalam konteks ini, ada beberapa langkah nyata yang perlu dipertimbangkan:
- Menghidupkan kembali tradisi
intelektual. Kajian dan bacaan bukan sekadar agenda, tetapi ruang
pembentukan nalar kritis. IMMawati harus kembali menjadikan literasi
sebagai senjata utama.
- Membangun keberanian bersuara. Perlawanan tidak harus selalu
dalam bentuk konfrontasi, tetapi bisa melalui narasi yang tajam, tulisan
yang menyala, dan gagasan yang membangun kesadaran kolektif.
- Menguatkan solidaritas sesama
IMMawati. Gerakan tidak akan kuat jika hanya bertumpu pada
segelintir orang. Perlu kesadaran bersama bahwa perubahan tidak lahir dari
kenyamanan, tetapi dari keberanian melawan kelumpuhan.
- Beradaptasi dengan zaman. Di tengah derasnya arus informasi,
IMMawati harus mampu menggunakan teknologi dan ruang digital sebagai
medium perjuangan, bukan sekadar ruang eksistensi kosong.
Peradaban tidak akan lahir dari seremonial tahunan, melainkan dari gerakan yang hidup. IMMawati harus hadir sebagai pelopor perubahan, bukan sekadar pelengkap sejarah organisasi. Kini saatnya berhenti bersembunyi di balik simbolik; berhenti menjadikan gerakan sebagai rutinitas tanpa ruh!
Srikandi sejati bukan hanya kuat dalam langkah, tetapi tajam dalam pikir, tegas dalam sikap, dan luas dalam kebermanfaatan. IMMawati harus kembali menjadi itu, garda depan perubahan, bukan sekadar barisan penonton di tengah panggung sejarah.
Salam hormat dariku yang merindukan bunga-bunga revolusi bermekaran di taman Sospol. Semoga kita semua terus tumbuh dan mekar dengan dampak yang masih terus kita upayakan tidak sekadar berbentuk narasi, tetapi melalui tindakan nyata.
The Golden Thread of IMMAwati Cadres : Weaving Brotherhood Amidst Muhammadiyah's Da'wah
Dalam arus sejarah
Muhammadiyah yang megah, benang emas kader IMMAwati muncul sebagai simbol
kekuatan tak terbendung, menyatukan persaudaraan di tengah gelora dakwah. Gerakan
kepemimpinan IMMAwati bukan sekadar langkah rutin, melainkan upaya strategis
yang luas dan mendalam untuk mendukung kemaslahatan IMM, para kader perempuan
ini menjadi penenun utama jaringan solidaritas, memastikan bahwa setiap anggota
IMM berkembang secara holistik. Bayangkan benang emas ini sebagai jalinan halus
yang menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan Muhammadiyah, di mana
kepemimpinan IMMAwati membawa angin segar ke dalam dakwah, menciptakan masyarakat
yang adil dan makmur.
Perspektif luas ini
dimulai dari akar sejarah. Muhammadiyah, sebagai gerakan pembaruan Islam di
Indonesia, telah lama menekankan peran perempuan dalam dakwah, seperti yang
terlihat dalam Aisyiyah. Kader IMMAwati, sebagai ekstensi di kalangan
mahasiswa, mewarisi semangat itu dengan mengambil peran kepemimpinan aktif
dalam IMM. Dalam konteks saat ini, mereka menghadapi tantangan mendalam seperti
ketidaksetaraan gender di organisasi mahasiswa, di mana suara perempuan sering
tenggelam di antara dominasi pria. Namun, melalui gerakan kepemimpinan,
IMMAwati menjadi agen perubahan, mengorganisir program-program seperti
pelatihan dakwah berbasis gender dan forum diskusi tentang isu kontemporer,
yang tidak hanya memperkuat posisi mereka tapi juga mendukung kemaslahatan IMM
secara keseluruhan seperti menciptakan lingkungan inklusif yang mendorong
partisipasi semua anggota.
Lebih mendalam, upaya
ini melibatkan dimensi spiritual, intelektual, dan sosial. Secara spiritual,
kader IMMAwati menenun persaudaraan melalui kajian Al-Quran bersama, yang
membangun fondasi iman kuat di tengah arus sekularisme. Intelektualnya, mereka
memimpin inisiatif seperti seminar kepemimpinan wanita, yang mengasah
keterampilan anggota IMM untuk menghadapi dunia global, sehingga kemaslahatan
tercapai melalui generasi muda yang cerdas. Secara sosial, dalam dakwah
Muhammadiyah, IMMAwati aktif dalam aksi-aksi kemanusiaan, seperti bantuan bagi
korban bencana, yang memperkuat ikatan persaudaraan dan menunjukkan bahwa
kepemimpinan mereka adalah untuk kebaikan bersama. Ini adalah perspektif
mendalam: benang emas bukan hanya metafora, tapi realitas yang membawa IMM
menuju kemajuan berkelanjutan.
Sebagai upaya
gerakan, kepemimpinan IMMAwati juga menghadapi rintangan seperti kurangnya
dukungan infrastruktur, tapi dengan solidaritas, mereka bisa mengubahnya
menjadi peluang. Dengan mendukung kemaslahatan IMM, gerakan ini memastikan
bahwa organisasi tetap relevan, adaptif, dan berpengaruh di masyarakat. Gerakan IMMAwati juga belajar dari kegagalan,
kurangnya partisipasi awal, dan mengubahnya menjadi peluang dengan kolaborasi
antar-organisasi. Dampaknya terlihat dalam pencapaian konkret, seperti peningkatan
jumlah perempuan dalam kepemimpinan IMM dan kontribusi mereka dalam isu
nasional.
“Kader IMMAwati,
teruslah menenun benang emasmu dengan penuh semangat, karena dalam setiap
jalinan persaudaraan, kamu sedang membangun masa depan Muhammadiyah yang
gemilang. Ayo, jadikan dakwahmu sebagai cahaya yang menerangi jalan kita semua!”
Minggu, 12 Oktober 2025
IMMawati di Persimpangan: Menyikapi Tantangan, Menguatkan Identitas
Tantangan saat ini yang dihadapi Immawati tidak sederhana. Revolusi digital dan media sosial menciptakan pola interaksi baru yang kerap menjauhkan generasi muda dari budaya literasi, diskusi, dan pengabdian. Banyak kader perempuan mahasiswa lebih sibuk mengejar eksistensi personal ketimbang mengembangkan kapasitas diri sebagai kader pergerakan. Selain itu, arus globalisasi membawa budaya populer yang sering bertabrakan dengan nilai-nilai Islam dan keperempuanan yang dijunjung oleh Muhammadiyah. Immawati pun menghadapi tantangan serius: bagaimana tetap tegak menjaga prinsip tanpa teralienasi dari realitas kekinian. Tidak hanya itu, persoalan kepemimpinan perempuan masih sering diwarnai stereotip yang menempatkan perempuan sebatas pelengkap, bukan penggerak utama. Bagi Immawati, semua tantangan ini bukanlah beban semata, tetapi sekaligus peluang untuk menunjukkan eksistensi dan mempertegas arah gerakan.
Persimpangan yang kini dihadapi Immawati tampak dalam tarik-menarik antara idealitas dan realitas. Idealitas menuntut Immawati menjadi teladan dalam berpikir kritis, berakhlak mulia, serta konsisten mengawal nilai-nilai Islam berkemajuan. Namun, realitas menunjukkan bahwa tidak jarang mereka terjebak pada rutinitas organisasi yang seremonial, kurang produktif, dan minim gagasan substantif. Sebagian kader lebih memilih jalur aman dengan mengikuti arus pragmatisme kampus atau politik praktis, sementara yang lain berusaha keras menjaga idealisme meski harus menghadapi risiko. Pada titik inilah, kesadaran kolektif diperlukan agar persimpangan tidak menjadi jalan buntu, melainkan ruang untuk menimbang ulang orientasi gerakan.
Dalam menghadapi situasi ini, menguatkan identitas menjadi kunci utama. Identitas Immawati tidak hanya berakar pada nama besar IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam, tetapi juga pada keunikan posisinya sebagai perempuan. Identitas itu mencakup keislaman yang memperjuangkan nilai mencerahkan, keilmuan yang mengasah kemampuan kritis dan solutif, serta keperempuanan yang menjadikan perempuan sebagai subjek gerakan, bukan sekadar pelengkap. Identitas itu juga mencakup semangat kaderisasi yang melahirkan generasi militan, cerdas, dan berkarakter. Identitas ini tidak boleh berhenti pada simbol, melainkan harus hidup dalam tindakan nyata. Immawati harus hadir di ruang akademik dengan prestasi, di ruang sosial dengan kepedulian, dan di ruang publik dengan gagasan.
Untuk menjaga identitas sekaligus menyikapi tantangan, langkah-langkah strategis perlu ditempuh. Immawati harus menguatkan literasi, membiasakan tradisi membaca, menulis, dan berdiskusi agar tidak mudah tergerus oleh budaya instan. Nilai profetik juga perlu diaktualisasikan, dengan menjadikan Islam sebagai pedoman gerakan melalui humanisasi, liberasi, dan transendensi. Gerakan yang mandiri dan kreatif juga harus dikembangkan, tidak hanya bergantung pada struktur, tetapi dengan menghadirkan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Solidaritas sesama kader perempuan juga mutlak diperlukan, sebab kekuatan kolektif lahir dari ikatan emosional dan intelektual yang terjalin erat. Lebih jauh, keterlibatan sosial menjadi ciri khas Immawati, karena identitas sejati tidak akan hidup tanpa kiprah nyata di masyarakat, baik melalui kegiatan sosial, advokasi, maupun pemberdayaan.
Apabila langkah-langkah ini ditempuh dengan konsisten, Immawati akan lahir sebagai generasi visioner. Generasi yang tidak hanya menjaga nilai, tetapi juga mampu menafsirkan ulang nilai itu dalam konteks zaman. Visioner berarti berani mengantisipasi masa depan, tidak hanya sibuk dengan romantisme masa lalu atau terjebak pada pragmatisme hari ini. Immawati visioner adalah mereka yang mampu memadukan iman, ilmu, dan amal sehingga kiprahnya memberi manfaat bukan hanya bagi organisasi, tetapi juga bagi umat dan bangsa.
Ondy Fitrah Dept. Bidang Kader PK IMM FISIP 2025-2026 Div. Kajian Kebangsaan SKB Masalah pendidikan di Indonesia adalah isu yang kompleks ...
-
NUR ILHAM (Jendral SKB XI) Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% adalah sebuah tamparan keras bagi rakyat kecil dan menunjukk...
-
NUR ILHAM ( Jendral SKB XI) Pemerintah sering berbicara tentang pembangunan, namun realitasnya? Itu hanya ucapan kosong yang menipu masyar...
-
Lagi-lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) membikin heboh dengan keputusan yang tampaknya lebih mirip langkah politik daripada bentuk keadilan kons...





