Oleh: Andi Nurfaizah HM (Wakil Direktur Keuangan SKB 7 PIKOM IMM FISIP Unismuh Makassar)
"Jika hutan sudah habis ditebang, ikan sudah habis ditangkap, air tetes terakhir sudah tercemar, manusia baru akan sadar jika uang tidak dimakan"
Di sistem pemerintahan kita saat ini yang menganut sistem demokrasi tentunya tidak akan terlepas dari esensinya yaitu menyatakan pendapat di muka umum, baik itu secara tulisan maupun secara lisan. Salah satunya dengan cara demonstrasi.
Demonstrasi di Negara demokrasi seperti Indonesia ini bukanlah hal yang asing. Demonstrasi seakan menjadi cara yang paling jitu bagi masyarakat sipil yang terbungkam untuk menyuarakan aspirasinya kepada para penguasa.
Sementara itu, di dalam UUD 1945 demonstrasi diperbolehkan dan bahkan dijamin oleh konstitusi selama itu masih mengikuti tata cara yang sudah ada dan diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Demonstrasi selalu menjadi peristiwa rutin yang menghiasi halaman pemberitaan di Indonesia. Oktober ini, mahasiswa Indonesia kembali melakukan tugasnya. Puluhan ribu mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan demi menyuarakan tuntutannya terhadap pengesahan Undang - Undang Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan alur pengesahan Undang - Undang yang sebenarnya.
Dengan perancangan RUU yang serba tertutup dan tidak adanya konsultasi publik ataupun tidak melibatkan seluruh stakeholder dan pihak yang akan terdampak dari RUU yanh cakupannya sangat luar karena modelnya ialah Omnibus (baca: penggabungan dan penyeragaman), ditambah adanya agenda gelap dan kepentingan politik yang tidak akuntabel dalam prosesnya mengakibatkan public trust terhadap demokratisasi pemerintah dan DPR melandai dengan sangat tajam pada segmentasi tahun ini.
Demokrasi di Indonesia sudah mulai tercederai. Dimana para elit – elit politik dihadapkan oleh dua hal, yaitu harta dan tahta. Jika mereka tidak mengejar keduanya, ada banyak Undang- Undang dan aturan yang sebenarnya keadilah sosial itu dapat tercapai dalam sistem Demokrasi ini. Misalnya, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria dimana Undang – Undang itu mengatur dasar – dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia.
Itu semua sudah terjabarkan, tetapi untuk saat ini sangat susah untuk mengimplementasikannya. Apakah para pemangku kebijakan yang memegang kuasa itu mau menegakkannya ataukah untuk saat ini mereka hanya memikirkan soal harta dan tahta?
Ada banyak persoalan yang sebetulnya menjadi variabel tersendiri untuk mengukur parameter keberhasilan demokrasi di Indonesia. Namun yang paling spesifik adalah seperti yang dikatakan oleh filsuf Romawi (Cicero), "Semakin banyak produk hukum sebuah negara, semakin jauh keadilan." Begitulah hari ini wajah dari regulator atau legislator kita dalam membuat regulasi atau legislasi UU yang nyeleneh dan kadang menyebalkan karena isi UU dan penyelenggaraan UU itu saling simpang siur dan terkadang menabrak kepentingan hajat hidup orang banyak.
Jika legislatif tidak mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang aneh, tentu saja respon orang – orang yang progresif tidak akan membuat onar. Ada dua hal yang diperhadapkan dalam menanggapi sebuah demonstrasi. Yang pertama diperhadapkan oleh pemerintah yang menganggap demonstrasi itu sesuatu yang dapat menyebabkan kericuhan.
Begitupun dengan masyarakat awam ataupun masyarakat yang tidak mempunyai kepentingan, mereka menganggap demonstrasi itu mengganggu dan meresahkan. Sementara yang kedua itu, diperhadapkan oleh buruh ataupun petani yang meminta dukungan karena merasa hak – hak mereka akan direnggut.
Tantangan para mahasiswa saat ini yaitu belum bisa menyatukan pandangan – pandangan di masyarakat itu sendiri. Kembali lagi bagaimana mahasiswa bisa mengambil simpati rakyat, agar demonstrasi itu bukan hanya sekedar jadi budaya di Indonesia tapi betul – betul memiliki konten yang sangat jelas sehingga tidak ada lagi masyarakat yang ribut dengan mahasiswa. Mari mengembalikan marwah demonstrasi yang benar – benar menjadi sebuah game of the control social dan gerakan moral sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan menuju keadilan sosial.
Di akhir kata, Imam Nawawi pernah berkata “ Barang siapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin lalu menunjukkan sikap rela, setuju, atau mengikuti kemungkaran tersebut, ia telah berdosa”. Karena itu, perlu untuk selalu mengawal dan mengkritisi setiap kebijakan pemerintah jika dianggap tidak memihak kepada rakyat. Tak heran jika demonstrasi sebagai aksi protes terhadap pemerintah menjadi pemandangan yang lumrah di negeri ini. Terlepas dari itu, ada atau tidak adanya keadilan sebetulnya terletak dalam hati nurani penguasa yang melaksanakannya.
Salam Perjuangan
Membaca, Bergerak, dan Melawan.