Jumat, 31 Oktober 2025

Immawati: Dari Identitas Menuju Kesadaran Gerakan


 Rezky Amelia
Kabid IMMawati PK IMM FISIP 2025-2026
Alumni SKI Jilid VIII

Sekolah Khusus Immawati (SKI) bukan sekadar ruang pelatihan, melainkan wadah pembentukan karakter, nilai, dan kesadaran diri bagi perempuan yang memilih jalan dakwah dan perjuangan melalui Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Di dalam SKI, perempuan tidak hanya dibekali dengan kecerdasan intelektual dan keanggunan sikap, tetapi juga dibentuk menjadi pribadi yang berprinsip, kritis, dan berdaya. Perbedaan antara Immawati dan perempuan pada umumnya tidak terletak pada kodrat biologisnya, melainkan pada kesadaran ideologis dan nilai-nilai gerakan yang dihidupi dalam setiap langkah perjuangan.

Setiap perempuan pada dasarnya adalah ciptaan Allah yang dimuliakan. Namun, menjadi Immawati berarti menyadari bahwa kemuliaan itu mengandung tanggung jawab sosial, intelektual, dan spiritual yang harus dijalankan. Jika perempuan pada umumnya berjuang untuk dirinya dan lingkungannya, maka Immawati melangkah lebih jauh  ia berjuang untuk umat dan peradaban. Ia tidak hanya menampilkan kelembutan, tetapi juga memiliki keteguhan berpikir dan keberanian untuk bertindak. Ia membaca realitas sosial dengan tajam, mengkritisinya, dan berupaya menghadirkan solusi berdasarkan nilai-nilai Islam dan ideologi IMM yang berlandaskan pada religiusitas, humanitas, dan intelektualitas.

SKI juga menanamkan spirit profetik, yakni semangat kenabian yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. Menjadi Immawati bukan tentang mencari pengakuan atau citra, tetapi tentang menjalankan misi kehidupan yang berlandaskan nilai amar ma’ruf nahi munkar. Seorang Immawati tidak berhenti pada kesalehan individu, melainkan bergerak menuju kesalehan sosial. Ia tidak hanya shalihah di sajadah, tetapi juga di ruang publik di kampus, di masyarakat, bahkan di dunia digital. Ia menjadikan keislaman bukan sekadar identitas, melainkan sumber nilai untuk menggerakkan perubahan yang nyata dan berkeadilan.

Menjadi Immawati berarti memiliki kesadaran gerakan. SKI mendidik para Immawati untuk tidak berpikir sebagai individu yang terpisah dari realitas, melainkan sebagai bagian dari perjuangan kolektif. Kesadaran ini menjadikan Immawati berani bersuara terhadap ketimpangan sosial dan budaya patriarki, menjadi pelopor pemberdayaan bagi sesama perempuan, serta membangun solidaritas antar Immawati dengan dasar nilai ideologis yang kuat. Jika perempuan pada umumnya menunggu perubahan, maka Immawati adalah mereka yang menciptakan perubahan itu dengan pemikiran, tindakan, dan keteladanan.

SKI bukan hanya membentuk identitas, tetapi menumbuhkan kesadaran. Identitas bisa dimiliki siapa saja, namun kesadaran hanya lahir dari proses panjang pembelajaran, perjuangan, dan pengabdian. Seorang Immawati tidak dibentuk oleh simbol, tetapi oleh nilai dan proses. Melalui SKI, ia ditempa untuk menjadi pribadi yang cerdas secara intelektual, mandiri secara sosial, dan teguh secara spiritual. Ia memahami arah zaman, namun tetap menjadikan iman sebagai kompas hidupnya.

Senin, 27 Oktober 2025

Ketuk Kesadaran Tamparan Generasi yang Lupa Literasi dan Jiwa Kebangsaan

 

Fatimah Azzahra

Direktur SKI Jilid IX

Sekretris bidang SPM IMM FISIP

Hari Sumpah Pemuda seharusnya menjadi cermin tajam bagi generasi masa kini, bukan sekadar seremoni, bukan juga rutinitas yang diulang tanpa makna. Delapan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda dengan semangat membakar: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Mereka tidak sekadar bersumpah, tetapi berjuang dengan seluruh jiwa untuk memerdekakan bangsa dari kebodohan, perpecahan, dan ketertinggalan. Namun kini, hampir seabad kemudian, semangat itu seakan pudar di tengah layar gawai dan gemerlap tren digital. Kita menyaksikan ironi: bangsa dengan jumlah pemuda terbanyak di Asia Tenggara justru menghadapi krisis literasi dan kemerosotan kesadaran kebangsaan.

Realitas di lapangan menampar nurani. Data nasional memperlihatkan bahwa meskipun tingkat melek huruf Indonesia sudah mencapai 96,67% pada tahun 2025, masih ada sekitar 9,41 juta jiwa yang belum mampu membaca dan menulis secara memadai. Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2022 juga baru mencapai angka 64,48 dari 100, jauh dari target ideal untuk bangsa yang ingin melompat menuju visi Indonesia Emas 2045. Angka-angka ini tidak sekadar statistik; ia adalah potret mental bangsa yang mulai kehilangan daya kritis dan semangat belajar dua hal yang dulu menjadi bahan bakar utama perjuangan pemuda 1928.

Di ruang akademik, terutama di Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh Makassar), fenomena ini sangat jelas. Kampus yang dikenal aktif dalam kegiatan riset dan pengabdian masyarakat kini mencatat ratusan penelitian dalam beberapa tahun terakhir, dengan ribuan mahasiswa baru setiap tahunnya. Namun di balik capaian itu, muncul pertanyaan mendasar sudahkah semangat intelektual tersebut benar-benar mengakar dalam diri mahasiswa, ataukah hanya sekadar tuntutan administratif akademik? Banyak mahasiswa yang masih melihat kegiatan ilmiah sebatas tugas kuliah, bukan tanggung jawab moral untuk membangun masyarakat. Seminar dan lomba ilmiah sering kali ramai di awal, namun tindal lanjutan setelahnya itu tidak berjalan sesuai perencanaan awal. Ini bukan sekadar masalah minat, tetapi gejala menurunnya kepekaan sosial dan idealisme mahasiswa dua hal yang seharusnya menjadi ciri utama generasi berdampak.

Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa sebagian pemuda hari ini lebih sibuk mengikuti tren global ketimbang memahami sejarah bangsanya. Sumpah Pemuda menjadi tema pidato tahunan, bukan inspirasi untuk bertindak. Mereka hafal slogan “pemuda harapan bangsa,” tetapi enggan berpikir kritis atau berkontribusi nyata di lingkungan sekitarnya. Padahal, bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini dengan lebih dari 64 juta jiwa pemuda bisa menjadi kekuatan dahsyat bila diarahkan melalui jalur pendidikan yang mencerahkan dan literasi yang membangun. Tanpa itu, bonus demografi justru akan berubah menjadi beban sosial yang menghambat kemajuan.

Peringatan Sumpah Pemuda semestinya menjadi momentum untuk menghidupkan kembali jiwa literasi dan semangat juang di kalangan mahasiswa. Literasi tidak hanya berarti membaca buku, tetapi juga kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan bertindak berdasarkan pengetahuan yang diperoleh. Mahasiswa Unismuh Makassar dan seluruh perguruan tinggi di Indonesia perlu menjadikan kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan arena pengabdian dan perubahan sosial. Kegiatan riset harus mampu menyentuh kebutuhan masyarakat, bukan hanya mengejar publikasi akademik. Seminar, diskusi, dan organisasi mahasiswa perlu diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan, nasionalisme, dan kesadaran kritis terhadap realitas bangsa. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi dapur peradaban, tempat ide-ide segar dipanggang menjadi aksi nyata. Bila kampus hanya menjadi tempat mengejar gelar tanpa nilai, maka makna Sumpah Pemuda telah tereduksi menjadi upacara tanpa jiwa. Saat ini, bangsa membutuhkan mahasiswa yang bukan hanya pandai berbicara tentang perubahan, tetapi berani menciptakan perubahan itu sendiri. Mahasiswa yang tidak hanya menulis esai kebangsaan, tetapi juga menjadikan ilmunya sebagai alat pengabdian di masyarakat.

Sumpah Pemuda adalah api yang seharusnya terus menyala, bukan bara yang padam di bawah tumpukan rutinitas. Ia menuntut kita untuk menegaskan kembali jati diri sebagai pemuda yang berani berpikir, berani bermimpi, dan berani bertindak. Generasi muda harus memahami bahwa perjuangan hari ini tidak lagi di medan perang, melainkan di ruang-ruang literasi, laboratorium, ruang kelas, dan forum-forum publik. Tantangan terbesar bukan lagi penjajahan fisik, tetapi penjajahan pikiran dan ketergantungan terhadap budaya konsumtif yang membuat kita lupa berpikir kritis. Kini, saat bangsa kembali menatap cita-cita Indonesia Emas 2045, tamparan ini perlu kita terima dengan lapang dada. Kita perlu mengakui bahwa semangat juang banyak yang pudar, tetapi pengakuan itu bukan untuk menyesali, melainkan untuk membangun ulang kesadaran. Mahasiswa dan akademisi di seluruh Indonesia, termasuk di Unismuh Makassar, memiliki peran penting untuk menjadi katalis perubahan. Mereka harus berani memimpin gerakan literasi, menggagas penelitian yang relevan bagi masyarakat, serta membangun jejaring sosial yang mencerdaskan.

Pada akhirnya, refleksi Sumpah Pemuda bukanlah nostalgia, melainkan tanggung jawab moral untuk menghidupkan kembali nilai persatuan, semangat belajar, dan keberanian untuk berubah. Setiap mahasiswa yang menginspirasi berpikir kritis, setiap pemuda yang menulis dan berdiskusi demi kemajuan bangsanya mereka adalah pewaris sejati semangat 1928. Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar hanya karena jumlah penduduknya, tetapi karena kualitas generasi mudanya yang berani berpikir dan bertindak. Dan jika hari ini Sumpah Pemuda kembali kita maknai dengan sepenuh kesadaran, maka tamparan itu akan berubah menjadi nyala yang dapat menuntun kita menuju bangsa yang tercerahkan dan bermartabat.


Jumat, 24 Oktober 2025

Bunga yang Tumbuh dari Akar Perjuangan

ILA ARMILA
Kabid Ekonomi dan Kewirausahaan periode 2025-2026


Di dalam sunyi ruang-ruang pembelajaran yang jarang disorot, tumbuhlah perempuan-perempuan tangguh. Mereka bukan hadir untuk bersolek di panggung-panggung formalitas, tapi untuk menyulam makna di balik proses yang seringkali sunyi, melelahkan, dan penuh tanya. Dalam naungan kaderisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), perempuan menapaki jalan panjang yang tidak selalu ramah. Namun justru di situlah, mereka belajar tumbuh.

Bunga tidak serta merta mekar dalam semalam. Ia berasal dari akar yang menghujam, dari benih yang disiram dengan air komitmen, cahaya keikhlasan, dan tanah perjuangan yang keras. Perempuan dalam proses kaderisasi bukan hanya peserta, mereka adalah subjek gerakan. Mereka belajar berpikir kritis, menyuarakan nilai, dan membawa pesan kemanusiaan yang tak sebatas pada ruang-ruang diskusi.

Di balik segala narasi perjuangan itu, perempuan sering kali memikul beban ganda. Menjadi intelektual, menjadi pelayan umat, menjadi manusia yang tetap setia pada dirinya sendiri. Tantangannya tidak kecil: kultur patriarki yang masih samar terasa, ekspektasi ganda dari lingkungan, hingga keraguan dari dalam dirinya sendiri. Namun justru dari sana, kekuatan itu dirajut. Perempuan IMM tidak tumbuh karena keadaan yang nyaman, tapi karena tantangan yang membentuk.

Menjadi perempuan di ruang kaderisasi berarti belajar untuk tidak diam. Suara mereka bukan hanya lantang di forum-forum resmi, tapi juga hadir dalam keputusan-keputusan kecil yang penuh nilai. Mereka menjadi penggerak yang sadar arah, bukan sekadar pelengkap yang pasrah pada arus. Mereka menciptakan ruang aman bagi sesama, menjaga nilai, dan tetap tegar meski kerap tak terlihat.

Bunga yang tumbuh dari akar perjuangan bukan sekadar cantik, ia kuat. Ia bisa mekar di tengah tanah yang tandus, bahkan di tengah tekanan dan ketidakpercayaan. Dan di dalam Ikatan ini, bunga-bunga itu terus tumbuh. Mereka menyapa masa depan dengan harapan, bukan ketakutan.

Karena perempuan bukan hanya bagian dari gerakan. Mereka adalah nafasnya.


 

SRIKANDI

 


NUR ISMI RONI
Direktur SKI Jilid V
Kabid Hikmah PKP periode 2022-2023

Srikandi bukan sekadar nama tokoh dalam epos besar. Ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan kecerdasan seorang perempuan yang tidak hanya berdiri di belakang, tetapi juga berdiri di garis depan perjuangan. Dalam konteks gerakan hari ini, Srikandi adalah cermin yang seharusnya memantulkan semangat perjuangan dan kesadaran kritis, bukan sekadar simbol yang dimaknai secara sempit. Maka, dalam perjalanan satu dekade Sekolah IMMawati (SKI) PIKOM IMM FISIP, sudah saatnya seluruh IMMawati bercermin pada makna sejati itu.

SKI tidak pernah dimaksudkan hanya untuk bersemayam dalam lingkup PIKOM IMM FISIP, atau sekadar berkiprah di dalam struktur keorganisasian. SKI hadir sebagai ruang yang lebih luas dari sekadar forum internal: ruang yang memberi manfaat, menciptakan dampak, dan melahirkan gagasan-gagasan segar yang mampu menembus batas-batas struktural. SKI seharusnya menjadi pelita yang menyalakan kesadaran kolektif, bukan hanya api kecil yang redup di dalam ruangan sendiri.

Gerakan IMMawati hari ini sedang dihadapkan pada kenyataan yang tidak bisa lagi diabaikan. Semangat perjuangan perlahan meredup, tulisan-tulisan kritis jarang dijumpai, suara perlawanan seolah dibungkam oleh kenyamanan, dan ruang-ruang kajian kehilangan ruhnya. Buku yang dahulu menjadi senjata intelektual tak lagi dijadikan wadah untuk mempertajam pikiran dan menguatkan narasi perlawanan. Sementara itu, realitas di luar terus bergerak cepat dalam arus globalisasi dan banjir informasi.

Pertanyaannya: apa urgensi mencetak kader jika hanya sekadar memenuhi kewajiban keberlanjutan program kerja? Untuk apa setiap tahun mengulang rutinitas seremonial jika hasilnya tak pernah melahirkan perubahan mendasar? Apakah IMMawati akan terus terjebak dalam lingkaran formalitas yang steril dari kebermaknaan? Ataukah benar-benar ingin mencetak peradaban melalui tangan-tangan yang berani, cerdas, dan berintegritas?

IMMawati tidak dilahirkan hanya untuk menjadi simbol keshalehaan, tetapi untuk menjadi “Srikandi” perempuan yang membawa makna perjuangan, daya kritis, dan kekuatan perubahan. Srikandi bukan sekadar berhijab dan menutup aurat, melainkan juga membuka cakrawala berpikir dan mempertegas keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Personal branding IMMawati sejatinya tidak ditentukan oleh pakaiannya semata, tetapi oleh ketajaman pikiran dan narasi, keberdampakan gerakan, serta keluasan relasi dalam membangun mimbar-mimbar peradaban. Identitas sejati IMMawati terletak pada daya dobrak pemikirannya, bukan pada simbol semata. Maka menjadi IMMawati bukan hanya tentang tampil syar’i, melainkan tentang bagaimana menghadirkan keberanian berpikir, keberanian bersuara, dan keberanian bergerak.

Dalam konteks ini, ada beberapa langkah nyata yang perlu dipertimbangkan:

    1. Menghidupkan kembali tradisi intelektual. Kajian dan bacaan bukan sekadar agenda, tetapi ruang pembentukan nalar kritis. IMMawati harus kembali menjadikan literasi sebagai senjata utama.
    2. Membangun keberanian bersuara. Perlawanan tidak harus selalu dalam bentuk konfrontasi, tetapi bisa melalui narasi yang tajam, tulisan yang menyala, dan gagasan yang membangun kesadaran kolektif.
    3. Menguatkan solidaritas sesama IMMawati. Gerakan tidak akan kuat jika hanya bertumpu pada segelintir orang. Perlu kesadaran bersama bahwa perubahan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari keberanian melawan kelumpuhan.
    4. Beradaptasi dengan zaman. Di tengah derasnya arus informasi, IMMawati harus mampu menggunakan teknologi dan ruang digital sebagai medium perjuangan, bukan sekadar ruang eksistensi kosong.

Peradaban tidak akan lahir dari seremonial tahunan, melainkan dari gerakan yang hidup. IMMawati harus hadir sebagai pelopor perubahan, bukan sekadar pelengkap sejarah organisasi. Kini saatnya berhenti bersembunyi di balik simbolik; berhenti menjadikan gerakan sebagai rutinitas tanpa ruh!

Srikandi sejati bukan hanya kuat dalam langkah, tetapi tajam dalam pikir, tegas dalam sikap, dan luas dalam kebermanfaatan. IMMawati harus kembali menjadi itu, garda depan perubahan, bukan sekadar barisan penonton di tengah panggung sejarah.

Salam hormat dariku yang merindukan bunga-bunga revolusi bermekaran di taman Sospol. Semoga kita semua terus tumbuh dan mekar dengan dampak yang masih terus kita upayakan tidak sekadar berbentuk narasi, tetapi melalui tindakan nyata.


The Golden Thread of IMMAwati Cadres : Weaving Brotherhood Amidst Muhammadiyah's Da'wah


 Fatimah Azzahrah
Direktur SKI Jilid IX
Sekretaris bidang SPM

Dalam arus sejarah Muhammadiyah yang megah, benang emas kader IMMAwati muncul sebagai simbol kekuatan tak terbendung, menyatukan persaudaraan di tengah gelora dakwah. Gerakan kepemimpinan IMMAwati bukan sekadar langkah rutin, melainkan upaya strategis yang luas dan mendalam untuk mendukung kemaslahatan IMM, para kader perempuan ini menjadi penenun utama jaringan solidaritas, memastikan bahwa setiap anggota IMM berkembang secara holistik. Bayangkan benang emas ini sebagai jalinan halus yang menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan Muhammadiyah, di mana kepemimpinan IMMAwati membawa angin segar ke dalam dakwah, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Perspektif luas ini dimulai dari akar sejarah. Muhammadiyah, sebagai gerakan pembaruan Islam di Indonesia, telah lama menekankan peran perempuan dalam dakwah, seperti yang terlihat dalam Aisyiyah. Kader IMMAwati, sebagai ekstensi di kalangan mahasiswa, mewarisi semangat itu dengan mengambil peran kepemimpinan aktif dalam IMM. Dalam konteks saat ini, mereka menghadapi tantangan mendalam seperti ketidaksetaraan gender di organisasi mahasiswa, di mana suara perempuan sering tenggelam di antara dominasi pria. Namun, melalui gerakan kepemimpinan, IMMAwati menjadi agen perubahan, mengorganisir program-program seperti pelatihan dakwah berbasis gender dan forum diskusi tentang isu kontemporer, yang tidak hanya memperkuat posisi mereka tapi juga mendukung kemaslahatan IMM secara keseluruhan seperti menciptakan lingkungan inklusif yang mendorong partisipasi semua anggota.

Lebih mendalam, upaya ini melibatkan dimensi spiritual, intelektual, dan sosial. Secara spiritual, kader IMMAwati menenun persaudaraan melalui kajian Al-Quran bersama, yang membangun fondasi iman kuat di tengah arus sekularisme. Intelektualnya, mereka memimpin inisiatif seperti seminar kepemimpinan wanita, yang mengasah keterampilan anggota IMM untuk menghadapi dunia global, sehingga kemaslahatan tercapai melalui generasi muda yang cerdas. Secara sosial, dalam dakwah Muhammadiyah, IMMAwati aktif dalam aksi-aksi kemanusiaan, seperti bantuan bagi korban bencana, yang memperkuat ikatan persaudaraan dan menunjukkan bahwa kepemimpinan mereka adalah untuk kebaikan bersama. Ini adalah perspektif mendalam: benang emas bukan hanya metafora, tapi realitas yang membawa IMM menuju kemajuan berkelanjutan.

Sebagai upaya gerakan, kepemimpinan IMMAwati juga menghadapi rintangan seperti kurangnya dukungan infrastruktur, tapi dengan solidaritas, mereka bisa mengubahnya menjadi peluang. Dengan mendukung kemaslahatan IMM, gerakan ini memastikan bahwa organisasi tetap relevan, adaptif, dan berpengaruh di masyarakat.  Gerakan IMMAwati juga belajar dari kegagalan, kurangnya partisipasi awal, dan mengubahnya menjadi peluang dengan kolaborasi antar-organisasi. Dampaknya terlihat dalam pencapaian konkret, seperti peningkatan jumlah perempuan dalam kepemimpinan IMM dan kontribusi mereka dalam isu nasional.

Kader IMMAwati, teruslah menenun benang emasmu dengan penuh semangat, karena dalam setiap jalinan persaudaraan, kamu sedang membangun masa depan Muhammadiyah yang gemilang. Ayo, jadikan dakwahmu sebagai cahaya yang menerangi jalan kita semua!” 



Minggu, 12 Oktober 2025

IMMawati di Persimpangan: Menyikapi Tantangan, Menguatkan Identitas

Nurhikmah Rahmadani Roni
Divisi Advokasi dan Media SKI Jilid IX
Sekretaris Bidang Hikmah PKP


Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, demikian pula setiap generasi memiliki ujiannya masing-masing. Immawati sebagai kader perempuan dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak pernah lepas dari pusaran dinamika tersebut. Kehadirannya di tengah arus perubahan sosial, budaya, dan teknologi menempatkan Immawati pada posisi yang strategis sekaligus dilematis. Strategis karena mereka menjadi penopang gerakan perempuan mahasiswa Islam yang memiliki basis ideologis dan historis yang kokoh, namun dilematis karena persimpangan jalan sering kali memunculkan kebingungan arah serta rawan terjebak dalam pragmatisme gerakan.

Tantangan saat ini yang dihadapi Immawati tidak sederhana. Revolusi digital dan media sosial menciptakan pola interaksi baru yang kerap menjauhkan generasi muda dari budaya literasi, diskusi, dan pengabdian. Banyak kader perempuan mahasiswa lebih sibuk mengejar eksistensi personal ketimbang mengembangkan kapasitas diri sebagai kader pergerakan. Selain itu, arus globalisasi membawa budaya populer yang sering bertabrakan dengan nilai-nilai Islam dan keperempuanan yang dijunjung oleh Muhammadiyah. Immawati pun menghadapi tantangan serius: bagaimana tetap tegak menjaga prinsip tanpa teralienasi dari realitas kekinian. Tidak hanya itu, persoalan kepemimpinan perempuan masih sering diwarnai stereotip yang menempatkan perempuan sebatas pelengkap, bukan penggerak utama. Bagi Immawati, semua tantangan ini bukanlah beban semata, tetapi sekaligus peluang untuk menunjukkan eksistensi dan mempertegas arah gerakan.

Persimpangan yang kini dihadapi Immawati tampak dalam tarik-menarik antara idealitas dan realitas. Idealitas menuntut Immawati menjadi teladan dalam berpikir kritis, berakhlak mulia, serta konsisten mengawal nilai-nilai Islam berkemajuan. Namun, realitas menunjukkan bahwa tidak jarang mereka terjebak pada rutinitas organisasi yang seremonial, kurang produktif, dan minim gagasan substantif. Sebagian kader lebih memilih jalur aman dengan mengikuti arus pragmatisme kampus atau politik praktis, sementara yang lain berusaha keras menjaga idealisme meski harus menghadapi risiko. Pada titik inilah, kesadaran kolektif diperlukan agar persimpangan tidak menjadi jalan buntu, melainkan ruang untuk menimbang ulang orientasi gerakan.

Dalam menghadapi situasi ini, menguatkan identitas menjadi kunci utama. Identitas Immawati tidak hanya berakar pada nama besar IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam, tetapi juga pada keunikan posisinya sebagai perempuan. Identitas itu mencakup keislaman yang memperjuangkan nilai mencerahkan, keilmuan yang mengasah kemampuan kritis dan solutif, serta keperempuanan yang menjadikan perempuan sebagai subjek gerakan, bukan sekadar pelengkap. Identitas itu juga mencakup semangat kaderisasi yang melahirkan generasi militan, cerdas, dan berkarakter. Identitas ini tidak boleh berhenti pada simbol, melainkan harus hidup dalam tindakan nyata. Immawati harus hadir di ruang akademik dengan prestasi, di ruang sosial dengan kepedulian, dan di ruang publik dengan gagasan.

Untuk menjaga identitas sekaligus menyikapi tantangan, langkah-langkah strategis perlu ditempuh. Immawati harus menguatkan literasi, membiasakan tradisi membaca, menulis, dan berdiskusi agar tidak mudah tergerus oleh budaya instan. Nilai profetik juga perlu diaktualisasikan, dengan menjadikan Islam sebagai pedoman gerakan melalui humanisasi, liberasi, dan transendensi. Gerakan yang mandiri dan kreatif juga harus dikembangkan, tidak hanya bergantung pada struktur, tetapi dengan menghadirkan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Solidaritas sesama kader perempuan juga mutlak diperlukan, sebab kekuatan kolektif lahir dari ikatan emosional dan intelektual yang terjalin erat. Lebih jauh, keterlibatan sosial menjadi ciri khas Immawati, karena identitas sejati tidak akan hidup tanpa kiprah nyata di masyarakat, baik melalui kegiatan sosial, advokasi, maupun pemberdayaan.

Apabila langkah-langkah ini ditempuh dengan konsisten, Immawati akan lahir sebagai generasi visioner. Generasi yang tidak hanya menjaga nilai, tetapi juga mampu menafsirkan ulang nilai itu dalam konteks zaman. Visioner berarti berani mengantisipasi masa depan, tidak hanya sibuk dengan romantisme masa lalu atau terjebak pada pragmatisme hari ini. Immawati visioner adalah mereka yang mampu memadukan iman, ilmu, dan amal sehingga kiprahnya memberi manfaat bukan hanya bagi organisasi, tetapi juga bagi umat dan bangsa.

Dengan demikian, Immawati di persimpangan bukanlah kisah tentang kebingungan, melainkan cerita tentang pilihan. Pilihan untuk tetap konsisten menjaga nilai atau menyerah pada arus pragmatisme. Pilihan untuk mempertegas identitas atau larut dalam kehilangan arah. Masa depan gerakan Immawati ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu menyikapi tantangan sekaligus mempertegas jati diri. Di tengah dunia yang terus berubah, Immawati harus hadir sebagai peneguh nilai, penggerak gagasan, dan pionir transformasi. Dari titik persimpangan inilah akan lahir Immawati yang lebih matang, kokoh, dan profetik dalam menjalankan peran kebangsaannya.





  Ondy Fitrah Dept. Bidang Kader PK IMM FISIP 2025-2026 Div. Kajian Kebangsaan SKB Masalah pendidikan di Indonesia adalah isu yang kompleks ...